Mohon tunggu...
Rachel Fidianna Clariza S.P
Rachel Fidianna Clariza S.P Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memiliki ketertarikan terhadap isu anak, perempuan, hak asasi, serta lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Pernikahan Dini dalam Perspektif Marxisme

3 Juni 2023   21:46 Diperbarui: 4 Juni 2023   21:24 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam dunia Internasional banyak sekali isu yang dibahas terutama dalam perkembangan dunia saat ini. Hubungan Internasional bukan lagi ilmu yang hanya mempelajari perang tetapi juga bagaimana isu sosial, budaya, lingkungan, dan banyak hal berkembang lainnya di dunia internasional. Pernikahan dini yang merupakan produk akibat dari ketimpangan sosial terutama di negara-negara berkembang telah secara aktif dikaji oleh berbagai organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah dan menjadi pembahasan serius dimana angka tersebut semakin naik di beberapa negara. Bayisenge (2010) memaparkan bahwa pernikahan dini juga didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi pada gadis dibawah umur 18 tahun baik pernikahan resmi maupun tidak. 

Pernikahan dini merupakan sebuah kasus yang cukup memprihatinkan. Negara-negara berkembang maupun berkonflik sering kali menjadi ladang subur bagi pernikahan dini untuk tumbuh. Negara-negara konflik secara khusus kerap memiliki kecenderungan untuk memiliki data pernikahan dini yang cukup tinggi dan terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Afghanistan menjadi salah satu negara dengan angka pernikahan dini yang tinggi di dunia terutama dengan beralihnya pemerintah negara tersebut ke tangan Taliban. Pada tahun 2022 saja, organisasi hak asasi manusia (HAM) nonpemerintah Amnesty International mencatat adanya peningkatan kasus pernikahan dini dan pernikahan paksa pada perempuan maupun anak perempuan di bawah umur. Negara konflik terutama konflik berkepanjangan seperti yang terjadi di Afghanistan menyuratkan perbedaan kelas sosial semakin jelas. Fenomena pernikahan dini ini menunjukkan dampak nyata dari hadirnya ketimpangan sosial akibat perbedaan kelas yang terjadi di masyarakat. Hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Wulandari dan Sarwititi Sarwoprasodjo mengenai pengaruh status ekonomi terhadap motif menikah dini. 

Marxisme pun melihat dunia dari sisi yang sama yakni perbedaan kelas. Agenda utama Marxisme adalah kritik terhadap kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial kemudian dari sistem ekonomi yang dibentuk memberikan kekuatan bagi kaum borjuis untuk memiliki dan mengontrol produksi massal, tidak hanya itu Marxisme menjelaskan bahwa konflik kelas antar kaum borjuis dan proletariat sebagai proyeksi kekuasaan perjuangan (Devetak et al. 2012). Pernikahan dini adalah salah satu produk dari sekian banyaknya dampak yang terjadi akibat ketimpangan sosial dari sistem ekonomi yang dibentuk dari kelas-kelas seperti yang disampaikan dalam pandangan marxisme. Marxisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang materialistis tentu akan setuju pada alasan kebanyakan para remaja yang melakukan pernikahan dini berasal dari keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan. Meski begitu tentu saja tidak bisa dibenarkan adanya pernikahan dini sebagai solusi dari keadaan ekonomi yang buruk. 

Akar dari permasalahan pernikahan dini seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya tidak sedangkal yang diperkirakan kebanyakan orang. Kelas sosial yang sudah dibangun sejak lama dalam masyarakat tentu saja secara tidak langsung mendukung terjadinya ketimpangan sosial. Meski faktor pernikahan dini sudah diketahui dan salah satunya merupakan faktor ekonomi, hal ini tidak semudah itu untuk dihilangkan. Ada sebuah lingkaran setan yang terus berputar pada kasus ini. Secara singkat yang terjadi adalah perekonomian yang buruk mendukung terjadinya fenomena putus sekolah di kalangan remaja. Fenomena putus sekolah sudah sangat umum terjadi di kalangan ekonomi kelas bawah. Hal ini kemudian memicu rendahnya literasi, minimnya pengetahuan, dan kemudian sulitnya mencari pekerjaan dengan gaji yang layak. Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh seseorang yang putus sekolah tentu saja akan terbatas dan juga gaji yang dihasilkan tidak dapat disandingkan dengan pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan seseorang yang lulus tingkat pendidikan tertentu. Hasil akhir yang terjadi adalah orang tersebut akan terus pada keadaan miskin, inilah yang disebut kebanyakan orang sebagai lingkaran atau siklus setan. Beberapa menyelamatkan diri dari hal ini dengan menikah terutama dengan orang-orang yang jauh lebih kaya. 

Hal yang sama terjadi di Afghanistan saat ini. Setelah berpindahnya pemerintahan ke tangan Taliban, kebijakan dan hukum negara kemudian berubah. Dikutip dari VOA Indonesia bahwa ada banyak sekali kebijakan yang sangat menekan wanita maupun anak-anak. Salah satu kebijakan tersebut adalah para anak perempuan hanya dapat menempuh pendidikan hingga sekolah dasar. Tidak sampai disitu saja, Taliban juga menekan wanita dengan cara melarang wanita untuk bekerja bahkan berpergian keluar rumah. Setelah berbagai kebijakan baru berlaku, ada banyak sekali perubahan di Afghanistan. Berdasarkan data yang dipaparkan oleh World Bank Data, GDP Afghanistan secara konsisten terus menurun. Hal ini tentu saja imbas dari berbagai kebijakan salah satunya melarang wanita bekerja. Ada banyak sekali rumah tangga yang bergantung pada wanita, maka sangat wajar apabila terjadi penurunan ekonomi secara nasional. 

Marxisme dengan konsep konflik antar kelasnya sebenarnya memperkenalkan hal-hal lebih dalam daripada itu. Masyarakat terus diajak untuk sadar akan permasalahan nyata yang terjadi di depan mata. Dibandingkan berpikir seperti kebanyakan orang dan mengikuti arus mayoritas, masyarakat diajak untuk peka pada hal-hal yang seharusnya tidak terjadi tetapi menjadi hal normal. Hal yang sama juga terjadi terhadap kasus pernikahan dini. Masyarakat perlu sadar bahwa alasan tradisi seperti yang dikutip dalam jurnal yang ditulis oleh Eva Eliya Sibagariang (2016), maupun ekonomi tidak menjadi pembenaran akan terjadinya pernikahan dini. Remaja baik secara fisik maupun mental belum mampu mengemban tugas dalam pernikahan terutama sebagai seorang orang tua. Eva memaparkan bahwa perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun memiliki risiko dua kali lipat terkena kanker serviks dibandingkan perempuan yang tidak. Dengan memahami dampak tersebut, kesadaran mengenai pernikahan dini harus terus dibangun sehingga di masa depan pernikahan dini hanya menjadi sebuah cerita masa lalu sebuah masyarakat. Untuk membangun kesadaran ini, peran filsafat dibutuhkan. 

Kesadaran literasi akan dampak nyata dari pernikahan dini perlu terus dibangun. Masyarakat juga perlu memperhatikan setiap sumber yang ada agar tidak terjadi disinformasi. Pernikahan dini merupakan hasil dari ketidakberhasilan masyarakat untuk sadar akan pentingnya pendidikan. Pendidikan membentuk cara berpikir yang logis dan rasional. Fenomena seperti ini pun dapat dikaji menggunakan logika sederhana yang seharusnya didapatkan individu apabila mengenyam pendidikan seperti seharusnya. Dalam ilmu filsafat, logika dapat membantu untuk dapat berpikir secara rasional. Penerapan logika dalam fenomena ini, membantu seseorang untuk memahami dan mengkaji suatu fenomena dan menentukan apakah baik adanya. Oleh karena itu, peran filsafat dalam hal ini logika sangat diperlukan bagi masyarakat secara luas. 

Referensi 

Adib, H. Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistimologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR. 

Bayisenge J., 2010. Early marriage as a barrier to girl’s education: a developmental challenge in Africa. (ed.), 2010. Catholic Institute for Development, Justice & Peace : Catholic Institute for Development, Justice & Peace (CIDJAP) Press. 

Devetak R, George J, Weber M., 2011. “Marxism and Critical Theory”, in Devetak, R., Burke, A., & George, J. (ed.), 2011. An Introduction to International Relations. Cambridge: Cambridge University Press. pp.63 – 75 

Wulandari dan Sarwititi Sarwoprasodjo,. 2014. Pengaruh Status Ekonomi Keluarga Terhadap Motif Menikah Dini di Perdesaan. Sodality : Jurnal Sosiologi Pedesaan. pp. 58. Eva Eliya Sibagariang. 2016. Kesehatan Reproduksi Wanita, Edisi Revisi. Jakarta: Trans Info Media. pp.43-45.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun