Mohon tunggu...
Ahmad Irsan
Ahmad Irsan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

thought, feeling and hope

Selanjutnya

Tutup

Politik

70 Tahun, Dapat Apa?

10 September 2015   13:55 Diperbarui: 10 September 2015   13:55 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasanya di bulan Agustus, maka seluruh komponen bangsa berbenah untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia. Berbagai acara dipersiapkan oleh pemerintah pusat, daerah, hingga level RT/RW. Sebuah seremoni yang telah menjadi rutinitas negeri ini. Merah putih akan berkibar seantero nusantara, Indonesia Raya berkumandang dimana-mana. Namun, apakah hal tersebut membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik? Sekali lagi ini hanya sebuah kegiatan rutin tahunan yang membawa kebahagiaan sesaat.

            Pemerintahan telah silih berganti dengan mengusung berbagai program-program unggulan masing-masing. Satu hal yang sama adalah pembangunan selalu diarahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pemerintah begitu bangga dan ketagihan dengan pertumbuhan. Bukan bagaimana menyediakan apa yang dibutuhkan rakyat. Percuma Indonesia mencapai pertumbuhan tinggi jika nilai tukar Rupiah melemah dan menurun daya belinya. Kebutuhan pokok seperti daging langka dan mahal. Hal ini menunjukkan bahwa meski kita meraih pertumbuhan yang tinggi dibandingkan negara-negara lain bukan berarti rakyat hidup lebih baik dari rakyat negara tetangga. Pencapaian pertumbuhan yang tinggi tidak menjamin bahwa masyarakat hidup bahagia.

            Graham dan Pettinato (2011) menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan nasional per kapita dengan kebahagiaan masayarakat di 17 negara berkembang Amerika Latin. Penelitian lain yang dikenal sebagai Easterlin Paradox menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan masyarakat tidak meningkat seiring pertumbuhan suatu negara. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, maka kenaikan pendapatan tidak menjamin orang akan semakin bahagia.

            Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang program dan kebijakan yang ada. Pembangunan harus diarahkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Different things make different people happy (Christian Kroll, 2010). Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda, artinya setiap daerah membutuhkan program yang berbeda tidak dapat digeneralisasi. Program yang ada cenderung menyama-ratakan kebutuhan setiap daerah di Indonesia, Jawa sentris bahkan Jakarta sentris. Adanya mandatory spending bahwa Pemerintah setiap tahunnya harus mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% baik di pusat dan daerah kemudian 5% anggaran kesehatan di APBN dan 10% di APBD menunjukkan hal tersebut.

Pengkavlingan anggaran ini mengharuskan setiap pemerintah baik pusat dan daerah memiliki prioritas pembangunan yang sama setiap tahunnya. Kebijakan ini mengabaikan dinamika kebutuhan masyarakat setiap daerah itu berbeda dan tantangan pembangunan setiap tahun juga berbeda. Dan tentunya membutuhkan kebijakan dan program pembangunan yang berbeda pula.

Masyarakat kota-kota besar membutuhkan sistem transportasi massal yang cepat, tepat dan murah dari pemerintah dan relatif telah mandiri untuk kebutuhan layanan pendidikan dan kesehatan. Sebaliknya, masyarakat di daerah terutama remote area sangat mengharapkan ketersediaan layanan pendidikan dan kesehatan yang cepat dan murah dari pemerintah, dan dengan mobilitas yang rendah mereka tidak membutuhkan sistem transportasi yang canggih.

            Kita punya Musrenbang yang berjalan dengan mekanisme bottom-up, namun sekali lagi hal ini hanya seremoni yang merupakan kompilasi rapat-rapat rutin aparat pemerintah. Bukan berdasarkan hasil survei kebutuhan masyarakat. Sebenarnya kita juga punya DPR dan DPRD yang merupakan representasi rakyat, tapi prakteknya anggota dewan masih berperan sebagai wakil partai. Bahkan secara umum mereka berdomisili di kota-kota besar bukan hidup di tengah-tengah masyarakat pemilihnya.

Hal lain adalah belum terdapat koneksi dan komunikasi yang ideal antara anggota DPR dengan anggota DPRD untuk dapil yang sama. Belum ada forum buat para wakil rakyat dimaksud untuk bersama-sama merumuskan kebutuhan masyarakat di dapil-nya yang kemudian diperjuangkan dalam sebuah program pembangunan berbasis kearifan lokal. Dengan demikian maka desain program pembangunan akan in line antara pusat dan daerah dan benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.

Jika untuk menduduki jabatan tertentu seseorang harus menjalani fit and proper test, mungkin mekanisme yang sama dapat diberlakukan bagi para calon anggota DPR/DPRD. Dengan demikian para caleg akan melakukan survei tentang masyarakat suatu dapil dan benar-benar memahami kebutuhan rakyat yang diwakilinya. Beauty contest program akan terjadi dan rakyat pun yakin siapa yang harus dicoblos dalam bilik suara.

Sudah saatnya rakyat mendapat posisi sebagai subjek pembangungan bukan lagi sekedar objek. Slogan lama yang sering didengar tapi belum terwujud dengan baik. Setiap kita berhak dan wajib memberi kontribusi bagi negeri ini, namun hanya dengan bersinerji Indonesia yang berkualitas, berkelas dan berjaya dapat terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun