Hari ini tanggal 21 April 2011 bertepatan dengan hari Kartini. Dari sejak jaman SD hingga saat ini kita selalu memperingatinya, walau demikian sudah sejak lama juga ada pertanyaan dalam hati kecil saya.
Mengapa tidak ada Hari Dewi Sartika, tidak ada hari Cut Nyak Dien, tidak ada hari Martha Christina Tiahahu, ataupun pahlawan wanita Indonesia lainnya. Sedemikian hebatnya ataukah sedemikian rasisnya orang-orang yang menentukan hari kepahlawanan di Indonesia tersebut?
Mengacu hari Kartini dengan menimbang rasa keadilan kita, lebih jauh malah sempat terpikir diotak saya, kenapa tidak ada hari Soekarno, hari Soedirman dan pahlawan besar lainnya yang nyata-nyata dalam sejarah merupakan pahlawan besar bangsa indonesia dibanding "sekedar" hari Pahlawan Nasional.
Kembali ke hari Kartini bukankah lebih elok dan adil jika kita menyebutnya Hari Pahlawan Wanita misalnya atau Hari Emansipasi Wanita Indonesia atau bisa dengan nama lain yang lebih mengakomodir perjuangan Wanita Indonesia, bukan hanya seorang Kartini.
"Pengorbanan" seorang Kartini "yang menyerah dengan keadaan" sehingga akhirnya menikah dengan adipati Rembang yang telah menikah dengan 3 orang istri sepertinya sebuah pembenaran yang bertentangan semangat emansipasi beliau yang ingin ditularkan kepada kaum wanita Indonesia.
Emansipasi dan perjuangan sesungguhnya lebih terlihat dari jejak rekam seorang Cut Nyak Dhien, ketika beliau memiliki kemandirian dalam menentukan dalam hal dilamar oleh Teuku Umar ataupun berjuang bersama/tanpa suami menentang penguasa (kolonial Belanda). Cut Nyak Dhien bahkan memberikan contoh sejati seorang pemimpin wanita Indonesia yang mandiri, penuh percaya diri, pintar, memiliki daya juang yang tinggi, memiliki jiwa kepemimpinan yang dicintai pengikutnya serta rela berkorban dalam hal perjuangan sebenarnya (bukan menyerah begitu saja dengan keadaan dan akhirnya "dipaksa" menikah") yang konsisten hingga akhir masanya.
Jika contoh wanita terpelajar yang menjadi kategori dan pertimbangan, rasanya Dewi Sartika yang telah merintis pendidikan sejak tahun 1902 rasanya lebih pantas.
Adakah yang bisa membantu menjelaskan mengapa Kartini lebih memiliki jiwa emansipasi dibanding dengan Cut Nyak Dhien dan lebih memiliki semanta dan lebih menginspirasi dunia pendidikan wanita Indonesia dibandingkan dengan Dewi Sartika?
Ketika kita terutama wanita Indonesia belum bisa mengidentifikasi semangat pahlawan wanita Indonesia yang sesungguhnya rasanya inspirasi dan semangat itupun ikut tertular, semangat Kartini yang akhirnya menyerah dengan keadaan walaupun itu mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya.
Kalau kita ingat film Patriotnya Mel Gibson, begitu hebat dan menginsipirasi. Sebuah semangat membertahankan prinsip, tak lekang oleh waktu dan keadaan. Secara lahiriah bisa dibunuh tetapi sebetulnya motivasi, semangat dan inspirasi itu tidak pernah mati bahkan akan semakin menggelora bersemayam digenerasi muda berikutnya. Dan hal itu tercermin pada seorang Cut Nyak Dhien.
Mari kita gelorakan semangat hari emansipasi wanita Indonesia, dan kita pastinya lebih bangga jika mengucapkan "Selamat Hari Cut Nyak Dhien" ataupun "selamat Hari Dewi Sartika" untuk wanita Indonesia yang memang betul-betul pejuang sejati agar semangat mereka betul-betul seperti pahlawan wanita yang memang dibutuhkan Indonesia sejak jaman penjajahan hingga kini.
Cut Nyak Dhien memang bukan istri seorang birokrat, bahkan beliau adalah seorang yang dianggap penentang penguasa (penjajah Belanda) dan beliau juga memang bukan seorang turunan darah biru raja jawa. Tetapi hal tersebut tidak memudarkan siapa pahlawan emansipasi wanita Indonesia sebenarnya.
Ketika rezim berkuasa dan ada ketidakjujuran disana untuk sebuah kepentingan, lambat laun cerita yang sesungguhnya akan terbuka. Semangat obor (Cut Nyak Dhien) tak kan lekang oleh angin, cahaya lilin akhirnya mati dengan satu/beberapa tiupan saja. Ketika Belanda dengan politik adu dombanya tentu tidak akan memberikan ruang bagi seorang Martha Christina Tiahahu , "sang penghianat" dinobatkan sebagai pahlawan. dan ketika Soekarno menobatkan 21 April adalah hari Kartini melalui kepresnya, karena ego-jawasentrisnya.  Saat ini, mampukah penguasa bersikap lebih bijak untuk meluruskan sejarah dan apresiasinya? Ataukah tetap mempertahankan gaya warisan kolinial dengan tetap membodohi serta menularkan semangat yang bias? Orang bijak mengatakan, pembelokan sejarah akan menyebabkan peradaban bangsa tersebut hancur cepat atau lambat.
Selamat Hari Cut Nyak Dhien untuk semua Srikandi-srikandi Indonesia, jayalah selalu wanita Indonesia, jayalah selalu bangsaku!
Akhir kata, tulisan ini bukan bermaksud mengecilkan arti seorang Kartini, tetapi justeru ingin menggugah rasa keadilan dan hati kecil kita agar bisa lebih arif dan lebih dapat memaknai sebuah peristiwa tidak hanya sekedar latah ataupun ikut-ikutan, selain juga bertujuan untuk mengembalikan gelora semangat nasionalis dan patriotis yang sejati demi kejayaan bumi pertiwi . Mohon maaf jika ada kekurangan, tolong kembalikan jika ada kelebihan.. :)
Salam sejahtera buat kita semua, selalu semangat!
Bandung, 21 April 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H