Mohon tunggu...
Rosalia Ayuning Wulansari
Rosalia Ayuning Wulansari Mohon Tunggu... Freelancer - shinzou wa sasageyo!

Ikatlah ilmu dengan pena, torehkan melalui tinta, niscaya kau akan hidup selamanya melalui karya-karya.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

"Dia" yang Mengintai Mulut Pedas Warganet

30 April 2019   10:30 Diperbarui: 30 April 2019   10:32 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Awal April 2019, sebuah tagar #JusticeforAudrey mewarnai jagad dunia maya. Tagar tersebut merujuk kepada kasus dugaan perundungan dan kekerasan terhadap seorang pelajar SMP berinisal AU yang dilakukan oleh beberapa remaja SMA dengan dalih perkara asmara dan dendam pribadi. Kesimpangsiuran berita dan over-blow up di media sosial tidak mempengaruhi banyaknya simpati khalayak kepada AU. 

Tidak hanya menjadi nomor satu di jejaring sosial Twitter Indonesia saja, tagar tersebut sempat menjadi trending topic dunia pada 9 April 2019. Bahkan petisi dengan tagar sama di laman change.org telah mendapat perhatian dari 2,8 juta penduduk dunia maya untuk menandatanganinya. Tagar tersebut tidak lain Tidak butuh waktu lama hingga kasus tersebut menjadi bahasan hangat yang marak diperbincangkan.

Ada hal lain yang patut disoroti dari kasus tersebut. Penuturan korban AU atas kejadian yang dialaminya menuntun opini publik menuju ke arah yang menyudutkan pelaku. Simpati kepada AU terus berdatangan, sementara hujatan kepada pelaku tidak henti dilontarkan. Warganet jejaring sosial Twitter menjadi salah satu contoh simpatisan yang menjelma penghujat militan. Berikut beberapa contoh tanggapan warganet burung biru terkait kasus AU.

@mogijij*** : merasa diri paling superior, paling cantik, modelan kayak gini memang harus dihukum biar ga seenaknya

@H0BEL*** : Gua kaga terima main damai-damai aja anj***. Sok-sokan mikirin masa depan mereka, mereka aja gak ngurus masa depan mereka baik-baik. Percuma cantik kalau gaada otaknya, bang***.

@mooni*** : pokoknya gw mau semua pelaku tuh dipenjara. period. jangan kasih mrk masa depan kalo mrk berani ngehancurin masa depan org lain.

@skincaremis*** : Mentalnya bermasalah dan mereka ngga ngerasa.

Beberapa tanggapan tersebut menjadi sekian dari ribuan tanggapan di Twitter yang terus bergulir. Ironisnya, 70% pemberi komentar yang kurang patut tersebut adalah para remaja milenial. Entah mereka sadar atau tidak bahwa apa yang mereka sampaikan di akun masing-masing bisa saja kena tindak UU ITE atas poin penghinaan dan penyebaran identitas seseorang secara sembarangan. Beberapa warganet memang membagikan foto terduga pelaku yang akhirnya semakin memblow up berita yang sudah ada. Tujuannya seolah bisa dianalogikan dengan mengobarkan api yang sudah mulai menyala.

Namun yang perlu diperhatikan oleh masyarakat, khususnya warganet yang gemar memberikan tanggapan atau komentar kurang mengenakkan di media sosial adalah kategori apa saja yang bisa terjerat pasal ITE. Apa saja yang mereka post di media sosial adalah bentuk komunikasi tertulis yang memungkinkan ada banyak pemaknaan dan penafsiran. 

Jika tidak cermat dalam menyampaikan komentar, bisa saja dimaknai sebagai sesuatu yang negatif. Apalagi jika memang sejak awal memiliki niatan menyampaikan komentar negatif, perlu diperhatikan apakah penyampaiannya bisa masuk ke dalam pasal penghinaan atau bahkan sampai pada tataran cyberbullying atau perundungan siber.

 Cyberbullying merujuk kepada defini perlakuan kasar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, menggunakan bantuan alat elektronik yang dilakukan secara berulang dan terus menerus pada seorang target yang kesulitan membela diri (Smith dkk., 2008; dalam klikpsikologi, 2013). Cyberbullying dianggap valid bila pelaku dan korban berusia di bawah 18 tahun dan secara hukum belum dianggap dewasa. Apabila salah satu pihak yang terlibat (atau keduanya) sudah berusia di atas 18 tahun, maka kasus yang terjadi akan dikategorikan sebagai cybercrime atau cyberstalking (sering juga disebut cyber-harassment).

Baik pasal penghinaan maupun cyberbullying sebenarnya saat ini sudah akrab ditemui di berbagai platform media sosial. Contoh yang telah ditunjukkan di muka hanya sedikit dari sekian komentar negatif yang tersebar di seluruh penjuru dunia maya. Keduanya nyaris tidak bisa dibedakan kecuali dengan pengkajian kebahasaan melalui linguistik forensik. Namun yang pasti, keduanya tetaplah sebuah kejahatan verbal yang bisa menyebabkan dampak negatif.

Apabila dilihat dari perspektif hukum, apa yang disampaikan para pemilik akun-akun tersebut sudah memenuhi kriteria untuk bisa dilaporkan terkait pelangggaran UU ITE. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah dijelaskan tentang perkara penghinaan dan pencemaran nama baik. 

Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

 Batasan penghinaan dalam hal ini menurut Sugandhi (1980), penghinaan berarti 'penyerangan kehormatan orang lain'. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa penghinaan dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu (1) menista atau mencemarkan nama baik, (2) menghina dengan tulisan, (3) memfitnah, (4) penghinaan ringan, (5) mengadu secara memfitnah, dan (6) menuduh secara memfitnah. 

Sebuah tulisan yang di sana mengindikasikan adanya 6 poin tersebut maka sudah masuk dalam pasal penghinaan. Sementara itu untuk menemukan makna tersirat dari tulisan di media sosial  yang terindikasi pasal penghinaan, perlu dilakukan analisis data bahasa melalui kajian linguistik forensik oleh ahlinya.

Sriyanto, salah seorang peneliti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjelaskan ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam menganalisis data penggunaan bahasa di medsos, yaitu pemahaman tentang bahasa yang digunakan dalam medsos atau pemahaman secara linguistik, dan pemahaman secara hukum. 

Pemahaman secara linguistik dilakukan untuk memastikan apakah tulisan itu mengandung unsur-unsur yang melanggar undang-undang atau tidak. Tulisan dikaji kata demi kata secara cermat agar pemahamannya tidak salah. Pemahaman hukum dilakukan agar pengategorian sebuah tulisan dapat dilakukan secara tepat.     

Dengan semakin berkembangnya keilmuan kebahasaan yang concern mengkaji tentang makna dalam komunikasi di media sosial, alangkah lebih baik jika warganet mulai belajar bersikap santun dan bijak dalam interaksi daring. Ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh disampaikan kepada orang lain meskipun tidak sedang bertatap muka secara langsung. 

Mengirimkan pesan atau komentar yang berisikan cacian dan hinaan, menyebarkan gosip atau berita buruk yang tidak menyenangkan, menggugah atau membeberkan beberapa identitas orang lain tanpa izin, bahkan mengunggah video memalukan yang bisa di akses semua orang; itu semua adalah praktek dari kelakuan tidak baik di media sosial. 

Maka, selaiknya warganet mulai sadar bahwa apapun yang mereka unggah di internet adalah konsumsi publik yang bisa diakses siapapun, termasuk bisa dilaporkan siapapun jika memang mengandung indikasi pelanggaran UU ITE.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun