[caption caption="Diskusi Mengawal Dana Desa di Bangsal Kepatihan, Daerah Istimewa Yogyakarta. (ki-ka) Arifin Nata, (Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri), Johan Budi SP (Komisioner KPK RI). Sumber: Sekolahdesa.or.id"][/caption]Percepatan penyaluran Dana Desa melalui SKB 3 menteri mulai menampakkan hasil. Data Kemendesa, sampai dengan awal Oktober  penyaluran dana desa ke daerah telah mencapai 16,5 triliun atau 80%. Sayangnya, percepatan Penyaluran dana desa tidak diimbangi dengan paket kebijakan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa yang memadai. Akibatnya tak satupun kegiatan dana desa yang dipertanggungjawabkan secara publik melalui musyawarah desa.Â
Meskipun pengaturan Desa ini menjadi wewenang 3 menteri, mulai Kemendagri, Kemenkeu, hingga Kemendesa, namun tak satupun produk Peraturan Menteri yang mempertajam implementasi prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa melalui Musyawarah Desa Pertanggungjawaban. Dengan tidak adanya Musdes pertanggungjawaban, praktis tidak ada ruang publik yang dapat menjadi media warga desa untuk menyampaikan aspirasi, saran dan pendapat terkait dengan pelaksanaan pembangunan desa.Â
Dalam Permendagri 113 tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan desa maupun Permenkeu ttg pengalokasian, penyaluran, penggunaan, pemantauan dan evaluasi dana desa, tanggung jawab keuangan APBDesa hanya sebatas penyampaian realisasi APBDesa Kepada Bupati pada tiap semester tahun berjalan. Demikian juga SKB 3 menteri juga tidak jauh beda. Seakan lupa bahwa tujuan UU Desa adalah membentuk  Pemerintahan  Desa  yang  profesional, efisien  dan  efektif,  terbuka, serta  bertanggung jawab. Bukan hanya melulu soal dana desa.
Pemerintah desa yang terbuka dan bertanggung jawab tentu akan melihat Musyawarah desa sebagai forum penting dalam Pertanggungjawaban Dana Desa. Intensitas penyelenggaraan musyawarah desa juga merupakan indikator penting kualitas demokratisasi di desa. Untuk itu, sebelum adanya UU desa, PNPM perdesaan berusaha membangun kebiasaan baik berdemokrasi melalui pelaksanaan musyawarah desa (Musdes) yang cukup panjang dan melelahkan. Pada tahap perencanaan, diluar penggalian gagasan setidaknya ada dua musdes. Musdes Khusus Perempuan dan Musdes Perencanaan (campuran). Sedangkan pada tahap pelaksanaan, upaya membangun keterbukaan dan akuntabilitas program, dilaksanakan dengan mengadakan tiga kali musdes pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban dana tahap 1 (40%) tahap 2 (80%) dan tahap 3 (100%).Â
Musdes pertanggungjawaban menjadi media bagi pelaksana kegiatan untuk melaporkan keuangan dan kegiatan yang ditanganinya, BPD sebagai unsur pemantau kegiatan melaporkan hasil pengawasan langsungnya dan masyarakat secara umum menilai sekaligus memberi sumbang saran atas kinerja pelaksana kegiatan. Rekomendasi hasil musyawarah pertanggungjawaban menjadi umpan balik yang semakin meningkatkan pelaksanaan prinsip transparansi dan akuntabilitas program.Â
Pasal 68, UU Desa mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa. Terkait kewajiban, masyarakat desa dipaksa  mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat desa berjalan dengan lebih baik.Â
Untuk memastikan masyarakat bisa berdesa dengan lebih baik, UU Desa juga menjamin hak warga desa mendapatkan informasi serta berpartisipasi dalam pengawasan desa di segala bidang, khususnya pelaksanaan pembangunan. Sebuah hak partisipatif yang sangat luar biasa bagi warga desa.Â
Guna melindungi hak dan kewajiban warga Desa, PP 43 tahun 2014 tentang sebagai pelaksana undang-undang desa, Â pasal 121 ayat 4, secara tegas mengamanatkan agar Tim pelaksana pembangunan melaporkan kegiatan pembangunan dalam forum musyawarah desa. Pada ayat selanjutnya, masyarakat desa juga harus berpartisipasi untuk menanggapi laporan pelaksanaan pembangunan desa dalam musdes itu.Â
Meskipun peraturan pemerintah tentang pelaksanaan undang-undang desa menyebutkan adanya kewajiban tim pelaksana pembangunan desa untuk menyampaikan pertanggungjawaban melalui forum musdes, namun lantaran tidak ada petunjuk teknis yang mewajibkan adanya musyawarah Pertanggungjawaban Dana Desa, maka peraturan pemerintah di atas tidak bisa berjalan. Begitulah hebat nya negeri kita. Suatu produk undang-undang hanya akan menjadi hiasan, sepanjang tidak didukung sederet Peraturan pelaksana mulai dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga Peraturan Bupati.Â
Sayangnya tidak banyak kepala daerah yang memiliki komitmen keterbukaan yang baik atas pengelolaan keuangan negara. Karena itu pada saat menyusun perbup tentang pengelolaan keuangan desa maupun juknis pengelolaan dana desa dan ADD, tak satupun yang mewajibkan adanya musyawarah desa pertanggungjawaban bagi pelaksana kegiatan.Â
Untuk mendorong daerah menyusun produk kebijakan yang melindungi hak-hak warga desa sebagaimana dijamin undang-undang desa, maka tiada lain Kementrian Desa harus segera menetapkan pedoman umum pengelolaan dana desa sebagaimana amanat peraturan pemerintah yang mewajibkan adanya musyawarah pertanggungjawaban. Â Harapannya dengan adanya pedoman umum ini, juknis yang dibuat oleh daerah juga akan memasukkan semangat transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik dalam pengelolaan keuangan desa.Â
 Di sisi lain pedoman umum suka akan mempermudah daerah yang punya komitmen baik terhadap pengelolaan keuangan desa. Penolakan Pemkot Kota Batu Provinsi Jawa Timur untuk menerima dana desa karena pertimbangan administratif prosedural harus menjadi evaluasi bagi Kementerian desa untuk memberikan kemudahan dengan menerbitkan pedoman umum.Â
Baca juga:
Percepatan Dana Desa, Langkah Offside Menteri Desa
Mau Jadi Pendamping Desa, Ini Tantangannya
Carut Marut Rekrutmen Pendamping Desa
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H