Mohon tunggu...
Rosalia Ayuning Wulansari
Rosalia Ayuning Wulansari Mohon Tunggu... Freelancer - shinzou wa sasageyo!

Ikatlah ilmu dengan pena, torehkan melalui tinta, niscaya kau akan hidup selamanya melalui karya-karya.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pemilu, Polemik Demokrasi yang Perlu Direfleksi

15 Februari 2019   19:00 Diperbarui: 16 Februari 2019   20:49 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uraian di atas hanya sedikit gambaran dari polemik faktual yang membumbui ajang pemilu 2019 ini. Pemilu merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi, dan memang kisruh yang terjadi saat ini merupakan keniscayaan. 

Abd. Kadir Patta dalam papernya yang diterbitkan Jurnal Academica Fisip Untad tahun 2009 telah merumuskan masalah yang berpeluang terjadi dari adanya pemilu. Melalui prosedur pemilu, rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen atau legislatif) dan pemerintahan. 

Melalui prosedur pemilu dibuat penentuan bahwa pihak yang berhak tampil memerintah harus melalui prosedur kompetisi di mana pemenangnya adalah kontestan yang berhasil memperoleh suara mayoritas dalam pemilu. Inilah yang patut direfleksi kembali. Apakah tepat jika standar perwakilan rakyat hanyalah berdasarkan suara terbanyak? Bagaimana jika mereka yang sudah memperoleh suara mayoritas ternyata tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas yang mumpuni untuk menjalankan pemerintahan?

Patta juga mengemukakan bahwa sistem pemilihan yang berdasarkan pada suara mayoritas terdapat kelemahan yang krusial. Kekuasaan yang dilahirkan sering tidak adil, karena merugikan suara minoritas yang biasanya dipaksa ikut pada keputusan bersama meskipun tidak disetujuinya. 

Apalagi jika cara yang berlaku adalah pola hitungan suara mayoritas sederhana (50+1) yang berarti jumlah yang menolak relatif masih amat besar. Siapa bisa menjamin jika sisa 49 suara lainnya tidak melakukan hal-hal yang mengganggu jalannya pemerintahan, karena mereka tidak rela untuk dipimpin pemenang suara yang tidak mereka pilih.

Masalah lainnya yang juga berpeluang muncul adalah pemerintah perwakilan yang dipilih oleh rakyat sering kali mengambil keputusan dengan mengatasnamakan suara rakyat sehingga kekuasaannya potensial menjelma menjadi "tirani mayoritas". 

Meskipun di sisi lain tak hanya "tirani mayoritas" namun sebenarnya "tirani minoritas" dapat juga menjelma, mengingat posisi salah satunya atas yang lain masing-masing tidak menjamin adanya kepuasan yang adil. Hegemoni kekuasaan akan menjadi hal tak terhindarkan. Semoga saja tidak menjadikan rakyat sebagai korban pertikaian kekuasaan.

Semakin hari hawa panas perpolitikan semakin menguar seiring dekatnya 17 April 2019. Entah drama apalagi yang akan disaksikan rakyat di panggung perpolitikan ke depannya, yang jelas sudah saatnya rakyat meningkatkan taraf kemampuan berpikir mereka lebih tinggi lagi. 

Sebab persoalan pemilu hanya satu dari sekian banyak problematika yang dihadapi negeri ini. Pemilihan kepala negara dan para wakil rakyat adalah perkara yang masyarakat harus concern untuk ikut memikirkannya. Di tangan siapa yang terpilih itulah nasib 267 juta jiwa (databoks, 2019) dipertaruhkan? Apakah akan menuju ke arah kesejahteraan, atau justru menuju keamburadulan. Mari simak dan saksikan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun