Banyak guru berdedikasi yang menghabiskan separuh umurnya mengajar di tempat-tempat terpencil tanpa gaji memadai. Siti Rohimah (47) adalah salah satunya. Perempuan kelahiran Denpasar Bali ini mengabdi sebagai guru honor di sebuah SD filial di daerah ketinggian Sekotong. Â Saban hari, kata ibu berjilbab ini, ada saja murid yang tidak masuk sekolah karena diajak menambang emas oleh orang tuanya. Maklum, Sekotong adalah kawasan tambang emas ilegal hingga saat ini.
Siti Rohimah tersenyum bahagia mengenang penghargaan yang diberikan oleh pemerintah daerah tahun lalu. Ia bersama beberapa guru lain mendapatkan Handayani Award. Siti Rohimah tercatat sebagai tenaga pengajar di Sekolah Dasar filial Makam Kedaro Kecamatan Sekotong Lombok Barat, NTB. Induk sekolah ini adalah SDN Buwun Mas. Sekolah ini terletak di kawasan terpencil dan diatas ketinggian gunung. Jalan belum teraspal. Baik Kedaro maupun Buwun Mas masuk  kawasan tambang. Di kedua kawasan inilah banyak ditemukan praktek pertambangan tradisional.
Rohimah tidak sendirian mengabdi di tempat ini. Bersamanya ada 4 guru lain. Suami Darmansyah ini khusus menangani murid kelas 2. Â Jumlah murid keseluruhan 93 orang, 46 laki-laki, 47 perempuan. SD Filial Makam Kedaro terbilang jauh dari layak. Hanya ada satu ruang kelas untuk semua murid. Guru terpaksa bergiliran menggunakan ruangan." Bagi saya tidak masalah. Yang penting ada tempat mengajar anak-anak warga sekitar," ungkapnya.
Rohimah kelahiran Denpasar. Ia tercatat sebagai muallaf setelah dipersunting Darmansyah, tukang bangunan tahun 2002 silam. Penyakit tertentu yang tidak  ia sebut membuatnya belum bisa memiliki keturunan hingga saat ini. Tahun 2006 ia mulai mengabdi sebagai guru berbekal ijazah terakhir kelas jauh sebuah perguruan tinggi swasta. Untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, Rohimah terbiasa mengerjakan apa saja sepulang sekolah.
Selama mengajar, Rohimah dan teman-temannya menghadapi banyak kendala. Diantaranya menyangkut ketersediaan buku pelajaran. Kebutuhan puluhan anak-anak masih dipenuhi oleh buku-buku lama. Rohimah mengaku baru tahun sekolah dikirimi buku-buku baru. Buku lama sebagian besar robek dan lusuh, disimpan di lemari yang juga rusak karena jadi tempat bermain.
Fakta bahwa sekitar sekolah adalah wilayah tambang emas, juga menjadi persoalan sendiri bagi sekolah. Saban hari, kata Rohimah, ada saja murid tidak masuk sekolah karena diajak menggali batu oleh orang tua mereka. Mereka sepertinya tidak mau kalah dengan penambang luar yang datang berkelompok. Warga setempat  juga membuat kelompok dan melibatkan anak-anak dibawah umur. " Awalnya sulit menyadarkan orang tua. Kita beri penjelasan, apa anak mereka tetap jadi tukang bat atau jadi pegawai kantoran. Lama-lama sadar. Alhamdulillah jarang yang bolos lagi," lanjutnya.
Soal kesejahteraan, Rohimah tidak mau membahasnya terlalu dalam. Setiap tiga bulan ia mendapat honor berkisar Rp 70 ribu hingga Rp 100 ribu. Meski demikian aktivitas mengajar dilakoninya dengan serius. Rohimah kasihan masih ada sebagian warga sekitar yang buta huruf. Mereka juga menggantungkan hidup dengan bertani dan berladang.
Salam  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H