Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW senantiasa mengajarkan umatnya untuk berbuat kebaikan. Salah satu hadis yang kerap dijadikan rujukan adalah, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain" (HR. Ahmad). Pesan moral ini begitu agung, memandu kita untuk terus memberikan manfaat dan kebaikan kepada sesama. Namun, di era modern, muncul fenomena yang menarik untuk dibahas: ketika kebaikan mulai tercampur dengan ketundukan yang berlebihan, terutama dalam konteks psikologis yang dikenal dengan istilah people pleaser.
Fenomena people pleaser menggambarkan seseorang yang merasa perlu untuk selalu menyenangkan orang lain, meskipun harus mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan diri sendiri. Sekilas, perilaku ini mungkin tampak seperti wujud nyata dari hadis tentang berbuat kebaikan. Akan tetapi, jika ditelaah lebih dalam, ada perbedaan mendasar antara kebaikan yang tulus dengan ketundukan yang lahir dari rasa takut ditolak atau tidak disukai.
Hadis Nabi dan Perilaku Kebaikan
Dalam hadis-hadis Nabi, kebaikan digambarkan sebagai tindakan yang penuh ketulusan, dilakukan tanpa pamrih dan tanpa tekanan eksternal. Nabi tidak pernah mengajarkan kita untuk menyenangkan orang lain demi mendapatkan validasi atau penerimaan sosial. Justru, Nabi menganjurkan keseimbangan, dimana niat utama harus tetap pada niat lillahi ta'ala, untuk meraih ridha Allah.
Fenomena people pleaser justru menjerumuskan seseorang ke dalam pusaran ketergantungan terhadap opini orang lain. Alih-alih melakukan kebaikan dengan niat yang murni, people pleaser seringkali melakukan hal-hal hanya karena takut tidak disukai atau dihakimi. Mereka rela menempatkan kebahagiaan orang lain di atas kepentingan diri sendiri, bahkan jika itu merugikan mereka secara psikologis. Hal ini jelas bukanlah cerminan dari kebaikan yang sejati menurut ajaran Islam.
Refleksi dalam Kehidupan Modern
Di era digital saat ini, budaya people pleasing kian menguat seiring dengan eksistensi media sosial. Kita sering melihat bagaimana banyak orang berusaha keras untuk mendapatkan like, comment, atau pengakuan dari orang-orang di sekitar mereka, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Perilaku ini tidak jarang menimbulkan kebingungan, di mana individu sulit membedakan antara tindakan baik yang tulus dengan tindakan yang sekadar untuk menyenangkan orang lain.
Contoh nyata bisa kita lihat dalam hubungan kerja, pertemanan, bahkan keluarga. Seorang pegawai yang selalu menerima tambahan pekerjaan meskipun itu sudah melebihi kapasitasnya, seorang teman yang selalu menyetujui pendapat orang lain meskipun ia sebenarnya tidak setuju, atau anggota keluarga yang selalu mengorbankan kepentingannya demi menjaga harmoni---semua ini adalah bentuk-bentuk nyata dari perilaku people pleasing yang menyamarkan diri sebagai "kebaikan". Padahal, di balik itu semua, ada rasa takut akan ditolak, ditinggalkan, atau tidak dihargai.
Pembeda: Kebaikan yang Sejati vs Ketundukan yang Salah
Islam mengajarkan kita untuk memiliki martabat dan harga diri. Kebaikan yang sejati tidak pernah menuntut seseorang untuk merendahkan dirinya demi menyenangkan orang lain. Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan tentang pentingnya qaulan sadidan (perkataan yang benar) dan i'tidal (keseimbangan). Kita harus dapat berdiri di atas kebenaran, menjaga diri dari ketergantungan pada pengakuan sosial.
People pleasing bisa menjadi jebakan yang merugikan, baik secara mental maupun spiritual. Di satu sisi, mereka yang terus-menerus menyenangkan orang lain akan merasa terperangkap dalam siklus yang tidak sehat. Di sisi lain, kebaikan yang tulus---sebagaimana diajarkan oleh Nabi---memberikan keseimbangan antara kebaikan kepada sesama dan menjaga kesejahteraan diri sendiri.
Menyikapi Hadis dengan Bijak
Dalam konteks psikologi modern, kita perlu kembali menafsirkan ajaran Nabi Muhammad SAW dengan bijak. Kebaikan adalah nilai yang fundamental, namun kita juga harus pandai membedakan antara kebaikan yang tulus dengan ketundukan yang tidak sehat. Melakukan kebaikan tidak berarti kita harus mengorbankan diri tanpa batas, apalagi sampai kehilangan jati diri hanya demi menyenangkan orang lain.
Kesadaran akan hal ini penting, terutama dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks dan menuntut. Kebaikan, sebagaimana diajarkan Nabi, adalah jalan menuju kebaikan bersama---bukan sekadar untuk mendapatkan penerimaan dari orang lain, melainkan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Sebaliknya, ketundukan yang lahir dari rasa takut atau cemas akan pandangan orang lain hanya akan membawa pada kehampaan dan penderitaan batin.
Pada akhirnya, menafsirkan hadis Nabi tentang kebaikan dalam konteks people pleaser mengajarkan kita bahwa kebaikan sejati adalah tindakan yang didasari oleh ketulusan dan keseimbangan. Bukan ketundukan tanpa henti, melainkan keharmonisan antara kebaikan kepada sesama dan menjaga kesejahteraan diri sendiri. Di era modern ini, di mana tekanan sosial kian kuat, penting bagi kita untuk mengingat bahwa kebaikan sejati tidak menuntut kita untuk selalu menyenangkan orang lain, tetapi untuk selalu berbuat baik dengan niat yang benar dan tujuan yang mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H