Mohon tunggu...
Seorang Ibu
Seorang Ibu Mohon Tunggu... Buruh - Not Bad

Hanya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Guru Berteman dengan Siswa di Medsos, So What?

18 Oktober 2016   14:35 Diperbarui: 18 Oktober 2016   14:46 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ditakdirkan menjadi guru. Takdir kadang kejam #eh. Profesi menjadi guru sudah saya geluti selama 12 tahun. Waktu yang cukup lama bukan? Ya cukup lama pastinya maka saya sudah selayaknya makan bangku sekolahan. Selama 12 tahun itu saya mengajar di tingkat SMP. Siswa SMP biasanya berumur 12- 15 tahun, umur yang bisa disebut remaja awal.  Cukup jantungan menghadapi siswa remaja ini karena remaja seringkali tak tahu arah tujuan. Benar atau salah masih membingungkan untuknya walau pengetahuan sudah diberikan. Mereka seringkali mencoba-coba. Maka metode menjadi sahabat mereka bagi saya adalah metode ampuh untuk mendekatkan dengan mereka. Mereka malah lebih terbuka dengan curhat. Namun metode ini kadang membuat saya ikut-ikutan menjadi remaja. Ah jadilah saya awet muda.

selfieeee| Dokumentasi pribadi
selfieeee| Dokumentasi pribadi
Menjadi sahabat siswa seharusnya tidak saja di sekolah. Di luar lingkungan sekolah pun dianjurkan. Bukan berarti ikut-ikutan nonton atau nongkrong tapi bersahabatlah di media sosial.  Ikuti mereka diberbagai media sosial. Di instagram, BBM, Whatsapp, twitter, line, snapchat, atau lainnya. Sebisa mungkin kita menjadi temannya. Tidak perlu mencampuri namun berkomentarlah jika mereka salah dalam menggunakan media sosial. Ini kasus yang saya pernah hadapi. Dengan lugasnya siswaku beropini tentang LGBT di instagram dengan melampirkan fotonya yang sedikit tidak senonoh. Saya terkaget dibuatnya, jantung saya berdetak kencang. Berbagai komentar dari temannya bermunculan. Ketika kuteliti ada komentar dari beberapa temannya yang ikut mendukung LGBT itu. Saya teliti komentar itu bukan dari temannya di sekolah. Teman mayanya. Teman dari luar negeri. Saya bingung dibuatnya. Apa yang harus saya lakukan. Ini tidak masuk ke dalam peraturan sekolah. Kejadian itu dilakukan di rumah karena di sekolah tidak boleh membawa HP. Pikiran saya berkecamuk. Nurani seorang guru membuat otak saya berisik memikirkan itu.

Follow kaka hehehe| Dokumentasi pribadi
Follow kaka hehehe| Dokumentasi pribadi
Keesokan harinya, saya panggil dia. Bicara empat mata. Lelaki 13 tahun itu senyum senyum tak bermakna. Polos sekali pendapatnya. Dia ingin ke Belanda, tinggal di sana karena di sana bebas. Entahlah makna bebas membuat saya tercengang. Saya menasehatinya bukan karena pendapatnya yang salah namun dia belum pantas berkomentar itu apalagi dengan pose yang kurang pantas. Saya menyuruh tutup akunnya dan bermedsoslah dengan cerdas. Dia menggangguk tanda setuju. Langkah berikutnya yang dilakukan sekolah yaitu hanya memberikan info kepada orang tuanya agar ada pengawasan menggunakan medsos di rumah. 

Saya berharap pembaca yang menjadi orang tua atau guru berteman dengan mereka di media sosial. Ikuti perkembangan anak-anak di medsos seperti layaknya presiden kita. Jokowi mengetahui perkembangan anaknya di media sosial. Tak usah malu ikut-ikutan galau di media sosial. hehehe. 

@ratihraca, Oktober 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun