Baik pasal penghinaan maupun cyberbullying sebenarnya saat ini sudah akrab ditemui di berbagai platform media sosial. Contoh yang telah ditunjukkan di muka hanya sedikit dari sekian komentar negatif yang tersebar di seluruh penjuru dunia maya. Keduanya nyaris tidak bisa dibedakan kecuali dengan pengkajian kebahasaan melalui linguistik forensik. Namun yang pasti, keduanya tetaplah sebuah kejahatan verbal yang bisa menyebabkan dampak negatif.
Apabila dilihat dari perspektif hukum, apa yang disampaikan para pemilik akun-akun tersebut sudah memenuhi kriteria untuk bisa dilaporkan terkait pelangggaran UU ITE. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah dijelaskan tentang perkara penghinaan dan pencemaran nama baik.Â
Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
 Batasan penghinaan dalam hal ini menurut Sugandhi (1980), penghinaan berarti 'penyerangan kehormatan orang lain'. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa penghinaan dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu (1) menista atau mencemarkan nama baik, (2) menghina dengan tulisan, (3) memfitnah, (4) penghinaan ringan, (5) mengadu secara memfitnah, dan (6) menuduh secara memfitnah.Â
Sebuah tulisan yang di sana mengindikasikan adanya 6 poin tersebut maka sudah masuk dalam pasal penghinaan. Sementara itu untuk menemukan makna tersirat dari tulisan di media sosial  yang terindikasi pasal penghinaan, perlu dilakukan analisis data bahasa melalui kajian linguistik forensik oleh ahlinya.
Sriyanto, salah seorang peneliti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjelaskan ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam menganalisis data penggunaan bahasa di medsos, yaitu pemahaman tentang bahasa yang digunakan dalam medsos atau pemahaman secara linguistik, dan pemahaman secara hukum.Â
Pemahaman secara linguistik dilakukan untuk memastikan apakah tulisan itu mengandung unsur-unsur yang melanggar undang-undang atau tidak. Tulisan dikaji kata demi kata secara cermat agar pemahamannya tidak salah. Pemahaman hukum dilakukan agar pengategorian sebuah tulisan dapat dilakukan secara tepat. Â Â Â
Dengan semakin berkembangnya keilmuan kebahasaan yang concern mengkaji tentang makna dalam komunikasi di media sosial, alangkah lebih baik jika warganet mulai belajar bersikap santun dan bijak dalam interaksi daring. Ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh disampaikan kepada orang lain meskipun tidak sedang bertatap muka secara langsung.Â
Mengirimkan pesan atau komentar yang berisikan cacian dan hinaan, menyebarkan gosip atau berita buruk yang tidak menyenangkan, menggugah atau membeberkan beberapa identitas orang lain tanpa izin, bahkan mengunggah video memalukan yang bisa di akses semua orang; itu semua adalah praktek dari kelakuan tidak baik di media sosial.Â
Maka, selaiknya warganet mulai sadar bahwa apapun yang mereka unggah di internet adalah konsumsi publik yang bisa diakses siapapun, termasuk bisa dilaporkan siapapun jika memang mengandung indikasi pelanggaran UU ITE.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H