Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - ASN Guru MAN 1 Kota Parepare

S1 Universitas Al-Azhar Mesir. S2 SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) LPDP Kemenag RI. (Dalam Negeri) Anggota MUI Kec. Biringkanaya. Sulawesi Selatan. Penulis buku "Perjalanan Spiritual Menuju Kesempurnaan Melalui Cahaya Shalat" dan "Warisan Kasih: Kisah, Kenangan, dan Hikmah Hadis". Prosiding : the 1st International Conference on Religion, Scripture & Scholars Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal Jakarta, berjudul "The Spirit of Ecology in the Hadith: Protecting Nature in Love of Religion" yang terbit pada Orbit Publishing Jakarta. Hal. 237-249. Tahun 2024. Peneliti Jurnal Ilmiah sinta 6 berjudul "Zindiq Al-Walīd bin Yazīd An Analysis of Orthodoxy and Heterodoxy in the perspective of Civil Society in the Umayyad Dynasty" yang terbit pada Journal Analytica Islamica Program Pscasarjana UIN Sumatera Utara Medan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pendidikan Bukan Hanya untuk Menjadi Pintar, Tetapi Juga untuk Menjadi Bijaksana

29 September 2024   03:15 Diperbarui: 29 September 2024   06:19 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/21/antitesa-pendidikan

Dalam hidup, kita sering mendengar ungkapan bahwa pendidikan adalah kunci kesuksesan. Namun, apa jadinya jika pendidikan justru menjadi alat yang membuat kita "bodoh"? Bertrand Russell, seorang filsuf besar abad ke-20, menyodorkan gagasan yang cukup menggugah: "Manusia lahir dalam keadaan bodoh (ignorant), bukan bodoh (stupid); mereka dibuat bodoh oleh pendidikan."

Apa sebenarnya yang dimaksud oleh Russell? Mari kita bahas. Saat lahir, manusia memang tidak tahu apa-apa, tetapi ini adalah kondisi alamiah. Ketidaktahuan (ignorance) adalah hal yang wajar dan bisa diperbaiki dengan pembelajaran. Namun, menurut Russell, sistem pendidikan yang buruk bisa merusak potensi alami ini, membuat kita tidak sekadar bodoh dalam ketidaktahuan, tetapi juga bodoh dalam cara berpikir.

Bayangkan anak-anak yang penuh rasa ingin tahu, tetapi dalam banyak kasus, sekolah tidak membiarkan rasa ingin tahu itu berkembang. Mereka diajarkan untuk menghafal, mengikuti perintah, tanpa diajak untuk memahami mengapa sesuatu itu benar atau salah. Alih-alih membangun kemampuan berpikir kritis, banyak dari kita malah menjadi mesin penghafal fakta yang sering kali tidak dimengerti sepenuhnya.

Melalui kritiknya, Russell ingin mengingatkan kita bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan membelenggu. Pendidikan yang baik bukan hanya memberi jawaban, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara bertanya. Ketika sistem pendidikan hanya berfokus pada penyeragaman tanpa memberi ruang untuk pemikiran mandiri, di situlah pendidikan membuat manusia menjadi "bodoh."

Sebagai pembaca, apa yang kita petik dari pemikiran ini? Adakah bagian dari sistem pendidikan kita yang membuat kita merasa terjebak? Atau mungkin, kita justru merasa bahwa pendidikan yang kita terima memberi sayap untuk berpikir lebih jauh? Di sinilah, Russell mengajak kita untuk lebih kritis, tidak hanya menerima apa adanya, tetapi juga mempertanyakan apakah pendidikan kita sudah benar-benar mencerdaskan atau justru membuat kita kehilangan kemampuan berpikir mandiri.

Jika kita melihat pemikiran Bertrand Russell dari sudut pandang Islam, ada hal menarik untuk digali lebih dalam. Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan dan menjadikan pencarian ilmu sebagai kewajiban bagi setiap Muslim. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim." Dalam hal ini, jelas bahwa Islam sejalan dengan pandangan Russell bahwa manusia lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa (ignorant) dan perlu belajar untuk mengatasi ketidaktahuannya.

Namun, ada satu perbedaan penting. Russell mengkritik pendidikan yang dianggapnya membelenggu kebebasan berpikir, sedangkan Islam, meskipun sangat menekankan pentingnya ilmu, juga mengajarkan bahwa ada batas-batas moral dan etika yang harus dijaga dalam pencarian ilmu. Dalam Islam, ilmu tidak hanya sekadar alat untuk berpikir kritis atau menciptakan kebebasan intelektual, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami dunia ini dalam kerangka yang lebih besar.

Di satu sisi, Islam mendukung gagasan bahwa pendidikan harus mengembangkan potensi manusia untuk berpikir kritis dan memahami kebenaran. Kita lihat, misalnya, dalam Al-Qur'an, Allah seringkali memerintahkan manusia untuk berpikir dan merenung---dari fenomena alam hingga ayat-ayat Tuhan. Di sinilah titik pertemuan antara Islam dan Russell: pendidikan harus mendorong manusia untuk bertanya, mencari, dan menggali kebenaran.

Namun, di sisi lain, Islam menolak relativisme mutlak yang mungkin muncul dari kebebasan berpikir yang tidak terarah. Russell menekankan kebebasan intelektual tanpa batas, sementara Islam menekankan bahwa ilmu dan kebijaksanaan harus berlandaskan pada kebenaran ilahi. Dalam perspektif Islam, pengetahuan yang sejati tidak hanya diukur dari kemampuan untuk mempertanyakan segala sesuatu, tetapi juga dari pemahaman tentang batas-batas akhlak dan tujuan hidup yang mulia.

Lantas, bagaimana kita, sebagai pembaca, bisa memadukan dua pandangan ini? Islam mengajak kita untuk berpikir kritis, tetapi dengan tetap terikat pada nilai-nilai yang lebih tinggi, yakni kebenaran yang diilhami oleh wahyu. Sementara itu, Russell mengingatkan kita agar tidak menjadi "stupid"---yakni kehilangan kemampuan berpikir kritis---dalam proses pendidikan. Mungkin, di sinilah titik keseimbangannya: kebebasan intelektual yang dilandasi oleh tanggung jawab moral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun