Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memaksa Anak atas Nama Target Kesuksesan

24 Juli 2018   09:31 Diperbarui: 24 Juli 2018   09:48 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi hari yang biasa. Saya bersiap mengantar anak sekolah. Jarak antara rumah dan sekolahnya lumayan jauh. Pembagian tugas sudah jelas. Saya kebagian memandikan, menyiapkan seragam, menyiapkan buku-buku dan kebutuhan lainnya, sementara istri saya di dapur mempersiapkan sarapan. Begitu setiap hari. Pagi hari kami selalu riang.

Tidak ada orang tua yang tidak menginginkan kesuksesan anak-anaknya. Pun saya. Kesuksesan (lewat batas-batas pengertian tertentu) bisa dicapai dengan belajar dulu. Itu sebabnya kalau urusan sekolah anak-anak, saya, dan tentu saja anda semua, selalu bersemangat. Kedua, semua orang tua mendo'akan yang terbaik untuk anak-anaknya. Do'a yang sering dipanjatkan adalah semoga sang anak sehat, tumbuh dengan sehat, berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.

Anak saya sekolah lima hari. Dia masuk kelas jam 7 pagi dan pulang jam 2 siang. Dulu sebelum dia sekolah, anak saya punya kebiasaan tidur sampai jam 10 pagi. Saya tidak bisa bercengkerama dengannya antara habis subuh sampai jam sibuk itu. Kini pun karena dia masuk sekolah, waktu pagi itu tidak bisa dipakai untuk bersama. Karena baru kelas satu, dia pulang jam 2 siang. Kalau nanti dia di kelas dua dan seterusnya, dia akan pulang jam 4 sore. Sampai di rumah tidakkah dia capek dan memilih beristirahat di kamarnya? Sementara saya sudah harus bersiap-siap masuk kerja. Jadwal kerja saya antara magrib sampai kira-kira jam 12 malam.

Aduh Tuhan. Mulai sudah saya menyadari kian hari waktu bersama anak-anak kian sedikit. Saya sudah membayangkan dia selesai sekolah dasar, lalu meninggalkan kami sekolah di tempat jauh. Jika sudah begini, saya berusaha mengefektifkan waktu mengantar dan menjemputnya sekolah. 

Di sekolahnya, saya melihat keceriaan anak-anak yang lain. Sebagian mereka diantar dan dijemput oleh yang bukan orang tua mereka karena kesibukan bekerja. Toh keceriaan mereka tidak hilang. 

Saya tau sepulang sekolah sebagian mereka sudah harus bersiap-siap mengikuti les sore. Ini pilihan orang tua mereka dengan alasan yang sama ; kesuksesan. Waktu les biasanya sampai menjelang magrib. Ini pun belum cukup. Sehabis magrib masih ada kegiatan ngaji di masjid sampai isya. Pulang itu mereka sudah mengantuk dan bersiap tidur. Besok sudah menanti rutinitas yang sama.

Kadang saya berpikir, apakah sebagai orang tua dan atas nama kedisiplinan serta kesuksesan, saya begitu egois kepada anak? Sebetulnya ini pikiran sederhana berdasarkan pengalaman masa kecil yang tak ada tetek-bengek "keteraturan" ini. Dulu sepulang sekolah, saya akan hilang, bermain bersama-teman sampai sore. Sehabis magrib ngaji sebentar, setelah itu main lagi. Pagi hari juga sangat menyenangkan. Ada "rapat" kecil tidak jauh dari tempat mandi masjid. Rapat biasanya membahas film yang ditonton semalam, atau juga kelucuan-kelucuan yang terjadi semalam. Waktu demikian elastisnya.

Kadang saya berpikir, betulkah tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya urusan sekolah formal? Atau kalau mau diprosentasekan, berapa tanggung jawab sekolah dan berapa tanggung jawab saya atas nama keluarga? Apakah berkumpul dan ngakak-ngakak bersama anggota keluarga adalah juga bagian dari pendidikan? Tapi memang zaman terus bergerak dan mengikis waktu terbaik itu. 

Saya ngobrol dengan beberapa orang tua yang sesekali punya kesempatan menjemput anaknya karena kesibukan kerja. " Ya saya bekerja juga kan untuk anak-anak, untuk biaya sekolah mereka, untuk masa depan mereka. Saya percaya di sekolah guru-guru memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak saya". Kalau sudah begini maka tentu tidak akan ada pertanyaan susulan. Ini soal tanggungjawab orangtua terhadap masa depan anak-anaknya. Masa depan!

Tinggal di komplek perumahan membuat saya gemar mengamati sesuatu, terutama pagi hari ini. Dulu, di rumah lama, masih di komplek perumahan, saban pagi saya menyaksikan dua pemandangan yang bertentangan, pertama dari tetangga saya sebelah kiri rumah, dan dari tetangga saya di bagian pojok sebelah kiri juga. 

Dari rumah yang pertama tiap pagi saya mendengar anak  menangis digendong pembantu. Ibu bapaknya sudah berangkat kerja jam 6 pagi. Dia bangun jam 7 dan biasanya langsung menangis. Kalau sudah begitu, sang pembantu memakai jurus biasa, mengajaknya belanja di kios sebelah rumah dengan melewati rumah saya. Tiap hari begitu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun