Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Asyura, Karbala dan Sejarah Perpecahan Politis

10 Oktober 2016   20:55 Diperbarui: 10 Oktober 2016   20:59 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak berdiri hingga perjalannnya yang terbilang pendek, Dinasti Umayyah mengemban misi pencitraan atas sejarah buruk bagaimana dinasti ini dibangun pertama kali. Cara licik 

Muawiyah menyingkirkan Ali sebagai khalifah ke-4 yang sah harus dikaburkan dalam buku-buku sejarah mendatang.  Mungkin pula dengan cara seperti ini, kelompok Syiah dapat “disadarkan” dengan pelan. Dari dinasti inilah muncul pemahaman-pemahaman berbeda tentang peristiwa – peristiwa sebelumnya. Secara umum, keyakinan sejarah yang dikampanyekan saat itu adalah: Ummat Islam telah mendapat finah yang besar.

Pada masa inilah kelompok agama yang menamakan diri mereka ahli Sunnah  menyusun bentuknya. Entah karena secara kebetulan mulai hidup dalam masa kemapanan Dinasti Umayyah, ajaran ini dikenal dengan ajaran-ajarannya yang cenderung ditengah-tengah, termasuk dalam penyikapan sejarah sebelumnya. Kasus terbunuhnya Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Talib, terjadinya perang jamal dan perang Siffin, diterjemahkan menjadi semacam skenario besar yang dilakukan oleh orang luar yang ingin memecah belah persatuan ummat.  Sejarah pertarungan politik kekuasaan sejak setelah wafatnya rasul hingga terjungkalnya Ali disederhanakan dengan menyebutnya fitnah yang ditimbulkan orang-orang luar. Posisi seluruh khalifah dimuliakan, pun dengan Khalifah Ali yang menjadi milik kaum Syiah.

Dalam pandangan saya, kelompok Ahli Sunnah (yang selanjutnya lebih dikenal dengan kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah atau Sunni)  “sengaja” lahir untuk meredam pandangan-pandangan frontal Syiah maupun khawarij. Sikapnya yang ditengah-tengah dikondisikan negara untuk menghindari ummat dari kegaduhan perang. Sunni lantas disebut sebagai aliran agama yang moderat, baik dari pandangan akidahnya, tata fiqh dan nilai-nilai lain yang diusung.

Sementara itu pada rentang waktu yang bersamaan, api dendam Syiah masih menyala dibalik kemegahan Dinasti Umayah. Perlawanan sudah mulai hidup setelah Muawiyah diganti oleh anaknya, Yazid Bin Muawiyah.

Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya, termasuk didalamnya Husain, anaknya Ali Bin Abu Talib. Bersamaan dengan itu, kelompok Syi'ah melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan untuk melakukan perlawanan. Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala, Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.

Kengerian politik yang berujung pada peristiwa perang ini terus berlangsung hingga jatuhnya Dinasti Umayyah dan digantikan oleh Dinasti Abbasiyah (750) yang berpusat di Bagdad-Irak. Posisi berhadap-hadapan Syiah dan penguasa kala itu, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi terus terjadi hingga pada akhirnya pasukan Mongolia datang dan mencabik-cabik dinasti itu.

Saling Menyalahkan tanpa patokan sejarah 

Menjadi luculah semuanya, ketika ummat ini saling menghujat atas nama perbedaan cara pandang beragama, yang perbedaan itu semua disandarkan pada ketentuan-ketuan ketat, tokoh-tokoh agama yang katanya ‘alim. Menjadi-jadilah rasa lucu ini ketika mengetahui bahwa akar perbedaan pandangan tersebut adalah sejarah politik.  Betapa tidak masuk diakalnya jika saling serang-menyerang terjadi atas dasar perbedaan candang ber-Islam, teriakan Allahu Akbar menggema baik dari musuh maupun kawan, jika awal dari semua ini adalah perebuatn kekuasaan semata.

Peristiwa menyesakkan dada kembali terjadi, seakan menyambung kembali mata rantai sejarah diatas. Ratusan rumah masyarakat Syi’ah di Sampang, Madura, dibakar oleh massa lain dan menyebabkan mereka mengungsi. Peristiwia semacam ini bukanlah yang pertama. Ketegangan serupa kerap terjadi antara kedua kubu, warga syiah mayoritas warga lain yang menganggap diri Sunni. Nyawa melayang, ratusan anak menjadi trauma.

Atas masalah ini, tidak masalah jika menteri agama menegaskan bahwa yang terjadi adalah ketegangan berlatar belakang keluarga. Tidak masalah juga jika yang lain mengatakan bahwa kejadian ini berlatar belakang asmara. Tidak masalah dengan sikap menyederhanakan ini, karena memang demikianlah watak semua kita, cenderung menyederhakanan masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun