Gerimis di kotaku, mengalirkan air di sela-sela atap rumahku.
Gerimis di langit dadaku, mengalirkan rindu di setiap tarikan napasku
Aku menikmati rintik-rintik hujan dibalik jendela kamar sambil menghitung berpuluh-puluh rindu yang tercecer di kamarku. Sudah sepuluh tahun aku menahan rindu akan kasih sayang seorang lelaki, namun aku tak tahu siapa lelaki itu. Yang kutahu hanya merindukan sosok lelaki yang selalu disampingku. Tertawa, menangis, berdesah, berpeluh hingga mengasah amarah bersama. Aku mengumpulkan rindu itu hingga aku dapat menggambarkan sosok lelaki yang kurindukan. Bukan, bukan lelaki yang pernah bersamaku sebelumnya. Bukan lelaki yang meninggalkan aku saat aku hidup bergantung. Bukan lelaki yang tertawa dibalik sedihku. Bukan juga lelaki yang menyimpan banyak foto-foto senonoh wanita lain di telepon genggamnya. Apalagi lelaki yang menyimpan banyak minuman keras di kulkas rumahnya.
Entahlah, aku heran dengan lelaki yang pernah bersamaku. Jiwanya sakit padahal dia sungguh paham agama karena selama 10 tahun mengenyam pendidikan di pesantren. Keadaanku belum banyak berubah ketika lelaki itu meninggalkanku. Berusaha mencari nafkah untuk hidup aku dan kedua anakku. Seringkali teman berkomentar karena begitu lusuhnya penampilanku dan anak-anakku. Namun bagiku komentar mereka hanya sekedar kata yang tak punya arti apa-apa, tidak mengubah keadaanku.
Kuintip jendela kamarku, hujan di sela-sela rumahku sudah berhenti maka aku pun harus menghentikan bayangan sosok lelaki yang kurindukan. Aku harus bergegas menjemput anak-anakku yang sudah bersekolah. Melaju dengan sepeda motor pemberian kakakku, menghantam genangan air di setiap jalan yang dilewati. Senyum anak-anak menghangatkan dadaku. Mereka berlari menghampiriku dan langsung saja menaiki motorku yang sengaja tak kumatikan. Mereka tak sabar sampai rumah. Dua lelaki yang bersamaku begitu akrab, sangat jarang mereka bertengkar. Ah rasa syukur kali ini dekat dengan hidupku.
“Mah, tukang sampah itu selalu perhatikan kita!” bisik Rio di telingaku.
Ya aku sadar atas pernyataan Rio. Aku mengenalnya. Dia bernama Dudung berumur 40 tahun. Dia bekerja sebagai petugas kebersihan di lingkungan rumahku. Dia selalu mengambil sampah-sampah yang berada di depan rumah warga untuk dimasukkan ke dalam mobil berwarna oranye. Dia menggunakan seragam berwarna oranye pertanda petugas kebersihan dengan status PNS. Beberapa kali aku sempat mengobrol dengannya. Tidak banyak bicara namun terkadang lucu dengan ocehannya.
“Neng, tong sampahnya kok wangi ya?” tanya Dudung padaku suatu sore ketika dia mengambil sampah di depan rumahku.
“Maksudnya apa Kang?” tanyaku heran.
“Iya tong sampahnya aja wangi, gimana yang punya tong sampah ini!”
Lucu namun garing terdengar. Kadang kuperhatikan gerak-geriknya yang begitu cekatan bekerja. Wajah yang sudah terlihat kerutan namun belum juga dipertemukan jodoh.
***
Hari ini adalah pernikahanku. Ya aku menikah dengan Dudung. Seorang tukang sapu yang jarak umurnya berbeda 8 tahun denganku. Pengang telingaku mendengar komentar-komentar keluargaku.
“Makan cinta? Anakmu bagaimana nanti masa depannya?” ketus ibuku dan bibiku.
Aku hanya diam dan aku hanya akan membuktikan pada mereka bahwa memang kami akan hidup dengan memakan cinta. Penuh cinta. Bagiku menikmati hidup dengan cinta membuat aku banyak bersyukur dengan keadaan. Dudung sangat menyayangi anak-anakku. Sungguh terlihat penerimaan kedua anak lelakiku. Mereka tersenyum bahagia kala aku bermanja dengan Dudung.
Hujan kembali mewarnai hari pernikahanku. Pernikahan yang sangat sederhana. Hanya keluarga inti saja yang datang. Aku dan Dudung akan memulai hari baru. Hari yang semakin menantang. Ada rasa lega yang kurasakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H