"Kak, Gilang mana?" tanya Ibuku.
Aku jawab sekenannya. Kupikir Gilang ikut dengan Ibu dan Ayah shalat Magrib. Ibu langsung marah kepadaku. Aku bilang ke Ibu kalau sejak tadi aku di mini market di depan mobil, perutku sakit hari pertama datang bulan. Aku bahkan tidak memperhatikan siapa pun di sini.
Ibu panik bukan main. Ayah juga langsung terlihat berbicara dengan petugas. Aku tak habis pikir, kok masih bisa-bisanya Gilang, adikku, yang sudah tujuh tahun bisa hilang di rest area. Tidak mungkin ada penculik yang tertarik kepadanya. Bocah nakal yang selalu menyusahkan!
Satu dua petugas menghampiriku dan mulai bertanya ini itu. Aku tidak tahu. Kemudian orang tuaku bersikeras menjelaskan krologi sebelum Gilang menghilang. Aku pun terpaksa menjelaskan apa yang aku lakukan.
"Kakak, sini cari Gilang,"Â
Sepintas aku mengdengar suara itu. Kucari arahnya, terlihat. Gilang ada di kolong mobil orang. Duh! Bisa-bisanya dasar anak nakal! Aku segera menghampirinya. Sudah cukup kepanikan ini. Tapi saat aku menundukan kepala ke arah mobil untuk memanggil Gilang. Aku melihat ada tiga anak kecil berwajah pucat dengan mata yang berdarah sambil tertawa-tawa. Aku ingin menjerit, tapi suaraku tidak bisa keluar.
"Kakak jangan berisik, hihihi."
Aku tidak sadar apa yang terjadi kemudian.Â
"Kak, sadar Kak," suara Ibu. Kulihat sekitar, ternyata aku sedang di mobil. Ada Gilang di sebelah aku. Ia tertawa-tawa. Aku memperhatikannya. Ibu berbicara, tapi aku tak mengdengarkannya. Aku terus memperhatikan Gilang yang tertawa-tawa. Aneh sekali. Tawa yang menyeramkan.
"Apa aku Gilang?" tanyanya berbisik.
Aku menjerit. Mundur. Keluar dari mobil. Ayah melihatku, Ibu berusaha menenangkan aku. Kukatakan pada mereka itu bukan Gilang. Ayah berusaha menenangkan aku. Kuyakinkan kepada mereka kalau itu bukan Gilang.
"Kamu ngomong apa?" tanya Ayah.
Tidak ada yang percaya kepadaku. Sosok seperti Gilang itu mendekatiku sambil terus tertawa. Aneh! Tidak ada yang sadar kalau Gilang terus tertawa seperti ini. Tidak ada yang bisa membedakan mana Gilang dan bukan!
Aku tak sadarkan diri kembali. Sampai terdengar suara Ibu menangis. Saat aku menyadari kalau sudah banyak petugas di sekitarku. Salah seorang sedang memegangi seorang anak laki-laki yang tak berhenti tertawa-tawa. Aku tahu suara siapa itu. Kuperhatikan. Seorang anak terduduk, matanya menatap tajam ke arahku sambil memanggilku, "Kakak.. hihihi.."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H