Pada laporan berjudul "Potensi intoleransi terhadap kelompok yang tidak disukai", terlihat mayoritas muslimin dan muslimah bersikap intoleran terhadap kelompok yang tak disukai (57,1 persen). Jumlah ini meningkat dibanding survei pada 2016 dengan angka intoleran sebesar 51,0 persen (disadur dari detik.com, 29 Januari 2018).
Proses yang dilewati seorang muslim yang menjadi radikal sebenarnya tidak bisa diidentifikasi secara pasti. Namun, berdasarkan praktek rekrutmen yang dilakukan di kelompok dan organisasi radikal, umumnya melewati tahapan proses sebagai berikut (disadur dari Staf Ahli Bidang Sosial Budaya Badan Intelijen Negara, 2009:41-42) : Tahapan pertama, aktif di pengajian yang dibimbing oleh ustadz yang berpikir radikal. Yang kedua, tahapan takniwiyah (pembentukan) yakni terciptanya sebuah konstruksi pemikiran yang mengacu pada keyakinan bahwa tiga isu sentral itu adalah kewajiban setiap muslim. Tahapan ketiga, proses pematangan, umumnya dengan proses baiat.
Berkaitan dengan variabel pemicu radikalisme, Mustafa Abdul Rahman di Kompas.com (12/01/2018) menulis beberapa variabel tentang bersemainya radikalisme. Variabel pertama adalah bersemainya radikalisme sering dikaitkan dengan kemiskinan dan kebodohan. Variabel kedua teks-teks ajaran agama dan kurikulum sekolah agama di dunia Islam kerap dituduh sebagai faktor pendorong perilaku radikalisme.
 Variabel ketiga yang sering dikatakan bersemainya perilaku radikalisme bagi para pemuda Muslim lantaran mereka menolak atau tidak mampu berintegrasi dengan kehidupan modern yang didominasi peradaban barat. Variabel keempat, adalah masalah kerancuan semantik. Yaitu, kerancuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata.
Selain itu, Ahmad Asrori (2015:255) dalam jurnalnya yang berjudul "Radikalisme Di Indonesia" juga menjelaskan faktor pendukung terjadinya radikalisme, yaitu setelah hadirnya orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia yang membawa ideologi baru ke tanah air, turut mengubah konstelasi umat Islam di Indonesia.
Hendropriyono (2009;363) mengatakan bahwa ada sebagian pihak yang didasari oleh ideologi radikalisme global bahlan telah mempengaruhi eksistensi ideologi nasional Indonesia pada era reformasi dewasa ini. Sebagian pihak berupaya mengendurkan ideologi Pancasila agar tidak menjadi ideologi ketahanan bangsa. Ini terlihat dari fitnah dan provokasi beberarapa tokoh al-Jamaah al-Islamiyah yang mengatakan bahwa pancasila adalah doktrin-doktrin batil yang meracuni pikiran pemuda-pemuda Islam Indonesia (Abdullah Sungkar, 1997). Â
Sarwono (2012:79) dalam buku mengatakan bahwa jumlah kelompok radikal yang terbatas ini tidak mencerminkan aspirasi mayoritas umat Islam di Indonesia. Mereka adalah Muslim minoritas yang menyendiri dan tidak membaur dengan masyarakat umum di Indonesia. Dalam beberapa hal, Indonesia tampak masih ambigu dalam upaya penanganan terosisme. Di negri ini masih ditemukan organisasi yang sangat jelas menentang keutuhan NKRI, menolak secara tegas falsafah negara dan ideologi, yaitu Pancasila dan UUD 1945, namun secara legal formal diakui keberadaannya di Indonesia (disadur dari, Idris, 2016:42).
Horace dan Zuhri (2017:30) dalam buku "Deradikalisasi Terorisme" mengemukakan tiga ciri khas dari radikalisme. Pertama, radikalisasi merupakan kondisi yang sedang berlangsung, yang memunculkan bentuk evaluasi, penolakan atau perlawanan. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada penolakan akan tetapi terus berupaya mengganti tatanan yang sudah ada dengan bentuk tatanan nilai lain. Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikal akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa.
Direktur Perlindungan BNPT, Brigjen Pol Herwan Chaidir, saat memberikan sambutan sekaligus membuka kegiatan Rapat Koordinasi Penyusunan Rencana Aksi Pemulihan Korban Aksi Terorisme di Bali, Senin (28/8/2017). Kegiatan ini akan dilaksanakan selama dua hari (28-29 Agustus 2017) untuk merumuskan pengelolaan korban aksi terorisme yang saat ini jumlahnya semakin banyak. "Sejauh ini korban terorisme di tahun 2002 -- 2017 berjumlah 10107 korban. Dan apabila mereka tidak diperhatikan oleh pemerintah itu bisa menjadi mata rantai terorisme" tegasnya (disadur dari bnpt.go.id , 29 Agustus 2017,URL).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H