Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - ASN Guru MAN 1 Kota Parepare

S1 Universitas Al-Azhar Mesir. S2 SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) LPDP Kemenag RI. (Dalam Negeri) Anggota MUI Kec. Biringkanaya. Sulawesi Selatan. Penulis buku "Perjalanan Spiritual Menuju Kesempurnaan Melalui Cahaya Shalat" dan "Warisan Kasih: Kisah, Kenangan, dan Hikmah Hadis". Prosiding : the 1st International Conference on Religion, Scripture & Scholars Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal Jakarta, berjudul "The Spirit of Ecology in the Hadith: Protecting Nature in Love of Religion" yang terbit pada Orbit Publishing Jakarta. Hal. 237-249. Tahun 2024. Peneliti Jurnal Ilmiah sinta 6 berjudul "Zindiq Al-Walīd bin Yazīd An Analysis of Orthodoxy and Heterodoxy in the perspective of Civil Society in the Umayyad Dynasty" yang terbit pada Journal Analytica Islamica Program Pscasarjana UIN Sumatera Utara Medan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sabab Wurud Hadis Pertama tentang Niat Arba'in Nawawi

12 September 2024   14:35 Diperbarui: 12 September 2024   14:35 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://amaljariah.org/hadits-niat/

Dalam khazanah keilmuan hadis, khususnya ketika kita menelaah karya monumental Imam Nawawi, Arbain Nawawiyah, kita menemukan permata yang tak ternilai pada hadis pertama yang membahas tentang niat. Hadis ini, yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, memiliki kedalaman makna dan relevansi universal. Namun, agar pemahaman kita menjadi lebih utuh, perlu kiranya kita menyingkap aspek sababul wurud atau konteks historis di balik penyampaian hadis ini. Apa yang mendorong Rasulullah SAW mengucapkan sabdanya? Bagaimana kondisi sosial dan keagamaan saat itu? Artikel ini akan mengurai alasan kemunculan hadis ini dengan pendekatan yang mendalam, namun tetap mudah dipahami, sehingga pembaca dapat menggali esensi sejati dari pesan Rasulullah SAW.

Dalam perjalanan sejarah hijrah, terdapat sebuah kisah menarik yang diriwayatkan oleh Ibn Mas'ud radhiyallahu 'anhu, mengenai seorang pria yang berhijrah bukan karena motivasi keimanan, melainkan untuk mendapatkan seorang wanita. Pria tersebut diketahui berhijrah dengan niat untuk menikahi seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Qais. Karena niatnya yang khusus tersebut, masyarakat saat itu pun menjulukinya sebagai "Muhajir Ummu Qais" --- yaitu, seseorang yang berhijrah demi Ummu Qais, bukan karena panggilan agama.

Kisah ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana niat dapat mempengaruhi nilai sebuah tindakan. Rasulullah SAW melalui hadis pertama Arba'in, "Sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niatnya," menekankan bahwa niat merupakan faktor esensial dalam menentukan keabsahan dan nilai suatu perbuatan. Hijrah yang merupakan kewajiban mulia, kehilangan nilai spiritualnya jika tujuan utamanya semata-mata karena urusan duniawi, seperti keinginan untuk menikahi seorang wanita.

Ath-Thabarani meriwayatkan dari Al-A'masy sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana niat mempengaruhi tindakan seseorang. Dikisahkan bahwa seorang pria melamar seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Qais. Namun, wanita tersebut menolak lamarannya dan menetapkan syarat bahwa pria itu harus berhijrah terlebih dahulu jika ingin menikah dengannya. Demi memenuhi syarat tersebut, pria itu pun berhijrah dan kemudian berhasil menikahi Ummu Qais. Akibat dari tindakannya ini, pria tersebut pun dikenal dengan julukan "Muhajir Ummu Qais" --- seseorang yang berhijrah bukan karena panggilan agama, tetapi demi seorang wanita.

Kisah ini semakin menegaskan makna mendalam dari hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW, bahwa segala amal tergantung pada niatnya. Hijrah yang sejatinya merupakan perbuatan yang memiliki nilai spiritual tinggi, dalam konteks ini, berubah maknanya karena niatnya berpusat pada tujuan duniawi, yakni menikahi seorang wanita. Ini menjadi pelajaran penting tentang betapa besar pengaruh niat terhadap nilai sebuah tindakan dalam pandangan agama.

Pada masa itu, hijrah bukanlah sekadar perjalanan fisik dari satu tempat ke tempat lain, melainkan sebuah ujian yang sangat berat bagi komunitas Muslim pertama. Hijrah melibatkan pengorbanan yang luar biasa---mulai dari meninggalkan harta benda, rumah, hingga keluarga tercinta. Para sahabat harus melintasi padang pasir yang panas dan tandus, antara Mekah dan Yatsrib (Madinah), menghadapi berbagai ancaman dan bahaya di sepanjang perjalanan. Semua itu mereka lakukan semata-mata untuk menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.

Namun, bayangkan jika seseorang memilih menghadapi ujian berat ini bukan karena dorongan iman atau kecintaan kepada Allah, melainkan semata-mata untuk menikahi seorang wanita. Betapa jauh niatnya dari tujuan hijrah yang hakiki! Dalam kasus seperti ini, perbuatan hijrah yang sebenarnya bernilai tinggi berubah menjadi sekadar upaya memenuhi hasrat pribadi, dan tentu hal ini merupakan suatu musibah. Orang tersebut seolah layak menerima belasungkawa, karena telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan pahala besar dengan niat yang lebih luhur dan mulia.

Realitas kehidupan kita saat ini penuh dengan contoh-contoh "Muhajir Ummu Qais" modern---yaitu orang-orang yang bersusah payah, berjuang mati-matian, bahkan ada yang rela mengorbankan nyawa, namun semua itu demi tujuan-tujuan yang tidak berharga. Mereka melakukan upaya luar biasa demi hal-hal yang tidak memiliki nilai sejati atau manfaat besar, atau terkadang untuk perkara yang tidak sebanding dengan pengorbanan yang diberikan. Fenomena ini menggambarkan betapa sering niat manusia terperosok dalam tujuan duniawi yang dangkal.

Di sinilah pentingnya pemahaman mendalam tentang hadis yang menekankan niat. Hadis ini tidak hanya mengarahkan kita untuk menilai setiap tindakan dengan lebih bijak, tetapi juga untuk meninggikan standar kita dalam beramal. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa setiap usaha manusia hendaknya dihubungkan dengan sistem pahala ilahi, yang nilainya jauh lebih tinggi dari sekadar pencapaian duniawi. Dalam sabda beliau yang lain, Rasulullah SAW mengingatkan: "Ketahuilah, barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, barang dagangan Allah itu adalah surga." Hadis ini mengajarkan bahwa pengorbanan dan usaha sejati harus diarahkan pada tujuan akhir yang mulia, yaitu meraih ridha Allah dan surga-Nya yang agung.

Seseorang tidak perlu mencari bukti atau saksi bahwa mengerahkan usaha dan menghadapi tantangan selalu berkaitan dengan tujuan yang tinggi atau ambisi yang besar. Orang yang bijaksana adalah mereka yang mampu menentukan tujuan yang layak untuk diupayakan, dengan mengandalkan pertimbangan akal dan bukti dari teks-teks agama. Dalam konteks ini, beberapa ulama mengangkat pemikiran tentang "mengorbankan yang rendah demi yang berharga."

Sebagai contoh, dalam karya Al-Ifadat wal-Insyadat yang ditulis oleh Abu Ishaq Al-Syatibi, terdapat sebuah dialog menarik antara Al-Fakhr bin Al-Khatib dan Saifuddin Al-Amidi. Al-Fakhr bertanya kepada Saifuddin, "Mengapa syariat memperbolehkan penyembelihan hewan untuk kepentingan manusia, padahal hal itu menyiksa hewan dan menyakiti akal?" Saifuddin menjawab dengan bijaksana, "Menghilangkan sesuatu yang rendah demi sesuatu yang berharga adalah salah satu prinsip akal yang diterima!"

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa dalam kehidupan, pengorbanan dan tantangan sering kali diperlukan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan bernilai. Dalam pandangan syariat, tindakan yang mungkin tampak berat atau menyakitkan pada pandangan pertama dapat memiliki makna dan tujuan yang jauh lebih mulia, sehingga memperkuat argumen bahwa kadang-kadang kita harus rela melepaskan hal-hal yang kurang berharga demi mencapai sesuatu yang lebih signifikan dan mulia.

Namun, di zaman kita sekarang, akal seolah telah menyimpang dari prinsip-prinsipnya yang seharusnya. Hal-hal yang berharga, yang seharusnya menjadi tujuan luhur, kini sering dijadikan sarana untuk mencapai hal-hal yang rendah, bahkan lebih rendah lagi. Banyak manusia yang mengabaikan harga diri dan kehormatan mereka, terjebak dalam perangkap hawa nafsu yang membelenggu. Dalam prosesnya, mereka membalikkan prinsip-prinsip yang seharusnya mengarahkan hidup.

Sarana yang semestinya digunakan untuk mendukung tujuan yang mulia kini justru menjadi tujuan itu sendiri. Ketidakpahaman ini menyebabkan banyak orang terjebak dalam siklus pencarian yang sia-sia, di mana mereka mengejar kepuasan instan tanpa menyadari bahwa mereka telah mengorbankan nilai-nilai fundamental yang seharusnya dijunjung tinggi. Akibatnya, mereka kehilangan arah, dan tujuan hidup yang seharusnya mengantarkan mereka menuju kebahagiaan sejati dan kemuliaan, tergerus oleh keinginan yang tidak bermakna.

Di antara hal yang akan ditanyakan kepada seorang Muslim pada hari kiamat adalah: "Di mana ia menghabiskan masa mudanya?" Masa muda adalah fase kehidupan yang kaya akan kekuatan dan energi, serta merupakan saat di mana ciri-ciri kedewasaan mulai terwujud. Oleh karena itu, seharusnya para pemuda memanfaatkan waktu berharga ini untuk beribadah dalam berbagai bentuk---baik yang bersifat spiritual, perilaku, maupun kebudayaan---serta dalam upaya memenuhi peran mereka sebagai khalifah dan pelaku pembangunan.

Namun, apa yang kita saksikan di masyarakat saat ini justru menampilkan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Terdapat ketergantungan yang menyakitkan terhadap pola-pola perilaku yang merusak, yang dipromosikan oleh media kepada generasi muda. Dorongan untuk bersenang-senang dan memuaskan naluri sering kali mengalihkan perhatian mereka, membuang waktu dan tenaga pada hal-hal yang tidak memberikan manfaat, baik secara umum maupun pribadi. Keyakinan yang tertanam dalam diri mereka adalah bahwa beragama hanyalah sekadar menjalankan ritual setelah memenuhi kebutuhan dan keinginan duniawi mereka.

Lebih tragis lagi, mereka menganggap bahwa rumah Allah hanyalah tempat berlindung bagi orang-orang yang telah lanjut usia, yang mencari naungan sementara menunggu datangnya hari kiamat. Pandangan semacam ini mencerminkan kurangnya pemahaman tentang hakikat kehidupan dan peran mereka di dunia. Masa muda seharusnya dimanfaatkan untuk membangun fondasi iman yang kuat, bukan sekadar menjadi penonton dalam pergelaran kehidupan yang superficial. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendorong generasi muda agar mereka tidak hanya mengejar kenikmatan sesaat, tetapi juga mengarahkan perhatian mereka kepada nilai-nilai yang lebih luhur, yang akan membentuk masa depan yang lebih bermakna.

Kisah cinta yang ditampilkan dalam drama televisi adalah contoh nyata dari terbaliknya nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi. Cinta, yang seharusnya menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang lebih luas---yaitu membangun rumah tangga Muslim yang harmonis dan memperkuat ikatan emosional dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan---kini sering kali dipandang berbeda. Dalam pandangan masyarakat modern, cinta telah berubah menjadi pertarungan yang sengit, di mana segala sesuatu dikorbankan demi kepuasan diri.

Ironisnya, cinta yang seharusnya menyatukan dan memperkuat moral justru menjadi arena di mana egoisme merajalela. Dalam konteks ini, belati egoisme terhunus dan siap melukai, mencabik-cabik norma-norma sosial yang selama ini menjadi landasan kehidupan bermasyarakat. Ketidakpedulian terhadap nilai-nilai luhur ini tidak hanya merusak hubungan antarindividu, tetapi juga mengancam integritas moral masyarakat secara keseluruhan.

Pemandangan ini menggugah kita untuk merenungkan kembali makna cinta yang sebenarnya---bukan sekadar kepuasan instan, tetapi sebuah komitmen untuk saling mendukung, memahami, dan tumbuh bersama dalam bingkai nilai-nilai Islam yang luhur. Sebuah panggilan untuk kembali kepada esensi cinta yang hakiki, yang menempatkan kebahagiaan bersama dan keberlangsungan generasi yang lebih baik sebagai tujuan utama.
Dalam upaya memberikan perempuan posisi yang setara dengan laki-laki, sebagian orang memilih untuk melepaskan diri dari tanggung jawab yang seharusnya mereka emban, seperti berbuat baik kepada orang tua, menjaga silaturahmi, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Mereka terjebak dalam situasi di mana mentaati istri yang mengancam dengan perceraian, tuntutan nafkah, dan proses hukum menjadi prioritas, hingga mengabaikan nilai-nilai luhur yang seharusnya mereka junjung tinggi.

Akibatnya, kita menyaksikan munculnya berbagai kisah tentang durhaka modern, yang tidak hanya terwujud dalam ungkapan "Uf"---yang menunjukkan ketidaksenangan dalam bahasa Arab---tetapi juga meluas kepada tindakan yang jauh lebih menyakitkan. Dalam beberapa kasus, tindakan ini bahkan meliputi pembuangan orang tua ke panti jompo, yang seharusnya menjadi tempat perawatan dan kasih sayang, atau lebih tragis lagi, tindakan kekerasan yang mengakibatkan kematian mereka dengan darah dingin.

Fenomena ini menggambarkan bagaimana dinamika hubungan dalam keluarga telah berubah, di mana rasa hormat dan kasih sayang terhadap orang tua sering kali terabaikan demi kepentingan pribadi. Ini adalah panggilan untuk kita semua agar kembali merenungkan nilai-nilai keluarga yang hakiki, dan memahami bahwa memberikan posisi setara kepada perempuan tidak berarti mengorbankan hubungan yang sudah seharusnya dipelihara dengan penuh kasih sayang dan penghormatan. Kita perlu mengupayakan keseimbangan yang bijaksana, yang menghargai setiap anggota keluarga tanpa mengorbankan ikatan yang telah ada.
Sebagian besar dari masalah dan kesulitan yang kita hadapi saat ini, yang hanya menemukan solusi dalam bentuk obat penenang, sebenarnya berakar dari pengorbanan hal-hal yang berharga demi hal-hal yang rendah. Kita sering kali membalikkan nilai-nilai yang seharusnya kita pegang, sehingga akhirat menjadi sarana untuk mencapai kesenangan duniawi semata.

Dulu, kita mendengar kisah tentang orang yang berhijrah hanya demi menikahi seorang wanita, sebuah tindakan yang menggambarkan pengorbanan yang tidak seimbang. Kini, fenomena ini berkembang menjadi lebih ekstrem; di antara kita ada yang meninggalkan agama sepenuhnya hanya karena cinta yang mendalam kepada wanita.

Perubahan ini menunjukkan betapa rentannya nilai-nilai kita dalam menghadapi godaan dunia. Cinta yang seharusnya menjadi sumber kekuatan dan inspirasi malah berpotensi menjadi penjara yang membelenggu jiwa. Kita perlu merenungkan kembali arah hidup kita, memahami bahwa mencintai bukan berarti mengorbankan keyakinan dan nilai-nilai yang telah diajarkan kepada kita. Dengan kembali kepada prinsip-prinsip yang benar, kita dapat menemukan keseimbangan yang akan membawa kita kepada kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam kisah "Muhajir Ummu Qais," kita menemukan seorang pria yang melakukan hijrah demi cinta kepada seorang wanita, yang menunjukkan betapa dalamnya ikatan emosional dapat mendorong seseorang untuk mengambil langkah besar. Namun, hijrah ini bukan sekadar pergeseran fisik; itu adalah tindakan pengorbanan yang mencerminkan komitmen yang mendalam terhadap nilai-nilai yang lebih tinggi. Sayangnya, seperti yang terungkap dalam narasi sebelumnya, fenomena cinta ini telah mengalami distorsi dalam masyarakat modern. Kini, kita menyaksikan orang-orang yang mengorbankan iman dan nilai-nilai luhur demi cinta yang tidak terarah, mengakibatkan hilangnya arah hidup dan tujuan yang lebih tinggi.

Kisah tersebut seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua. Dalam mengejar cinta, apakah kita benar-benar berpegang pada prinsip-prinsip yang mengedepankan kebaikan dan keadilan, ataukah kita terjebak dalam kesenangan sesaat yang mengarah kepada kebangkitan egoisme dan pengabaian nilai-nilai keluarga? Ini adalah pertanyaan penting yang perlu kita renungkan, terutama di kalangan generasi muda yang sering kali tersesat dalam pencarian cinta yang seharusnya membangun, tetapi malah menghancurkan.

Melalui pemahaman tentang sabab wurud hadis ini, kita diingatkan kembali akan pentingnya menjadikan cinta sebagai sarana untuk membangun hubungan yang tidak hanya mendatangkan kebahagiaan pribadi, tetapi juga memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat. Hijrah "Muhajir Ummu Qais" seharusnya bukan hanya menjadi simbol dari pengorbanan demi cinta, tetapi juga menginspirasi kita untuk berjuang demi hal-hal yang lebih berharga---seperti iman, keluarga, dan komunitas.

Dengan demikian, kita perlu mendorong diri kita dan generasi penerus untuk tidak hanya mengejar cinta dengan cara yang dangkal, tetapi untuk mengarahkan cinta itu menuju sesuatu yang lebih bermakna. Seharusnya, cinta tidak hanya menjadi alasan untuk berkorban, tetapi juga merupakan penggerak untuk menjadikan kehidupan kita lebih berarti dan berdaya guna, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun