Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Memahami "Mesin" Kebencian Bekerja

11 Agustus 2018   23:07 Diperbarui: 13 Agustus 2018   22:47 2479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Harian Terbit

Maaf status saya panjang. Tapi izinkan Saya heran sama orang-orang ini.

Sejak tahun 2014 sampai sekarang mereka terus saja bertengkar karena politik. Pertengkaran mereka sambung-menyambung. Habis Pilpres, lanjut ke Pilkada, lanjut ke Pilkades, lanjut ke Pilpres lagi, sepertinya akan terus begitu. 

Seperti anak kecil yang sedang berkelahi, kalau saja bejaguran mereka dilakukan fair, duel, ndak pakai ngajak orang, nggak pakai umumin lewat corong masjid supaya pendukung datang, mungkin kondisinya tidak separah ini. Lha ini sampai lihatkan orang tua. Mereka kapan bosannya?

Saya lalu sadar ternyata pertanyaan saya yang salah. Tentu saja mereka tidak akan bisa bosan. Yang bertengkar ternyata bukan manusia, tapi mesin. Yang bertengkar bukan person dengan segala macam rumus kemanusiaannya. Yang bertengkar ternyata adalah pabrik. Yang bertengkar adalah industri lewat produk utamanya yang bernama kebencian. Bagaimana bisa?

Ya. Anda yang baru melek mungkin asing dengan istilah industri kebencian yang ditopang oleh mesin-mesin yang canggih. Mesin inilah yang bekerja secara sistematis memproduksi kata, peristiwa sampai pada pikiran yang mengarah kepada terjadinya benturan. panggung utama produksi ini tentu saja media sosial, perangkat yang tidak bertuan.

Saya beri contoh sederhana. Pernahkah anda punya pengalaman tiba-tiba menerima inbox, atau WA, dari orang yang tidak anda kenal yang lalu seketika bernama kasar menyerang anda? Atau, pernahkah anda tiba-tiba ikut dalam perdebatan membenci si A, si B, tanpa anda tau sedikitpun tentang orang-orang yang diperdebatkan itu? Saya pernah, dan sering. Anda juga demikian.

Bahwa mungkin demikianlah industri kebencian bekerja dengan baik dan rapi. Kebencian diproduksi sedemikian rupa untuk jangka waktu lama. Antara aku, kau dan mereka, terpisah oleh batas kebencian yang tipis namun kuat. Industri kebencian menginginkan tak terjadinya proses saling memasuki. Aku di sini benar selamanya, sementara kau dan mereka di sana salah selamanya.

Saya misalnya, oleh kehendak sistem kebencian, diplot sebagai pecinta Jokowi dan apa saja yang melekat dengan jokowi, entah itu kekuasaannya, keluarganya, jaket modenya, dan lain-lain. 

Orang tidak peduli latar belakang saya yang memang tidak pernah menjadi oposisi. Siapa pun yang berkuasa, bagi saya, harus didukung sepenuh hati. Soal ini argumentasinya bisa panjang lebar. Kembali ke soal bagaimana industri kebencian bekerja dengan baik dan rapi. 

Karena saya diplot mencintai tokoh A, maka saya juga diplot membenci tokoh B, tokoh C, yang misalnya punya garis politik berseberangan dengan tokoh A. Atau paling banter saya ditempatkan sebagai pecinta gelap, mencintai dengan diam-diam tokoh yang tidak boleh saya cintai berdasarkan pakem industri itu.

Dalam hukum industri kebencian, mengungkapkan cinta kepada tokoh "luar" adalah aib. Seberapa hebat pun Anies Baswedan dari sisi kegemilangan personal maupun rekam jejaknya, saya tidak tidak boleh mengumbar itu dengan vulgar, apalagi di media sosial. 

Saya mengenal pemikiran-pemikiannya sejak lama, orangnya juga oke. Hukum ini berlaku bagi tokoh-tokoh lainnya yang punya semangat yang sama membangun kualitas berbangsa dan bernegara. 

Mengungkapkan cinta kepada mereka dengan gamblang hanya akan membuat gaduh dan dianggap plin-plan, tak punya pendirian, bentuk kekalahan, dan cap-cap yang lain. Satu-satunya cara yang paling aman adalah mencintai mereka dengan diam. Mirip lirik lagu salah satu band terkenal.

Saya curiga ketentuan ini berlaku juga, misalnya, untuk untuk salah satu Ormas yang doyan demo itu. Dalam hukum industri kebencian, mencintai Jokowi bagi Ormas ini tentulah aib. 

Presiden dengan kekuasannnya diplot sebagai sesuatu yang salah, tidak ada benarnya sama sekali. Jokowi selalu salah, apalagi teman-temannya. Hehe. Coba cek pidato salah satu tokoh itu, saya belum pernah dengar ia mengapresiasi sejumlah kebijakan positif pemerintah. 

Semua harus salah dan karenanya harus diluruskan, harus dilawan. Jika pun mengapresiasi, mereka harus mengapresiasi dalam hati saja. Mereka mencintai dalam hati. Sebab jika tidak, tindakan mereka melanggar ketentuan sistem kebencian itu.

Pada titik tertentu, jadilah ini urusan siapa yang harus membenci siapa, bukan siapa harus mencintai siapa. Kebencian harus diproduksi setiap saat untuk mencapai target volume kebencian tertentu. Untuk mencapai target ini, harus ada objek kebencian. 

Produk kebencian akan menyusut manakalah objek kebencian sudah tidak ada lagi. Mungkin ini mirip-mirip dengan hukum kosmos yang ditafsirkan serampangan, di mana kebaikan dan keburukan harus tetap ada supaya kehidupan tetap ada. Jika tidak ada lagi adu kuat antara keduanya, maka kehidupan akan off.

Simaklah cara sistem ini bekerja dengan baik. Mula-mula dengan menentukan objek kebencian. Selanjutkan mengumpulkan "amunisi" agar kebencian semakin menjadi-jadi. Medan tempurnya memang ada di sini. Bentuknya bisa berupa kutipan pendapat tokoh, teks kitab, atau mungkin hanya gejala-gejala yang pada dasarnya tidak ada sangkut pautnya. 

Misalnya, ada satu orang yang secara personal tidak layak dikutip pendapatnya, hanya karena ia mengungkapkan sesuatu yang mendukung sistem kebencian bekerja, maka pendapatnya menjadi viral, disebarkan sambung menyambung tak putus-putus. 

Orang itu mungkin saja bukan orang penting, tapi bahwa pendapatnya layak dikutip agar produk kebencian tetap up-date, ia layak dianggap tokoh. Produk kebencian juga membutuhkan sarana (media) untuk bisa menyasar pasar. Dan sekarang betapa media sosial menjadi piranti penting dalam bisnis ini. 

Media sosial adalah sarana efektif, sebab di dalamnya yang berkuasa bukan kualitas, tapi kuantitas. Yang ada adalah besar-besaran teriakan, plus banyak-banyakan teman berteriak. Maslahat-mudharat adalah urusan belakang.

Siapa yang diuntungkan dalam bisnis ini?

Yah, namanya juga kebencian, yang mendapat untung tentu saja orang-orang tidak baik. Seperti orang beternak, orang baik tentu gemar beternak cinta, bukan beternak benci.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun