Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - ASN Guru MAN 1 Kota Parepare

S1 Universitas Al-Azhar Mesir. S2 SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) LPDP Kemenag RI. (Dalam Negeri) Anggota MUI Kec. Biringkanaya. Sulawesi Selatan. Penulis buku "Perjalanan Spiritual Menuju Kesempurnaan Melalui Cahaya Shalat" dan "Warisan Kasih: Kisah, Kenangan, dan Hikmah Hadis". Prosiding : the 1st International Conference on Religion, Scripture & Scholars Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal Jakarta, berjudul "The Spirit of Ecology in the Hadith: Protecting Nature in Love of Religion" yang terbit pada Orbit Publishing Jakarta. Hal. 237-249. Tahun 2024. Peneliti Jurnal Ilmiah sinta 6 berjudul "Zindiq Al-Walīd bin Yazīd An Analysis of Orthodoxy and Heterodoxy in the perspective of Civil Society in the Umayyad Dynasty" yang terbit pada Journal Analytica Islamica Program Pscasarjana UIN Sumatera Utara Medan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penjelasan Hadis Pertama Arbain Nawawiyah tentang Niat (Part 1)

10 September 2024   14:30 Diperbarui: 10 September 2024   14:34 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai contoh, seorang profesional yang memulai pekerjaannya dengan niat untuk memberikan manfaat bagi orang lain, tidak hanya mencari materi semata, akan mendapati bahwa pekerjaannya bukan sekadar rutinitas, tetapi menjadi sarana ibadah yang bernilai. Demikian juga, seorang pelajar yang belajar dengan niat untuk mencari ilmu demi kemaslahatan umat, bukan hanya untuk meraih gelar, akan mendapatkan keberkahan dan kemudahan dalam ilmunya. Dengan demikian, hadis ini mengingatkan kita bahwa niat adalah kunci yang membuka pintu keberkahan dalam setiap aspek kehidupan kita.

Dalam bahasa Arab, kata "Innamā" memiliki makna khusus yang menunjukkan eksklusivitas atau pembatasan. Kata ini menegaskan sesuatu yang disebutkan dan menafikan selainnya. Namun, pemahaman tentang eksklusivitas ini tidak selalu bersifat mutlak; terkadang, kontekslah yang menentukan apakah pembatasan tersebut berlaku secara mutlak atau hanya dalam pengertian tertentu.

Sebagai contoh, kata "Innamā" dalam firman Allah: "Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan" (QS. Al-Ghashiyah: 21), secara lahiriah tampaknya Rasulullah hanya berperan sebagai pemberi peringatan. Namun, kita tahu bahwa Rasulullah memiliki banyak sifat mulia lainnya, seperti membawa kabar gembira, memimpin umat, dan masih banyak lagi. Penggunaan "Innamā" di sini tidak dimaksudkan untuk membatasi peran Rasulullah hanya pada peringatan semata, tetapi lebih kepada penekanan pada salah satu aspek tugasnya.

Demikian pula, dalam firman Allah: "Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan hiburan semata" (QS. Al-An'am: 32), tampak seolah-olah kehidupan dunia hanya terbatas pada kesenangan dan hiburan. Namun, konteks yang lebih luas menunjukkan bahwa dunia juga memiliki aspek-aspek lain yang lebih kompleks dan bermakna, seperti ujian, tanggung jawab, dan kesempatan untuk beribadah. Pembatasan yang diungkapkan oleh kata "Innamā" dalam ayat ini lebih kepada penekanan pada sifat dunia yang sering kali menipu dan sementara, bukan untuk menafikan seluruh aspek lainnya yang ada dalam kehidupan dunia.

Secara lahiriah, makna kata "Innamā" menunjukkan pembatasan, dan Allah lebih mengetahui, pembatasan ini berlaku bagi mereka yang lebih memilih dunia. Namun, jika dilihat dari sudut pandang hakikat yang sesungguhnya, dunia juga bisa menjadi sarana untuk kebaikan, dan ini termasuk dalam kategori umum yang bisa ditafsirkan secara luas. Jadi, jika kata ini muncul dalam suatu konteks, perhatikanlah. Jika konteks dan maksud dari perkataan tersebut menunjukkan pembatasan dalam hal tertentu, maka kita terima pembatasan itu. Jika tidak, maka pembatasan tersebut dapat diterapkan secara umum.

Contohnya adalah sabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya." Yang dimaksud dengan "amal" di sini adalah amal-amal yang bersifat syar'i atau berhubungan dengan ibadah. Artinya, amal-amal tersebut tidak akan dianggap sah tanpa adanya niat, seperti wudhu, mandi wajib, tayamum, shalat, zakat, puasa, haji, i'tikaf, dan semua ibadah lainnya. Namun, ada pengecualian untuk hal-hal yang bersifat menghilangkan sesuatu, seperti menghilangkan najis, yang tidak memerlukan niat karena itu termasuk dalam kategori meninggalkan sesuatu, dan meninggalkan sesuatu tidak membutuhkan niat. Meski begitu, ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa wudhu dan mandi tetap sah meskipun tanpa niat.

Dalam bab fikih, tindakan yang termasuk dalam kategori "menghilangkan sesuatu" biasanya merujuk pada perbuatan yang bersifat membersihkan atau menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkan, dan tindakan ini umumnya tidak membutuhkan niat untuk sah secara hukum. Salah satu contoh yang nyata adalah menghilangkan najis, seperti mencuci pakaian yang terkena kotoran atau membersihkan lantai dari kotoran. Menurut sebagian ulama, tindakan ini tidak memerlukan niat khusus untuk dianggap sah, karena esensinya adalah menghilangkan sesuatu yang tidak diinginkan, bukan melakukan suatu ibadah.

Misalnya, jika seseorang tanpa sengaja menumpahkan kopi di atas sajadah dan kemudian membersihkannya, tindakannya membersihkan sajadah itu dianggap sah tanpa perlu ada niat khusus untuk "menghilangkan bekas tumpahan." Fokus utamanya adalah membersihkan, dan perbuatan ini sudah cukup untuk menghilangkan bekas tumpahan tersebut, tanpa harus disertai niat tertentu.

Contoh lain adalah ketika seseorang mencuci tangan setelah memegang sesuatu yang kotor. Tujuannya adalah kebersihan, bukan ibadah, sehingga meskipun tidak ada niat khusus saat mencuci tangan, tindakan ini tetap sah dan memadai dalam pandangan syariat.

Namun, berbeda dengan ibadah seperti wudhu atau mandi wajib, yang secara khusus memerlukan niat untuk sah. Wudhu bukan sekadar membasuh anggota tubuh, tetapi juga ibadah yang mengharuskan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika seseorang hanya membasuh wajahnya tanpa niat wudhu, maka meskipun anggota tubuhnya bersih, tindakannya tidak dianggap sebagai wudhu yang sah.

Dalam hal ini, perbedaan pendapat muncul ketika ada ulama yang berpendapat bahwa tindakan seperti wudhu atau mandi tetap sah meskipun dilakukan tanpa niat, karena mereka memandang tindakan tersebut dari sudut pandang kebersihan fisik semata. Namun, mayoritas ulama berpegang pada pendapat bahwa niat adalah syarat sahnya ibadah, termasuk wudhu dan mandi wajib, karena keduanya memiliki dimensi spiritual yang tidak bisa dilepaskan dari niat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun