Saya mengenal pemikiran-pemikiannya sejak lama, orangnya juga oke. Hukum ini berlaku bagi tokoh-tokoh lainnya yang punya semangat yang sama membangun kualitas berbangsa dan bernegara.Â
Mengungkapkan cinta kepada mereka dengan gamblang hanya akan membuat gaduh dan dianggap plin-plan, tak punya pendirian, bentuk kekalahan, dan cap-cap yang lain. Satu-satunya cara yang paling aman adalah mencintai mereka dengan diam. Mirip lirik lagu salah satu band terkenal.
Saya curiga ketentuan ini berlaku juga, misalnya, untuk untuk salah satu Ormas yang doyan demo itu. Dalam hukum industri kebencian, mencintai Jokowi bagi Ormas ini tentulah aib.Â
Presiden dengan kekuasannnya diplot sebagai sesuatu yang salah, tidak ada benarnya sama sekali. Jokowi selalu salah, apalagi teman-temannya. Hehe. Coba cek pidato salah satu tokoh itu, saya belum pernah dengar ia mengapresiasi sejumlah kebijakan positif pemerintah.Â
Semua harus salah dan karenanya harus diluruskan, harus dilawan. Jika pun mengapresiasi, mereka harus mengapresiasi dalam hati saja. Mereka mencintai dalam hati. Sebab jika tidak, tindakan mereka melanggar ketentuan sistem kebencian itu.
Pada titik tertentu, jadilah ini urusan siapa yang harus membenci siapa, bukan siapa harus mencintai siapa. Kebencian harus diproduksi setiap saat untuk mencapai target volume kebencian tertentu. Untuk mencapai target ini, harus ada objek kebencian.Â
Produk kebencian akan menyusut manakalah objek kebencian sudah tidak ada lagi. Mungkin ini mirip-mirip dengan hukum kosmos yang ditafsirkan serampangan, di mana kebaikan dan keburukan harus tetap ada supaya kehidupan tetap ada. Jika tidak ada lagi adu kuat antara keduanya, maka kehidupan akan off.
Simaklah cara sistem ini bekerja dengan baik. Mula-mula dengan menentukan objek kebencian. Selanjutkan mengumpulkan "amunisi" agar kebencian semakin menjadi-jadi. Medan tempurnya memang ada di sini. Bentuknya bisa berupa kutipan pendapat tokoh, teks kitab, atau mungkin hanya gejala-gejala yang pada dasarnya tidak ada sangkut pautnya.Â
Misalnya, ada satu orang yang secara personal tidak layak dikutip pendapatnya, hanya karena ia mengungkapkan sesuatu yang mendukung sistem kebencian bekerja, maka pendapatnya menjadi viral, disebarkan sambung menyambung tak putus-putus.Â
Orang itu mungkin saja bukan orang penting, tapi bahwa pendapatnya layak dikutip agar produk kebencian tetap up-date, ia layak dianggap tokoh. Produk kebencian juga membutuhkan sarana (media) untuk bisa menyasar pasar. Dan sekarang betapa media sosial menjadi piranti penting dalam bisnis ini.Â
Media sosial adalah sarana efektif, sebab di dalamnya yang berkuasa bukan kualitas, tapi kuantitas. Yang ada adalah besar-besaran teriakan, plus banyak-banyakan teman berteriak. Maslahat-mudharat adalah urusan belakang.