Arisan identik dengan perempuan. Diadakan arisan bertujuan untuk menjaga silaturahmi. Di kelompok sosial mana pun, arisan menjadi hal yang lumrah diadakan. Arisan keluarga, arisan RT, arisan alumni, arisan orang tua siswa hingga arisan kelas olahraga. Anggota arisan pastinya didominasi oleh perempuan, ibu-ibu.
Tujuan mulia untuk menjaga silaturahmi didapatkan memang tapi hanya tiga puluh persen saja. Arisan menjadi ajang pamer dan saingan. Misalnya saja arisan keluarga, tiga juta yang didapatkan dari arisan.Â
Satu juta dipakai untuk menjamu anggota arisan, satu juta dipakai untuk membeli barang baru di rumah, sisanya dibelikan door prize untuk anggota arisan. Cukup menyesakkan bukan? Apa yang didapat? Kepuasan, apalagi jika anggota arisan memuji-muji.
Arisan orang tua siswa, menjaga silaturahmi padahal menjaga kelompok sosial yang anggotanya satu frekuensi. Saya termasuk yang ikutan arisan tersebut. Tujuannya memang untuk silaturahmi walau sejujurnya saya tidak menyukai berkumpul di kelompok sosial.Â
Saya bukan antisosial tapi saya tidak ada waktu untuk berkumpul di kelompok sosial karena saya bekerja. Menyapa tetangga saja hampir tidak pernah. Jika libur atau WFH ya benar-benar di rumah. Beli sayuran, ada mamang sayur online.
Suatu pagi saya membuka grup arisan tersebut, arisan diadakan di rumah salah satu anggota arisan dengan dress code. Saya mengehela nafas. Pas waktunya libur, saya harus mengusahakan datang.Â
Pada hari yang ditentukan tiba, grup ramai dengan saling kirim foto. Saya dipanggil-panggil untuk datang. Akhirnya saya memutuskan datang terlambat dan tidak memakai dress code. Saya yakin bahwa saya akan tidak nyaman berkumpul dengan mereka karena pembicaraan yang saya tidak pahami.Â
Saya datang sendiri karena anak-anak tidak mau ikut. Ketika sampai, ternyata ada lomba-lomba, mungkin karena masih suasana Agustusan. Berusaha ikutan heboh dengan mereka tapi saya tidak ikutan heboh di acara, saya duduk saja sambil terus melahap makanan yang disediakan.Â
Saya melihat ada kebahagiaan di raut wajah mereka. Tertawa lepas hingga kalimat umpatan terlontar sebagai ekspresi lepas. Saya ikutan tersenyum dan tertawa melihat tingkah mereka. Mereka terlihat tidak ada beban yang dirasakan.
Baru kusadar bahwa mereka sedang menciptakaan kebahagiaan sendiri di kelompok sosialnya. Menciptakan kebahagiaan yang mereka suka dengan teman-teman yang satu frekuensi. Beban terasa lepas. Kepuasan batin didapatkan. Kejenuhan di rumah sirna.
Apakah mereka bisa disebut dengan kaum sosialita? Â