Mohon tunggu...
Rosalia Ayuning Wulansari
Rosalia Ayuning Wulansari Mohon Tunggu... Freelancer - shinzou wa sasageyo!

Ikatlah ilmu dengan pena, torehkan melalui tinta, niscaya kau akan hidup selamanya melalui karya-karya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Emansipasi, antara Esensi dan Ambisi

9 Juli 2019   13:14 Diperbarui: 9 Juli 2019   13:32 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Emansipasi, yakni sebuah konsepsi yang kerap diidentikkan dengan sosok R.A Kartini. Adanya hubungan asosiasi ini bukan tanpa sebab. Raden Ajeng Kartini, ---atau sebut saja Kartini--- telah dikultuskan sebagai ibu emansipasi yang senantiasa memperjuangkan hak-hak perempuan khususnya perempuan Jawa yang masih berada dalam jerat feodalisme. Meskipun banyak pula pahlawan perempuan yang berjuang mengentaskan kaum mereka dari ketertindasan, hanya Kartini yang dinisbatkan sosoknya bahkan diperingati tanggal lahirnya sebagai perayaan nasional setiap 21 April. Lalu, sebenarnya emansipasi seperti apa yang dibawa oleh Kartini? Patutkah konsep emansipasi tersebut dijadikan kiblat perjuangan perempuan modern untuk mendapatkan hak-hak mereka? Ataukah sebenarnya konsep emansipasi ini sudah bergeser seiring berjalannya waktu hingga kehilangan esensi awalnya?

Kata emansipasi berasal dari bahasa latin yaitu "Emancipacio", yakni pembebasan dari tangan kekuasaan. Mustikawati (2015) mengatakan bahwa wacana emansipasi muncul karena adanya keinginan kuat dari para perempuan untuk bisa mengaktualisasikan dan mengekspresikan diri di ranah publik sebagaimana kaum laki-laki. Perempuan ingin agar dapat dengan leluasa melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki tanpa ada pembatasan hak-hak karena perkara kodrati. Emansipasi yang umum dipahami yaitu yang mengarus pada usaha kesetaraan perempuan terhadap laki-laki dalam segala bidang.

Emansipasi Kartini lahir di tengah dominasi patriarki. Dalam konteks masyarakat Jawa konvensional yang menjadi tempat hidup Kartini, budaya paternalistik yang berkembang di masyarakat akhirnya membagi gender secara diskriminatif dan struktural. Hal ini mengakibatkan perempuan hanya ditempatkan pada kelompok masyarakat nomor dua. Pepatah Jawa yang mengatakan bahwa fungsi perempuan hanya macak, manak, dan masak merupakan sebuah konotasi yang dapat diartikan bahwa perempuan itu makhluk yang bernyawa tapi tidak berjiwa.

Dalam masyarakat Jawa juga dikenal istilah "konco wingking" (teman belakang) yaitu seorang istri. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan melakukan pekerjaan di belakang (di dapur). Batasan wilayah kerja perempuan dalam masyarakat Jawa sangat sempit, sejak masih kecil, anak perempuan telah ditancapkan dengan tugas-tugas domestik, meliputi sumur, dapur dan kasur. Sambil menanti jodoh, gadis Jawa biasanya diajari berdandan, memasak dan kegiatan yang berhubungan dengan melayani suami. Kartini yang adalah seorang bangsawan intelektual melihat fenomenan sosial ini dan melek fakta. Ia kemudian berupaya memikirkan persoalan kaumnya yang tertindas dengan berkirim surat kepada para aktivis feminis di Eropa, seperti Estella 'Stella' Zeehandelar, Jacoba Maria Petronella, dan Rosa Abendanon.

Dalam surat-surat itu Kartini menyampaikan pandangan tidak sepakatnya tentang berbagai polemik keperempuanan. Kartini menjadi perempuan pertama yang mengkritisi poligami dan lantang mengampanyekan pendidikan untuk perempuan. Perhatian Kartini pada dua isu ini, membuat para reformis turut memperhatikan hak berdemokrasi untuk perempuan, modernisasi pendidikan melalui Politik Etis, serta eradikasi poligami. Dengan berkiblat kepada pergerakan feminis di Eropa, Kartini memunculkan gagasan emansipasi di tengah-tengah masyarakat patriarkis Jawa.

Seiring perkembangan zaman ke arah modernitas, dibarengi juga dengan pergeseran konsepsi emansipasi. Emansipasi yang sejak awal kemunculannya berupaya mengangkat derajat kaum perempuan agar bisa mendapatkan hak-hak yang sama dengan laki-laki, di zaman modern bergeser menjadi berupaya menyaingi, mendominasi, hingga mengungguli laki-laki. Emansipasi yang hakikatnya adalah konsep untuk mendapatkan hak asasi, bergeser menjadi ambisi.

Perempuan memiliki peran domestik dan peran publik. Dua peran tersebut tidak boleh ditinggalkan salah satunya karena merupakan fitrah dan ada hak kewajiban di sana. Peran domestik perempuan adalah bagaimana ia memanajemen perkara rumah dan rumah tangga, menjadi pendidik bagi anak-anaknya, serta bertanggung jawab kepada kepala keluarga. Sementara itu dalam ranah publik, perempuan boleh bahkan harus berkiprah dalam kehidupan sosial, boleh berkontribusi sesuai bidang masing-masing. Perempuan juga boleh mengekspresikan dan mengaktualisasi diri sesuai passion yang dimiliki. Itu semua adalah konstruksi sosial yang menjadikan laki-laki dan perempuan memiliki derajat sama, tanpa ada lagi penindasan atau pengekangan terhadap kaum perempuan.

Kekeliruan pemahaman emansipasi saat ini tidak jarang menjadikan perempuan-perempuan yang berkarir tinggi melalaikan perannya di rumah. Akibatnya memunculkan ketidakharmonisan dalam keluarga karena kewajiban tidak dilakukan. Ketidakharmonisan ini bisa menjalar ke berbagai persoalan, bahkan tidak sedikit yang memicu terjadinya perceraian. Menurut Kepala Kesejahteraan Keluarga Dinas Pengendalian Penduduk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A), Anto Handiono, ada 4.938 kasus perceraian di Surabaya pada tahun 2017. Salah satu faktornya adalah perempuan berkarier tinggi yang belum memaksimalkan perannya sebagai istri/anak. Ini mengindikasikan bahwa keinginan yang berlebihan untuk aktualisasi diri bisa menyebabkan kelalaian pada ranah domestik. Dampak dari hal ini adalah disharmoni dalam rumah tangga.

Menyikapi pergeseran pemahaman masyarakat terkait hal ini, perlu dipahami lagi bahwa esensi sebenarnya dari emansipasi bukanlah agar perempuan menjadi berambisi mendominasi atas laki-laki. Apalagi di era mutakhir, di mana sudah mulai tersedia ruang bagi perempuan untuk mengembangkan diri dalam ranah publik. Meskipun di beberapa daerah masih ada jerat adat yang mewarnai kehidupan perempuan Nusantara, kembalikan lagi kepada perspektif masing-masing lingkungan sosial. Tidak bisa digeneralisasi bahwa emansipasi hanya selalu berhubungan dengan kerja, kuasa, dan strata. Perempuan yang memahami bagaimana ia harus bertindak sesuai fitrah dan sekaligus berkontribusi di tengah masyarakat, sesungguhnya ia telah memaknai esensi emansipasi yang hakiki. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun