Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - ASN Guru MAN 1 Kota Parepare

S1 Universitas Al-Azhar Mesir. S2 SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) LPDP Kemenag RI. (Dalam Negeri) Anggota MUI Kec. Biringkanaya. Sulawesi Selatan. Penulis buku "Perjalanan Spiritual Menuju Kesempurnaan Melalui Cahaya Shalat" dan "Warisan Kasih: Kisah, Kenangan, dan Hikmah Hadis". Prosiding : the 1st International Conference on Religion, Scripture & Scholars Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal Jakarta, berjudul "The Spirit of Ecology in the Hadith: Protecting Nature in Love of Religion" yang terbit pada Orbit Publishing Jakarta. Hal. 237-249. Tahun 2024. Peneliti Jurnal Ilmiah sinta 6 berjudul "Zindiq Al-Walīd bin Yazīd An Analysis of Orthodoxy and Heterodoxy in the perspective of Civil Society in the Umayyad Dynasty" yang terbit pada Journal Analytica Islamica Program Pscasarjana UIN Sumatera Utara Medan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Mendidik Anak: antara Malas dan Tanggung Jawab

15 September 2024   13:30 Diperbarui: 15 September 2024   13:35 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bimba-aiueo.com/ini-dampak-jika-orang-tua-sibuk-main-hp/

Di tengah arus modernisasi dan kemajuan teknologi, banyak orang tua yang berjuang untuk mendidik anak-anak mereka dengan baik. Seringkali, perhatian mereka teralihkan kepada faktor eksternal yang dianggap sebagai penghambat, seperti handphone, permainan digital, dan lingkungan pergaulan anak. Namun, apakah kita pernah menyadari bahwa musuh terbesar dalam pendidikan anak sebenarnya terletak di dalam diri kita sendiri? Sifat "malas" sering kali menjadi penghalang utama yang menghalangi orang tua untuk terlibat secara aktif dalam proses pendidikan. Ketidakmampuan untuk memberikan perhatian, mendengarkan, dan menjadi teladan yang baik justru memperlemah hubungan antara orang tua dan anak. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana "malas" dapat mempengaruhi pola asuh dan pendidikan anak, serta pentingnya peran aktif orang tua dalam membentuk karakter dan akhlak anak.
Banyak orang tua menyalahkan bahwa handphone, game, dan lingkungan pergaulan anak adalah musuh terbesar dalam mendidik anak. Namun, pada kenyataannya, musuh terbesar justru terletak pada diri orang tua sendiri, yaitu sebuah sifat yang disebut "malas." Malas untuk menyisihkan waktu, malas untuk mendengarkan, dan malas untuk terlibat dalam kehidupan sehari-hari anak. Ketika orang tua lebih memilih menghabiskan waktu dengan perangkat digital (Hp, Laptop dan TV) mereka daripada berinteraksi dengan anak, mereka secara tidak sadar membiarkan anak terjerumus dalam dunia yang penuh dengan pengaruh negatif.

Sifat malas ini tampak dalam berbagai aspek. Misalnya, ketika orang tua merasa enggan untuk menyingkirkan handphone saat bermain bersama anak, mereka berharap anak lebih dekat dengan mereka dibandingkan teman-temannya. Di sisi lain, mereka juga menuntut agar anak patuh dan percaya pada nasihat orang tua, sementara mereka sendiri tidak mau meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan atau kebutuhan emosional anak.


"Malas" menyingkirkan handphone saat bermain bersama anak tetapi berharap anak lebih dekat dengan orang tua daripada teman-temannya. Dampak dari sikap ini cukup signifikan dan sering kali terabaikan. Ketika orang tua lebih memilih untuk terhubung dengan dunia maya daripada berinteraksi secara langsung dengan anak, mereka tidak hanya kehilangan momen berharga untuk membangun ikatan emosional, tetapi juga merugikan perkembangan sosial dan emosional anak.

Anak-anak, terutama pada usia dini, sangat membutuhkan kehadiran fisik dan emosional orang tua. Mereka belajar dari observasi dan interaksi, dan ketika orang tua tidak hadir secara aktif, anak cenderung mencari perhatian dan validasi dari sumber lain, termasuk teman sebaya atau bahkan media sosial. Hal ini bisa berujung pada meningkatnya rasa ketidakpuasan dan kekosongan emosional, yang dapat mengakibatkan perilaku menjauh dari orang tua. Ketika orang tua berharap anak-anaknya lebih dekat kepada mereka, ironisnya, sikap "malas" justru menciptakan jarak yang semakin lebar.

Lebih jauh, tanpa keterlibatan orang tua dalam aktivitas bersama, anak mungkin merasa tidak diperhatikan dan kurang dihargai. Mereka bisa menganggap bahwa perhatian orang tua lebih tertuju pada gadget daripada diri mereka. Rasa tidak berharga ini dapat berpengaruh negatif pada kepercayaan diri anak, yang pada gilirannya dapat memengaruhi hubungan mereka dengan teman-teman sebaya. Anak-anak yang merasa diabaikan lebih rentan untuk terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat, mencari penghiburan dan penerimaan dari orang-orang di luar keluarga.

Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk menyadari bahwa setiap detik yang dihabiskan bersama anak adalah investasi berharga dalam perkembangan mereka. Dengan menyingkirkan handphone dan sepenuhnya hadir dalam setiap momen, orang tua tidak hanya membangun hubungan yang lebih dekat, tetapi juga memberikan teladan yang baik bagi anak. Keberadaan fisik dan emosional orang tua dalam kehidupan anak sangatlah krusial, dan hanya dengan mengesampingkan sifat "malas," mereka dapat membuka jalan bagi hubungan yang lebih erat dan saling mendukung dalam perjalanan pendidikan dan perkembangan karakter anak.

"Malas" mendengar tangisan saat melarang anak tetapi menuntut anak patuh dan mempercayai orang tuanya. Sikap ini memiliki dampak yang mendalam dan sering kali menciptakan kesenjangan dalam hubungan orang tua dan anak. Ketika orang tua tidak mau meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan dan tangisan anak, mereka tanpa sadar mengabaikan perasaan dan kebutuhan emosional si kecil. Anak yang merasa diabaikan dalam saat-saat sulitnya akan cenderung mengembangkan rasa frustrasi dan ketidakpuasan yang mendalam, yang bisa mengarah pada perilaku pemberontakan atau penarikan diri.

Keterpurukan emosional ini dapat menyebabkan anak merasa tidak dipercaya dan tidak dihargai. Ketika orang tua menuntut kepatuhan tanpa memahami alasan di balik emosi anak, mereka menciptakan kesan bahwa perasaan anak tidak penting. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis rasa percaya diri anak dan menghambat kemampuan mereka untuk berkomunikasi dengan terbuka. Anak mungkin mulai merasa bahwa ekspresi emosi mereka tidak diperbolehkan, sehingga mereka cenderung menyimpan perasaan tersebut, yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan mental di kemudian hari.

Lebih parahnya lagi, ketidakmampuan orang tua untuk mendengarkan dapat menciptakan citra bahwa orang tua tidak memahami kebutuhan dan keinginan anak. Ini bisa memicu anak untuk mencari dukungan dan pengertian dari luar, yang sering kali berasal dari teman sebaya atau pengaruh negatif lainnya. Ketika hubungan orang tua dan anak menjadi tegang, anak bisa merasa lebih nyaman untuk berbagi perasaannya dengan orang lain, yang dapat mengarah pada keputusan yang kurang bijak dan perilaku yang merugikan.

Dengan demikian, penting bagi orang tua untuk menyadari bahwa mendengarkan tangisan dan keluhan anak bukanlah sebuah beban, tetapi merupakan sebuah kesempatan untuk menjalin kedekatan dan membangun kepercayaan. Dengan memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri dan mendengarkan dengan empati, orang tua tidak hanya membantu anak mengatasi emosi mereka, tetapi juga memperkuat ikatan yang tak ternilai antara mereka. Dalam proses ini, anak belajar bahwa mereka memiliki tempat yang aman untuk berbicara dan merasa dihargai, sehingga mengarah pada hubungan yang lebih sehat dan saling mendukung di masa depan.

"Malas" mendengarkan isi hati anak namun selalu ingin menceramahi anak. Sikap ini tidak hanya menciptakan jarak emosional antara orang tua dan anak, tetapi juga dapat menghambat perkembangan komunikasi yang sehat dalam keluarga. Ketika orang tua lebih memilih untuk menyampaikan nasihat dan ceramah daripada mendengarkan apa yang ingin disampaikan anak, anak akan merasa diabaikan dan tidak dihargai. Rasa frustrasi ini dapat menyebabkan anak merasa bahwa perasaan dan pandangannya tidak penting, sehingga mereka enggan untuk berbagi lebih lanjut.

Dampak jangka panjang dari sikap ini bisa sangat merugikan. Anak yang tidak merasa didengar cenderung menutup diri dan menjadi kurang terbuka dalam berbagi pikiran dan perasaan. Ketika anak tidak memiliki tempat untuk mengekspresikan diri, mereka berisiko mengalami kesepian dan tekanan emosional yang lebih besar. Ini bisa mengarah pada masalah kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi, yang sering kali muncul dari ketidakmampuan untuk berbagi beban emosional dengan orang tua.

Lebih jauh, ketidakmampuan orang tua untuk mendengarkan dengan empati dapat merusak kepercayaan diri anak. Ketika anak merasa tidak didengar, mereka mungkin mulai meragukan kemampuan dan nilai diri mereka. Hal ini dapat mengakibatkan mereka mencari validasi dari sumber lain, termasuk teman sebaya, yang mungkin tidak selalu memberikan pengaruh positif. Ketika hubungan dengan teman-teman menjadi lebih penting daripada hubungan dengan orang tua, anak dapat terjerumus ke dalam pengaruh negatif dan perilaku yang merugikan.

Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk memahami bahwa mendengarkan anak adalah bagian integral dari pendidikan dan pengasuhan. Dengan memberi mereka kesempatan untuk berbicara dan mengekspresikan perasaan, orang tua tidak hanya memperkuat ikatan emosional tetapi juga membantu anak belajar bagaimana mengelola emosi dan berkomunikasi dengan efektif. Menjadi pendengar yang baik memungkinkan orang tua untuk membimbing anak dengan lebih bijak, menciptakan ruang yang aman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang, serta membangun hubungan yang saling menghormati dan mendukung dalam jangka panjang.

"Malas" memberi pengaruh pada anak dengan mengobrol setiap hari tapi berharap anak tidak terpengaruh buruknya lingkungan pergaulan. Sifat ini berpotensi mengurangi efektivitas komunikasi yang seharusnya menjadi jembatan untuk membangun pemahaman dan kepercayaan antara orang tua dan anak. Ketika orang tua hanya sekadar berbincang tanpa benar-benar melibatkan diri dalam percakapan yang mendalam, anak mungkin merasa tidak ada perhatian yang cukup terhadap masalah dan tantangan yang mereka hadapi. Dalam suasana seperti ini, anak dapat merasa terasing dan lebih memilih untuk mencari dukungan dari teman-teman yang mungkin tidak selalu memberikan pengaruh positif.

Dampak jangka panjang dari situasi ini dapat sangat signifikan. Anak-anak yang tidak merasa cukup terhubung dengan orang tua mereka akan lebih rentan terhadap pengaruh negatif dari lingkungan pergaulan. Tanpa bimbingan yang konsisten dan perhatian yang tulus, mereka cenderung mencari identitas dan pengakuan di luar rumah, yang sering kali berisiko membawa mereka ke dalam situasi berbahaya. Teman sebaya yang memberikan pengaruh buruk bisa dengan mudah menarik perhatian anak yang merasa kesepian atau kurang dukungan di rumah.

Lebih jauh lagi, pengaruh buruk ini tidak hanya mengancam kesehatan mental dan emosional anak, tetapi juga bisa berdampak pada prestasi akademis dan perkembangan sosial mereka. Anak yang lebih terpapar pada lingkungan yang negatif mungkin akan mengalami penurunan motivasi belajar dan bahkan mengabaikan nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tua. Keterikatan dengan teman yang salah dapat mengarah pada perilaku menyimpang yang berujung pada konflik dengan hukum atau masalah kesehatan lainnya.

Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk tidak hanya mengobrol dengan anak, tetapi juga menciptakan lingkungan komunikasi yang penuh dengan empati dan dukungan. Dengan mendengarkan dengan seksama dan terlibat dalam diskusi yang bermakna, orang tua dapat membantu anak memahami nilai-nilai yang penting dan memberikan perspektif yang bisa melindungi mereka dari pengaruh buruk. Ketika orang tua secara aktif berpartisipasi dalam kehidupan anak, mereka tidak hanya membangun ikatan yang kuat, tetapi juga mempersiapkan anak untuk menghadapi tantangan di luar rumah dengan lebih percaya diri dan bijaksana.

"Malas" memberikan teladan ketaatan kepada Allah dan Rasul tetapi berharap anak menjadi shaleh/shalehah. Sikap ini tidak hanya menciptakan paradoks yang menggelikan, tetapi juga memiliki dampak yang mendalam dan berjangka panjang pada perkembangan spiritual anak. Ketika orang tua tidak mencontohkan nilai-nilai ketaatan dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak akan kesulitan memahami makna sejati dari ajaran agama. Mereka mungkin tumbuh dengan keyakinan bahwa ketaatan hanyalah sekadar ritual yang harus diikuti, tanpa memahami pentingnya integritas dan kesungguhan dalam menjalani ajaran tersebut.

Dampak jangka panjang dari kurangnya teladan ini bisa mengakibatkan anak kehilangan motivasi untuk mengejar kebaikan. Anak-anak yang tidak melihat orang tua mereka menjalani prinsip-prinsip Islam dengan konsisten dapat menganggap bahwa nilai-nilai tersebut tidak penting. Akibatnya, mereka mungkin akan lebih mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar yang tidak sejalan dengan ajaran agama, yang berpotensi membuat mereka menjauh dari praktik keagamaan dan norma-norma moral yang diharapkan.

Lebih jauh lagi, ketika anak tidak melihat contoh konkret dari orang tua, mereka dapat mengembangkan rasa skeptisisme terhadap ajaran agama. Pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya bisa diatasi melalui dialog dan penjelasan justru akan terpendam, dan anak mungkin merasa bahwa agama tidak memiliki relevansi dalam kehidupan mereka. Hal ini dapat menyebabkan krisis identitas di mana anak merasa terasing dari nilai-nilai keluarga dan masyarakat.

Dengan demikian, sangat penting bagi orang tua untuk menyadari bahwa mereka adalah teladan utama bagi anak-anaknya. Dengan menjalani hidup yang sesuai dengan prinsip-prinsip ketaatan kepada Allah dan Rasul, orang tua tidak hanya mengajarkan nilai-nilai spiritual, tetapi juga membentuk karakter anak secara holistik. Keteladanan yang kuat akan menumbuhkan rasa percaya diri dan keyakinan anak untuk menjalani hidup yang shaleh/shalehah, menjadikan mereka pribadi yang berintegritas dan bertanggung jawab, serta mampu memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar.

"Malas" mendampingi anak memperkenalkan pendidikan Islam dan mengajari al-Qur'an tetapi berharap anak akan mencintai agamanya. Sikap ini menciptakan celah yang signifikan dalam pembentukan identitas spiritual anak. Tanpa pendampingan yang konsisten dan penuh perhatian, anak-anak akan merasa kesulitan untuk memahami nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi panduan hidup mereka. Ketika orang tua tidak memberikan waktu dan usaha untuk membimbing anak dalam mempelajari al-Qur'an dan ajaran Islam, anak dapat menganggap agama sebagai sesuatu yang asing atau bahkan membosankan.

Dampak dari kurangnya pendidikan dan perhatian ini bisa berujung pada ketidakminatan anak terhadap agama. Anak-anak yang tidak mendapatkan pengajaran yang baik tentang ajaran Islam cenderung tidak memiliki fondasi yang kuat dalam beribadah dan memahami makna dari setiap ritual. Hal ini dapat menyebabkan mereka menjauh dari praktik keagamaan dan kehilangan rasa cinta terhadap agama yang seharusnya terpatri dalam hati mereka.

Lebih jauh lagi, tanpa pemahaman yang mendalam tentang agama, anak mungkin akan mudah terpengaruh oleh ide-ide atau nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ketika mereka tidak dilengkapi dengan pengetahuan yang tepat, anak bisa mencari identitas dan makna dari sumber-sumber yang tidak sesuai, yang dapat mengarah pada perilaku yang jauh dari norma-norma yang diharapkan. Keterasingan dari ajaran agama juga bisa menimbulkan kebingungan tentang tujuan hidup, menjadikan mereka lebih rentan terhadap tekanan dari lingkungan yang negatif.

Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk menyadari bahwa mendampingi anak dalam belajar tentang Islam adalah tanggung jawab yang tidak bisa dianggap sepele. Dengan memberikan perhatian dan waktu untuk mengajarkan al-Qur'an serta nilai-nilai agama, orang tua bukan hanya membentuk kepribadian anak, tetapi juga menyiapkan mereka untuk menghadapi tantangan hidup dengan landasan spiritual yang kuat. Dalam proses ini, anak akan belajar untuk mencintai agamanya dengan tulus, menginternalisasi nilai-nilai positif, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadikan mereka pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun