Penilaian kinerja bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah proses penting yang seharusnya mencerminkan penghargaan atas kontribusi nyata seorang pegawai. Sayangnya, dalam praktiknya sering kali penilaian ini menjadi subyektif, tidak proporsional, bahkan memunculkan ketidakadilan yang berpotensi menurunkan semangat kerja para pegawai. Salah satu isu mencolok adalah preferensi terhadap senioritas. Apakah senioritas menjadi tolak ukur utama dalam penilaian? Jika benar, di mana peran indikator kinerja yang objektif? Bagaimana dengan pegawai baru yang bekerja keras hingga menunjukkan prestasi gemilang, bahkan sampai mengangkat nama baik institusi? Apakah wajar bila mereka hanya mendapatkan penilaian standar, sementara pegawai senior yang kontribusinya relatif biasa saja mendapat penilaian sangat baik? Contoh konkret ini menjadi refleksi nyata atas perlakuan tidak adil dalam penilaian kinerja. Seorang ASN baru yang enerjik dan tak segan bekerja hingga larut malam demi menyelesaikan tugas demi tugas ternyata hanya diberi nilai "baik". Di sisi lain, ASN senior yang bekerja "secukupnya" tetapi dianggap "sangat baik" menunjukkan adanya bias dalam sistem penilaian. Situasi ini jelas menciptakan ketidakpuasan yang berujung pada kekecewaan.
Pejabat penilai memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan penilaian yang mencerminkan kinerja aktual, bukan semata berdasarkan senioritas, kedekatan personal, atau preferensi pribadi. Idealnya, penilaian harus berbasis pada indikator yang terukur seperti kualitas hasil kerja yang menunjukkan sejauh mana kontribusi pegawai terhadap tujuan institusi, efisiensi dan efektivitas dalam menyelesaikan pekerjaan tanpa mengorbankan kualitas, inovasi dalam memberikan solusi baru yang berdampak positif, serta dedikasi dan komitmen yang ditunjukkan dengan semangat kerja tinggi, bahkan di luar ekspektasi. Namun, jika pejabat penilai hanya berfokus pada hubungan senior-junior atau penilaian sepihak, maka fungsi objektivitas benar-benar hilang. Ketidakadilan ini berisiko melahirkan demoralisasi di kalangan pegawai, terutama mereka yang baru bergabung tetapi telah memberikan kontribusi nyata.
Ketidakadilan dalam penilaian kinerja tidak hanya merugikan pegawai, tetapi juga institusi secara keseluruhan. Pegawai yang merasa kerja kerasnya tidak dihargai akan kehilangan semangat, berujung pada penurunan produktivitas. Mereka yang awalnya energik akan perlahan-lahan merasa bahwa dedikasi dan inovasi mereka tidak berarti apa-apa. Lebih buruk lagi, ketidakadilan ini akan menciptakan budaya kerja yang tidak sehat. Pegawai yang dinilai tinggi karena kedekatan atau faktor subjektif lainnya akan merasa nyaman dalam zona aman, tanpa merasa perlu meningkatkan performa. Sebaliknya, pegawai yang merasa diabaikan akan enggan memberikan upaya ekstra.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada evaluasi terhadap sistem penilaian kinerja ASN. Institusi harus menerapkan sistem penilaian berbasis meritokrasi yang fokus pada pencapaian individu, bukan pada senioritas atau aspek subjektif lainnya. Selain itu, melibatkan panel penilai independen dapat membantu mengurangi risiko bias. Pegawai juga harus diberi ruang untuk klarifikasi agar dapat mengetahui alasan di balik penilaian yang diberikan dan menyampaikan masukan jika merasa tidak adil. Penggunaan teknologi dalam sistem penilaian, seperti aplikasi berbasis data, juga dapat membantu menciptakan transparansi dan akuntabilitas. Keadilan dalam penilaian kinerja adalah hak setiap ASN. Jika pejabat penilai tidak mampu menjalankan tugasnya dengan objektif, maka kepercayaan terhadap sistem ini akan luntur. Sudah saatnya memperbaiki standar penilaian kinerja demi menciptakan budaya kerja yang sehat, adil, dan produktif. Ketidakadilan yang dibiarkan hanya akan menumbuhkan kekecewaan yang merugikan semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H