Saat ini, sampailah kita pada zaman gila. Manusia telah benar-benar menjadi serigala bagi manusia yang lainnya sebagaimana yang telah diramalkan oleh Thomas Hobbes. Manusia yang lemah cenderung menjadi mangsa dari manusia yang lebih kuat. Peng-eksploitasi-an manusia oleh manusia guna dijarah tenaga dan waktunya, perbudakan manusia modern dalam masyarakat industri, penjualan manusia (human trafficking) yang mayoritas meliputi kaum wanita dan anak untuk dijadikan pekerja tanpa gaji, “budak seks”, dan bahkan banyak yang dibunuh untuk dijual organ tubuhnya.
Celakanya, kasus penjualan manusia (human trafficking) di Indonesia menempati peringkat tertinggi dunia. International Organization for Imigration (IOM) mencatat korban perdagangan manusia di indonesia mencapai 1 juta orang pertahun. Artinya, setiap satu detik pasti ada korban human trafficking di wilayah indonesia.
Besarnya kasus penjualan manusia di indonesia ini tidak serta-merta ada begitu saja. Kasus itu bukanlah rekayasa langit untuk rakyat penghuni zamrud katulistiwa ini. Kasus itu bukan pula ciri asli watak masyarakat nusantara yang terkenal humanis, santun, dan berbudi luhur sejak dahulu kala. Adanya kasus human trafficking di indonesia ini tak lain dan tak bukan dikarenakan tekanan hidup yang semakin berat, kelaparan yang tak tertahankan, dan kemiskinan yang semakin memilukan.
Sedangkan besarnya tekanan hidup, maraknya kelaparan dan kemiskinan meruapan dampak dari penghianatan beberapa tokoh politik mulai masa orde baru bahkan sampai pasca reformasi terhadap sistem yang telah dicanangkan dengan secara matang dan seksama oleh para pendiri bangsa. Puncak dari penghianatan itu adalah diamandemennya undang-undang dasar 1945 sampai empat kali. Sehingga Undang-Undang Dasar kita tidak lagi mewarisi cita-cita para pendiri bangsa yang telah berupaya agar bangsa Indonesia tetap memegang semangat tradisi “gotong-royong”, sama rasa-sama rata dan terbebas dari perangap-perangkap kapitalisme, demokrasi liberal, dan pasar bebas yang akan melahirkan individualisme dan akhirnya berujung pada terbentuknya manusia yang memakan manusia yang lainnya.
Orang bilang, tanah kita tanah surga: kaya sumber daya, indah permai bagai untaian zamrud yang melilit khatulistiwa. Namun, di taman nirwana ini telah terjadi banjir linangan air mata. Kekuasaan datang silih berganti membawa mimpi-mimpi; tetapi nasib rakyat tetap sama, kekal menderita.
Mimpi indah kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merderka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sekarang telah menjelma menjadi mimpi buruk: tertindas, terpecah-belah, terperbudak, timapang, dan miskin.
Secara umum, pemerintahan negara gagal menunaikan kewajibannya untuk melindungi segenap seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan seluruh rakyat. Pada kenyataannya, perwujudan masyarakat adil dan makmur telah dihalangi oleh merajalelanya keserakahan kapitalisme predatoris. Usaha bersama yang dicanangkan oleh Bung Hatta dengan berlandaskan tolong-menolong/gotong-royong (ekonomi koperasi) saat ini telah tertikam oleh usaha perseorangan yang saling mematikan. Kemakmuran seluruh rakyat disisihkan oleh kemakmuran segelintir orang saja. Kesenjangan semakin melebar, menjauh dari cita-cita keadilan sosial.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang mestinya dikuasai oleh negara, jatuh ke tangan penguasaan orang-seorang dan modal asing, menjadikan rakyat banyak sebagai tindasan segelintir orang kuat. Begitupun bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok kemakmuran rakyat, yang seharunya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, malah sekarang makin dikuasai oleh segelintir orang untuk diperuntukkan bagi kemakmuran secuil orang asing, aseng dan asong.
Pada ranah politik, cita-cita demokrasi Pancasila sebagai demokrasi khas indonesia yang bertumpu pada asas “musyawarah”, saat ini telah dibajak oleh demokrasi liberal yang bertumpu pada kekuatan modal (uang). Sistem demokrasi yang kebablasan ini tidak lagi melahirkan politisi-politisi yang berkualitas dan berintegritas tetapi melahirkan politisi kelas coro yang menjadi boneka dari para pemilik modal.
Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif rakyat untuk mengendalikan kepentingan perorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana efektiff bagi kepentingan perseorangan untuk mengkontrol institusi dan kebijakan publik. Kepentingan umum tunduk pada kendali kepentingan pemodal besar.
Dengan demikian, yang kita dapati di seberang jembatan emas kemerdekaan adalah jalan yang bercabang dua. Satu cabang adalah cabang mulus bagi segelintir orang yang hidup berkelimpahan harta: sama dapat, sama bahagia. Sedangkan cabang jalan yang satunya lagi merupakan jalan terjal bagi mayoritas rakyat indonesia yang hidup berkekuarangan dan penuh pilu penderitaan: sama ratap, sama sengsara.