Sebagai contoh, seorang profesional yang memulai pekerjaannya dengan niat untuk memberikan manfaat bagi orang lain, tidak hanya mencari materi semata, akan mendapati bahwa pekerjaannya bukan sekadar rutinitas, tetapi menjadi sarana ibadah yang bernilai. Demikian juga, seorang pelajar yang belajar dengan niat untuk mencari ilmu demi kemaslahatan umat, bukan hanya untuk meraih gelar, akan mendapatkan keberkahan dan kemudahan dalam ilmunya. Dengan demikian, hadis ini mengingatkan kita bahwa niat adalah kunci yang membuka pintu keberkahan dalam setiap aspek kehidupan kita.
Dalam bahasa Arab, kata "Innamā" memiliki makna khusus yang menunjukkan eksklusivitas atau pembatasan. Kata ini menegaskan sesuatu yang disebutkan dan menafikan selainnya. Namun, pemahaman tentang eksklusivitas ini tidak selalu bersifat mutlak; terkadang, kontekslah yang menentukan apakah pembatasan tersebut berlaku secara mutlak atau hanya dalam pengertian tertentu.
Sebagai contoh, kata "Innamā" dalam firman Allah: "Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan" (QS. Al-Ghashiyah: 21), secara lahiriah tampaknya Rasulullah hanya berperan sebagai pemberi peringatan. Namun, kita tahu bahwa Rasulullah memiliki banyak sifat mulia lainnya, seperti membawa kabar gembira, memimpin umat, dan masih banyak lagi. Penggunaan "Innamā" di sini tidak dimaksudkan untuk membatasi peran Rasulullah hanya pada peringatan semata, tetapi lebih kepada penekanan pada salah satu aspek tugasnya.
Demikian pula, dalam firman Allah: "Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan hiburan semata" (QS. Al-An'am: 32), tampak seolah-olah kehidupan dunia hanya terbatas pada kesenangan dan hiburan. Namun, konteks yang lebih luas menunjukkan bahwa dunia juga memiliki aspek-aspek lain yang lebih kompleks dan bermakna, seperti ujian, tanggung jawab, dan kesempatan untuk beribadah. Pembatasan yang diungkapkan oleh kata "Innamā" dalam ayat ini lebih kepada penekanan pada sifat dunia yang sering kali menipu dan sementara, bukan untuk menafikan seluruh aspek lainnya yang ada dalam kehidupan dunia.
Secara lahiriah, makna kata "Innamā" menunjukkan pembatasan, dan Allah lebih mengetahui, pembatasan ini berlaku bagi mereka yang lebih memilih dunia. Namun, jika dilihat dari sudut pandang hakikat yang sesungguhnya, dunia juga bisa menjadi sarana untuk kebaikan, dan ini termasuk dalam kategori umum yang bisa ditafsirkan secara luas. Jadi, jika kata ini muncul dalam suatu konteks, perhatikanlah. Jika konteks dan maksud dari perkataan tersebut menunjukkan pembatasan dalam hal tertentu, maka kita terima pembatasan itu. Jika tidak, maka pembatasan tersebut dapat diterapkan secara umum.
Contohnya adalah sabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya." Yang dimaksud dengan "amal" di sini adalah amal-amal yang bersifat syar'i atau berhubungan dengan ibadah. Artinya, amal-amal tersebut tidak akan dianggap sah tanpa adanya niat, seperti wudhu, mandi wajib, tayamum, shalat, zakat, puasa, haji, i'tikaf, dan semua ibadah lainnya. Namun, ada pengecualian untuk hal-hal yang bersifat menghilangkan sesuatu, seperti menghilangkan najis, yang tidak memerlukan niat karena itu termasuk dalam kategori meninggalkan sesuatu, dan meninggalkan sesuatu tidak membutuhkan niat. Meski begitu, ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa wudhu dan mandi tetap sah meskipun tanpa niat.
Dalam bab fikih, tindakan yang termasuk dalam kategori "menghilangkan sesuatu" biasanya merujuk pada perbuatan yang bersifat membersihkan atau menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkan, dan tindakan ini umumnya tidak membutuhkan niat untuk sah secara hukum. Salah satu contoh yang nyata adalah menghilangkan najis, seperti mencuci pakaian yang terkena kotoran atau membersihkan lantai dari kotoran. Menurut sebagian ulama, tindakan ini tidak memerlukan niat khusus untuk dianggap sah, karena esensinya adalah menghilangkan sesuatu yang tidak diinginkan, bukan melakukan suatu ibadah.
Misalnya, jika seseorang tanpa sengaja menumpahkan kopi di atas sajadah dan kemudian membersihkannya, tindakannya membersihkan sajadah itu dianggap sah tanpa perlu ada niat khusus untuk "menghilangkan bekas tumpahan." Fokus utamanya adalah membersihkan, dan perbuatan ini sudah cukup untuk menghilangkan bekas tumpahan tersebut, tanpa harus disertai niat tertentu.
Contoh lain adalah ketika seseorang mencuci tangan setelah memegang sesuatu yang kotor. Tujuannya adalah kebersihan, bukan ibadah, sehingga meskipun tidak ada niat khusus saat mencuci tangan, tindakan ini tetap sah dan memadai dalam pandangan syariat.
Namun, berbeda dengan ibadah seperti wudhu atau mandi wajib, yang secara khusus memerlukan niat untuk sah. Wudhu bukan sekadar membasuh anggota tubuh, tetapi juga ibadah yang mengharuskan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika seseorang hanya membasuh wajahnya tanpa niat wudhu, maka meskipun anggota tubuhnya bersih, tindakannya tidak dianggap sebagai wudhu yang sah.
Dalam hal ini, perbedaan pendapat muncul ketika ada ulama yang berpendapat bahwa tindakan seperti wudhu atau mandi tetap sah meskipun dilakukan tanpa niat, karena mereka memandang tindakan tersebut dari sudut pandang kebersihan fisik semata. Namun, mayoritas ulama berpegang pada pendapat bahwa niat adalah syarat sahnya ibadah, termasuk wudhu dan mandi wajib, karena keduanya memiliki dimensi spiritual yang tidak bisa dilepaskan dari niat.