Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - ASN Guru MAN 1 Kota Parepare

S1 Universitas Al-Azhar Mesir. S2 SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) LPDP Kemenag RI. (Dalam Negeri) Anggota MUI Kec. Biringkanaya. Sulawesi Selatan. Penulis buku "Perjalanan Spiritual Menuju Kesempurnaan Melalui Cahaya Shalat" dan "Warisan Kasih: Kisah, Kenangan, dan Hikmah Hadis". Prosiding : the 1st International Conference on Religion, Scripture & Scholars Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal Jakarta, berjudul "The Spirit of Ecology in the Hadith: Protecting Nature in Love of Religion" yang terbit pada Orbit Publishing Jakarta. Hal. 237-249. Tahun 2024. Peneliti Jurnal Ilmiah sinta 6 berjudul "Zindiq Al-Walīd bin Yazīd An Analysis of Orthodoxy and Heterodoxy in the perspective of Civil Society in the Umayyad Dynasty" yang terbit pada Journal Analytica Islamica Program Pscasarjana UIN Sumatera Utara Medan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijaksanaan Lao Tsu yang Menembus Zaman

10 Oktober 2024   15:56 Diperbarui: 10 Oktober 2024   16:06 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lao Tsu, atau dikenal juga sebagai Laozi, adalah seorang filsuf besar dari Tiongkok kuno yang terkenal dengan karya monumental Tao Te Ching. Dalam ajarannya, Lao Tsu menekankan pentingnya harmoni dengan alam dan diri sendiri, serta menekankan bahwa jalan terbaik untuk mencapai kedamaian dan kesuksesan adalah dengan mengikuti aliran alam tanpa berusaha terlalu keras melawan arusnya.
Lao Tsu hidup pada masa yang dikenal sebagai Zaman Musim Semi dan Gugur (770--476 SM), sebuah periode di mana kekacauan politik dan sosial melanda Tiongkok. Banyak pemimpin saat itu berlomba-lomba mendapatkan kekuasaan, menyebabkan ketidakstabilan di masyarakat. Melalui ajarannya, Lao Tsu menawarkan jalan yang berbeda dari dominasi dan kontrol---ia menganjurkan jalan yang lebih seimbang, harmoni dengan alam, dan pengendalian diri.

Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah: "Ketika Anda puas dengan diri sendiri dan tidak membandingkan atau bersaing, semua orang akan menghormati Anda." Pemikiran ini seolah mengajak kita untuk menghargai ketenangan dalam diri sendiri tanpa terus-menerus mencari validasi dari orang lain. Menurut Lao Tsu, penghormatan sejati datang bukan dari perebutan perhatian atau pengakuan, tetapi dari menerima diri apa adanya. Dalam konteks modern, pesan ini sangat relevan di tengah dunia yang penuh dengan kompetisi, terutama di media sosial di mana orang sering kali terjebak dalam lingkaran perbandingan dan keinginan untuk diakui.

Lebih lanjut, Lao Tsu menekankan pentingnya pengetahuan diri dengan menyatakan, "Mengetahui orang lain adalah kecerdasan; mengetahui diri sendiri adalah kebijaksanaan sejati." Di zaman di mana informasi begitu mudah diakses, banyak orang merasa cerdas karena mampu memahami orang lain, tren, atau dunia di sekitarnya. Namun, memahami diri sendiri---yang sering kali memerlukan refleksi mendalam dan kejujuran terhadap kelemahan serta kekuatan pribadi---adalah bentuk kebijaksanaan yang lebih mendalam. Dalam kehidupan modern, di mana banyak orang terjebak dalam pencarian status dan kesuksesan eksternal, nasihat Lao Tsu untuk mengenal diri sendiri lebih dahulu adalah cara untuk menemukan keseimbangan hidup yang sejati.

Selanjutnya, "Mengendalikan orang lain adalah kekuatan; mengendalikan diri sendiri adalah kekuatan sejati," menekankan bahwa kekuatan sebenarnya terletak dalam pengendalian diri. Di dunia modern, ambisi sering kali mendorong individu untuk mengendalikan atau mempengaruhi orang lain demi mencapai tujuan mereka. Namun, Lao Tsu mengingatkan bahwa kekuatan sejati bukanlah tentang menguasai orang lain, melainkan tentang menguasai diri sendiri, baik emosi, ambisi, maupun keinginan. Orang yang dapat mengendalikan dirinya akan lebih stabil dan tidak mudah tergoyahkan oleh situasi eksternal.

Lao Tsu juga memberikan nasihat penting tentang pentingnya mengetahui batasan diri: "Mengetahui kapan harus berhenti adalah cara untuk menghindari bahaya." Dalam masyarakat yang sering kali mendorong orang untuk terus mendorong batas diri demi mencapai lebih banyak, lebih cepat, dan lebih tinggi, ajaran ini menjadi semacam peringatan. Terlalu banyak ambisi atau keinginan yang tidak terkendali dapat membawa seseorang pada kehancuran, baik secara fisik maupun mental.

Pernyataannya bahwa "Lebih baik memadamkan ambisi yang tinggi daripada membakar diri dengan keinginan" memperkuat pandangannya bahwa ambisi yang tidak terkendali bisa merusak diri sendiri. Dalam dunia modern yang sangat kompetitif, banyak orang merasa terbakar oleh tuntutan pekerjaan, status sosial, dan keinginan untuk mencapai puncak. Lao Tsu menasihati agar kita lebih bijak dengan mengelola ambisi dan menghindari keinginan yang berlebihan agar tidak merusak diri sendiri.

Akhirnya, Lao Tsu menggambarkan seorang pemimpin yang baik dengan metafora air: "Seorang pemimpin yang baik adalah seperti air: Ia melayani semua tanpa memihak, tanpa menghakimi." Air tidak membedakan atau menilai, tetapi melayani kebutuhan semua makhluk dengan sifat yang lembut dan fleksibel. Seorang pemimpin yang ideal menurut Lao Tsu adalah mereka yang rendah hati, tidak memaksakan kehendak, dan melayani semua dengan adil. Dalam konteks kepemimpinan modern, ajaran ini sangat relevan di mana pemimpin yang bijaksana tidak hanya berfokus pada kekuasaan, tetapi juga pada bagaimana mereka bisa membantu dan melayani dengan tulus.

Relevansi dengan Kehidupan Modern

Ajaran Lao Tsu ini sangat relevan dalam realita kehidupan modern. Dalam dunia yang penuh kompetisi, ambisi, dan perbandingan---terutama di era digital di mana kita terus-menerus terpapar pencapaian orang lain---pesan Lao Tsu tentang menerima diri, pengendalian diri, dan rendah hati menjadi pengingat penting. Alih-alih mengejar validasi eksternal, kita diajak untuk menemukan kedamaian dalam diri sendiri, mengatur ambisi, dan menjadi pemimpin yang melayani dengan hati, bukan dengan otoritas semata.

Jika Lao Tsu hidup di zaman modern, ia mungkin akan memandang dunia dengan sedikit kekecewaan. Keinginan manusia untuk mendominasi, bersaing, dan terus-menerus mencari validasi di media sosial atau dalam dunia kerja tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai yang ia anjurkan. Namun, Lao Tsu juga akan mengingatkan kita bahwa jalan menuju kedamaian dan kehormatan tidaklah ditemukan dalam persaingan, tetapi dalam kebijaksanaan untuk mengenal diri, mengekang ambisi, dan menjadi pemimpin yang melayani tanpa pamrih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun