Mohon tunggu...
Mualifah Diana Nur Rosyidah
Mualifah Diana Nur Rosyidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup sehat dan belajar itu penting

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ramadhan di Pesantren: Menggapai Rahmat, Ampunan, dan Pembebasan

3 Desember 2024   15:36 Diperbarui: 3 Desember 2024   15:42 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadhan kali ini membawaku pada sebuah perjalanan baru. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, di mana aku menjalani ibadah puasa di rumah dengan segala kenyamanan, kali ini aku harus melewatinya di pesantrenku tercinta. Keputusanku untuk mondok di pesantren sekaligus melanjutkan pendidikan di sini merupakan langkah besar dalam hidupku. Meski awalnya terasa berat, aku yakin ini adalah jalan terbaik untuk mendekatkan diriku kepada Allah dan memperdalam ilmu agama.

Pagi-pagi sekali, sebelum fajar menyingsing, aku sudah terbangun oleh suara bel yang sangat nyaring terdengar ditelinga membuat siapapun yang mendengarnya terlonjak kaget dan pengurus yang mengetuk pintu kamar yang lumayan keras. "Sahur, sahur," katanya. mata pun terasa berat untuk terbuka. Godaan untuk kembali merebahkan diri lebih kuat dibanding semangat untuk bangun sahur tapi aku bergegas bangun, mencuci muka, dan bersiap menyantap makanan sahur yang sederhana karena adzan shubuh yang semakin dekat. Dinampan yang besar, kami berbagi nasi, sayur bening, dan tempe goreng. Jika di rumah aku terbiasa dengan menu beragam, di sini, kesederhanaan itu justru terasa begitu nikmat.

Setelah sahur dan shalat subuh berjamaah di masjid, rutinitas kami dimulai dengan ngaji Al-Quran bersama. Suara lantunan ayat-ayat suci memenuhi ruangan masjid, menghadirkan ketenangan yang sulit kugambarkan. Setiap harinya, aku belajar membaca Al-Quran dengan lebih baik, memperbaiki tajwid, dan memperdalam maknanya.

Usai ngaji pagi, ada waktu luang yang sering kuhabiskan dengan membaca buku atau berbincang ringan dengan teman-teman dengan candaan kecil. Kadang, aku memilih duduk di bawah pohon mangga di halaman pesantren, menikmati sejuknya angin pagi sambil merenungkan hidup. Di pesantren, suasananya begitu jauh dari kebisingan dunia luar. Tidak ada suara notifikasi dari ponsel, hanya kedamaian dan kebersamaan yang menyelimuti.

Menjelang siang, kami berkumpul di aula untuk ngaji kitab kuning. Awalnya, aku merasa kesulitan memahami teks Arab gundul itu, tapi perlahan aku mulai terbiasa. Ustadz yang membimbing kami sangat sabar menjelaskan setiap makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya. "Ilmu itu harus diiringi dengan keikhlasan," ujar ustadz suatu hari. Kata-kata itu terus terngiang di benakku.

Setelah ngaji kitab, kami menunaikan shalat dhuhur berjamaah, lalu kembali ke aula untuk ngaji lagi tapi dengan kitab yang berbeda dan ustadz yang berbeda juga. Meski jadwalnya cukup padat, aku tidak merasa lelah. Ada rasa tenang dan puas yang muncul setiap kali memahami pelajaran baru.

Ketika sore tiba, setelah shalat asar, kami mengikuti madrasah diniyah. Madrasah ini lebih menekankan pada ilmu fikih, tauhid, dan sejarah Islam. Meski materinya terkesan berat, ustadz yang menyampaikannya dengan cara yang ringan dan mudah dipahami. Kadang, beliau menyelipkan kisah-kisah inspiratif yang membuat kami semakin semangat belajar ilmu agama.

Menjelang maghrib, kami semua berkumpul di dapur untuk membantu menyiapkan makanan berbuka. Di pesantren, menu berbuka biasanya sederhana: teh manis, kurma, dan sesekali gorengan. Namun, kebersamaan saat menyantapnya membuat makanan itu terasa lebih istimewa. Ketika adzan maghrib berkumandang, kami membaca doa bersama sebelum membatalkan puasa. Suara doa-doa itu terdengar lirih, penuh rasa syukur.

Setelah berbuka dan shalat maghrib, ada jeda waktu sebelum shalat isya dan tarawih. Waktu itu sering kami manfaatkan untuk berbincang ringan atau sekadar beristirahat sejenak. Tarawih di pesantren memiliki keistimewaan tersendiri. Dengan lantunan ayat-ayat Al-Quran yang indah, setiap rakaat terasa begitu mendalam.

Usai tarawih, kami melanjutkan dengan tadarus Al-Quran. Suara bacaan Al-Quran bergema di masjid hingga larut malam. Ada perasaan damai yang sulit dijelaskan saat membaca kalam Allah bersama-sama. Jika masih ada waktu setelah tadarus, aku biasanya belajar untuk persiapan sekolah. Tapi saat libur, aku langsung kembali ke kamar untuk istirahat.

Hari-hari di pesantren penuh dengan rutinitas yang bermakna. Salah satu hal yang paling mengesankan adalah sikap para ustadz dan ustadzah. Mereka sangat sabar dan penuh kasih sayang. Momen kebersamaan di pesantren memberikan pelajaran besar dalam hidupku. Suatu hari, kami harus berbuka puasa dengan menu yang sangat sederhana yaitu dengan nasi putih, sambal, dan tahu goreng. Awalnya, aku sedikit terkejut karena terbiasa dengan menu berbuka yang lebih lengkap dan variatif di rumah. Tapi saat aku menyuapkan nasi ke mulut, rasanya luar biasa nikmat apalagi dalam posisi lapar.

Aku sadar, bukan makanan yang membuatnya istimewa, melainkan kebersamaan yang terjalin. Kami duduk melingkar, saling berbagi cerita, dan tertawa bersama. Di pesantren, aku belajar bahwa kebahagiaan bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang mensyukuri apa yang ada.

Saat Ramadhan semakin mendekati akhir, suasana hati campur aduk. Ada rasa haru karena Ramadhan akan segera berakhir, tapi juga kebahagiaan karena aku merasa telah melalui bulan ini dengan penuh makna. Di malam terakhir, ustadzah mengingatkan kami, "Ujung Ramadhan adalah pembebasan dari api neraka. Manfaatkanlah malam ini untuk berdoa dan memohon ampunan." Aku menghabiskan malam itu dengan shalat dan berdoa. Dalam sujud panjang, aku memohon kepada Allah agar menerima ibadahku selama bulan suci ini. Aku merasa semakin dekat dengan-Nya, seolah-olah seluruh beban hidup terangkat.

Ramadhan di pesantren mengajarkanku banyak hal: kesederhanaan, kebersamaan, dan kedekatan dengan Allah. Aku sadar, kehidupan di luar sana mungkin akan kembali sibuk dan penuh distraksi, tapi aku berjanji untuk membawa nilai-nilai yang kupelajari di sini. Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tapi juga tentang memperbaiki diri dan memperdalam keimanan. Pengalaman di pesantren ini akan selalu menjadi kenangan terindah dalam hidupku, yang mengingatkanku bahwa di balik kesederhanaan ada kebahagiaan yang abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun