Saat menyerahkan ijasah Ingenieur kepada Bung Karno, Prof. Ir. G. Klopper M.E Rektor Sekolah Teknik Tinggi Bandung (sekarang ITB), berkata, “Ir. Sukarno, ijasah ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah, bahwa satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang. Kenangan terhadap karakter itu akan tetap hidup, sekalipun dia mati.” (Cindi Adams, 2)
Penggalan dialog di atas menjadi sangat menarik karena diucapkan oleh seorang intelektual senior dari negeri yang sedang menjajah kepada seorang intelektual muda yang sedang memperjuangkan kemerdekaan negerinya. Tuan Klopper seakan-akan ingin memberi tahu Bung Karno penyebab Indonesia bisa dijajah dan apa yang harus dilakukan bangsa ini untuk membebaskan belenggu tersebut. Bangun dulu karakter bangsamu. Karakter yang merasa sejajar dengan bangsa lain, bukan bangsa yang inferior. Tanpa karakter yang kuat Indonesia tidak mungkin bisa merdeka
Dan karakter inilah yang terbangun diantara para pejuang kemerdekaan. Bahu-membahu, gotong-royong, saling dukung dan berbagi serta saling menguatkan. Politisi, ekonom, pedagang, akademisi dan tentara berfusi dengan satu tujuan. Mengusir penjajah dari nusantara. Kekuatan kaum muda dan kematangan kaum tua berkolaborasi dengan baik hingga proklamasi kemerdekaan dapat dikumandangkan.
Lalu menjadi pertanyaan adalah, mengapa setelah merdeka Indonesia tidak bisa berlari kencang? Euforia kemerdekaan menjadikan bangsa Indonesia lalai menguatkan pondasi yang telah terbangun. Aktivitas pembangunan difokuskan kepada pembangunan fisik, seperti gedung, jalan dan jembatan. Pasca kemerdekaan bangsa ini melihat kemiskinan sebagai musuh bersama. Untuk itu pertumbuhan ekonomi menjadi target utama pembangunan.
Karenanya pemerintah konsen dengan pengumpulan kapital sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi seperti yang disampaikan oleh Solow. Namun, pemerintah mengabaikan vaiabel lain dari teori tersebut, yaitu efektivitas tenaga kerja. Pembangunan sumber daya manusia tidak dapat dimaknai hanya dengan mencerdaskan mereka. Lebih dari itu, menciptakan manusia yang produktif. Manusia yang mampu bersikap dan bertindak secara efektif dan efisien. Dan inilah karakter ideal yang seharusnya diciptakan agar Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan kuat.
Namun, yang terjadi adalah tumbuh pesatnya manusia cerdas dengan karakter konsumtif. Besarnya jumlah penduduk menjadi “jualan” bangsa ini untuk mengundang investor. Indonesia pun menjadi pasar menggiurkan bagi produsen-produsen besar dunia. Anda tidak akan kaget jika pagi hari melihat iklan mobil atau gadget baru lalu siang nya sudah melihat banyak orang yang menggunakannya di negeri ini.
Pasca reformasi, bangsa ini menghadapi tantangan baru. Tumbuhnya golongan menengah dan bonus demografi. Dua kondisi yang bisa menjadi motor pertumbuhan, tapi juga bisa sebaliknya sebagai pemicu inflasi, sangat bergantung apakah kedua hal tersebut bersifat produktif atau konsumtif.
Menangnya kaum reformis juga melahirkan generasi-generasi cerdas, kritis dan kompetitif. Sayangnya tanpa trust satu sama lain. Kompetisi yang muncul adalah pertarungan kehebatan ide-ide, bukan pertandingan siapa yang berhasil mewujudkan gagasan. Bangsa ini terlalu asik berdebat ide mana yang lebih hebat, sementara negeri lain sibuk mendesain implementasi sebuah ide
Hilangnya rasa percaya antar komponen bangsa juga menjadi pemicu rendahnya produktivitas negeri. Rencana dan niat baik selalu beriringan dengan sikap curiga dan pertanyaan siapa dan mengapa? Siapakah yang mempunyai ide, apakah dia berasal dari golongan yang sama atau bukan? Apa motif nya, apakah ada agenda tersembunyi? Akhirnya terjebak dalam sikap resisten yang menghabiskan waktu dan energi dengan sia-sia. Kemudian niat baik pun akan mengalami pelemahan dan menjadi sebuah konsep tanpa aplikasi.
Dan jika ada orang yang tetap nekad menjalankan rencana baik tersebut, kemudian berhasil mewujudkannya. Dalam sekejap akan mendapat ribuan “like” atau kekaguman dalam bentuk lainnya di sosmed. Segera broadcast kisah inspiratif tersebut beredar dari satu jejaring sosmed ke sosmed lainnya. Namun, apakah kisah tersebut menginspirasi terjadinya replikasi atau duplikasi kebaikan? Secara umum, kisah tersebut hanya berhenti pada kekaguman semata. Karakter senang dengan kebaikan, tapi ingin orang lain yang melakukan untuk dirinya adalah faktor lain yang menjadikan bangsa ini tidak produktif.
Indonesia membutuhkan lebih banyak orang-orang nekad tersebut. Individu dengan karakter saling menguatkan dalam mewujudkan ide membangun bangsa, sesederhana apapun ide tersebut. Generasi dengan semangat solusi dan menghindari diri dari perdebatan yang tidak produktif. Individu yang selalu berfikir bahwa komponen bangsa lain adalah mitra strategis bukan pesaing. Generasi yang percaya bahwa negeri ini butuh bersinergi dalam berkontribusi untuk wujudnya Indonesia yang Berkualitas, Berkelas dan Berjaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H