Mohon tunggu...
Rosalia Ayuning Wulansari
Rosalia Ayuning Wulansari Mohon Tunggu... Freelancer - shinzou wa sasageyo!

Ikatlah ilmu dengan pena, torehkan melalui tinta, niscaya kau akan hidup selamanya melalui karya-karya.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Hoaks dan Suguhan "Panggung Sandiwara" bagi Rakyat

15 Februari 2019   14:13 Diperbarui: 15 Februari 2019   14:15 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Drama tidak hanya ada dalam panggung sandiwara, melainkan dalam kehidupan pula. Naluri manusia yang cenderung menyukai konflik perlu dipenuhi dengan beragama suguhan drama yang memuat konflik tertentu sebagai bentuk pelampiasan naluriah. 

Nicholas Cage, seorang aktor Hollywood veteran dalam sebuah wawancara dengan media The Guardian pada tahun 2007 pernah mengujarkan"Aku pikir yang membuat orang terpesona adalah konflik, drama dan kondisi manusia. Tidak ada yang akan menonton kesempurnaan". Selaras dengan itu, harfiahnya manusia akan senantiasa berburu "drama" untuk sekadar ditonton, dikomentari, atau bahkan dihujat.

Rakyat Indonesia mestinya tidak perlu kebingungan lagi untuk mendapat asupan drama dalam kehidupan mereka. Hampir setiap tahun selalu ada drama viral yang mau tidak mau mencuri perhatian mereka.

Tentu masih hangat dalam benak rakyat tentang "Drama Setya Novanto" yang mewarnai hari-hari sepanjang tahun 2017. Mulai dari kasus korupsi megaproyek E-KTP, Novanto yang sakit dan mengalami katerisasi jantung ketika akan diselidiki, hingga kabar Novanto mengalami kecelakaan lalu lintas dan mendapat hadiah benjol sebesar bakpao akibat menabrak tiang (detiknews, 2017). Pada akhirnya Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka korupsi megaproyek tersebut sesuai Putusan Akhir Mahkamah Agung Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. Tahun 2017.

 Rakyat menanggapi drama Setya Novanto tersebut dalam bentuk meme guyonan yang beruntung menurut Kominfo bukan termasuk ujaran kebencian, melainkan lelucon satire. 

Dilansir dari laman kominfo.go.id, Staf Ahli Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto menyebutkan, jika pasal 310 dan 311 KUHP memang mengacu pada pencemaran nama baik. Namun, tersebarnya meme editan Novanto bukan apa yang telah dilaporkan oleh kuasa hukumnya sebagai ujaran kebencian, melainkan hanya bentuk ekspresi.

Tahun 2018 lalu kembali muncul drama serupa yang ditayangkan media, dan nampaknya berhasil memenuhi hajat orang banyak untuk melayangkan komentar. Ratna Sarumpaet, seorang aktivis organisasi sosial, diberitakan media nasional diduga mengalami penganiayaan oleh beberapa oknum pada 21 September 201 di Bandara Husein Sastranegara, Bandung. 

Akibat dari penganiayaan tersebut, tidak hanya luka lebam di wajah, namun juga menyisakan trauma psikis bagi Ratna (detiknews, 2018). Yang menarik ialah tidak sampai 24 jam dari pemberitaan awal, Ratna kemudian mengonfirmasi bahwa apa yang ia tuturkan tentang penganiayaan 21 September silam adalah hoaks. Ratna meminta maaf di hadapan publik sembari menyatakan dirinya sebagai Pembuat Hoaks Terbaik Saat Ini (liputan6, 2018).

Terlepas dari kepentingan politik apa yang menunggangi kontroversi Ratna tersebut, tidak semestinya publik disuguhkan dengan drama-drama semacam ini. Entah itu hoaks atau bukan, rakyat tidak berhak dipermainkan kepercayaan mereka pada pemberitaan media yang belum dapat dipastikan kebenarannya. 

Para pembuat hoaks mungkin memiliki motif implisit dari setiap perilaku mereka. Clelland dalam Walgito (2004), menyatakan bahwa secara psikologis ada beberapa motif yang melandasi perilaku manusia, salah satunya adalah motif kekuasaan. Motif kekuasaan merupakan kebutuhan manusia untuk memanipulasi manusia lain melalui keunggulan-keunggulan yang dimilikinya. 

Clelland menyimpulkan bahwa motif kekuasaan dapat bersifat negatif atau positif. Motif kekuasaan yang bersifat negatif berkaitan dengan kekuasaan seseorang, sedangkan motif kekuasaan yang bersifat positif berkaitan dengan kekuasaan sosial. Mereka yang memiliki motif kekuasaan negatif berpeluang menciptakan hegemoni media.

Masyarakat Indonesia tidak seluruhnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Bahkan pada tahun 2016 lembaga survei internasional menempatkan tingkat pendidikan di Indonesia pada rangking bawah. Organization for Economic and Development (OECD) menempatkan Indonesia di urutan 64 dari 65 negara, sedangkan World Education Forum di bawah naungan PBB menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 76 negara. 

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan masih memprihatinkan. Hal ini berimplikasi pada kadar pengetahuan masyarakatnya dalam merespon suatu berita yang dipublikasikan media.

Masyarakat yang tidak memiliki kadar intelektualitas tinggi cenderung menelan mentah-mentah apa yang disiarkan media, tanpa bertabayyun apakah berita tersebut benar atau tidak. Mereka akan menjadi sasaran empuk bagi hoaks-hoaks yang disebarkan penguasa sebagai akibat hegemoni media.

Berdasarkan hasil survei dari Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) tahun 2017 terhadap 1.116 responden, hoaks yang paling sering diterima masyarakat adalah terkait dengan topik sosial politik (91.80%) dan topik SARA (88,60%) yang mana mereka menerima kabar hoaks tersebut dengan frekuensi setiap hari (44.30%) dan setiap minggu (29.80%). Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat kita kerap dijejali dengan kabar-kabar yang belum dapat dipastikan kebenarannya.

Penyebaran hoaks dan pertunjukan drama media memang tidak bisa dihindari karena di era milenial ini informasi dapat tersebar luas dengan cepat. Informasi apa pun yang bersumber dari mana pun dapat diakses siapa pun dan kapan pun. 

Dalam melawan hoaks dan mencegah meluasnya dampak negatif hoaks, sejatinya pemerintah telah memiliki payung hukum, Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis merupakan beberapa produk hukum yang dapat digunakan untuk memerangi penyebaran hoaks. Namun faktanya hal tersebut tidak dapat optimal dalam memerangi hoaks, dibuktikan dengan masih banyaknya kabar burung berseliweran. 

Perlu adanya sanksi berat terhadap para "oknum" agar berhenti memanfaatkan media untuk menciptakan drama politisasi. Apalagi rakyatlah yang dipaksa menyaksikan "panggung sandiwara" buatan mereka. 

Jika demokrasi nyatanya memberikan kebebasan bagi banyak pihak untuk bermain-main dengan media, sehingga malah mengacaukan persepsi rakyat, maka jelas ada ruang kekacauan yang dibawa sistem ini. Tentunya hal tersebut perlu segera disolusikan agar tidak ada lagi drama-drama politik yang disuguhkan pada rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun