Eksekusi hukuman mati para terpidana narkoba terus menjadi perdebatan. Sorotan tidak hanya datang dari aktivis hukum dan hak asasi manusia (HAM) dalam negeri, namun dunia internasional. Presiden Perancis mengancam menarik duta besarnya dari Jakarta, bahkan PM Tony Abbot sudah merealisasikannya. Tuan Franscois Solanne ini juga berencana menjalin koalisi dengan Pemerintah Brazil dan Australia untuk menindak Indonesia secara diplomatik atas eksekusi tersebut.
Artikel ini tidak akan membahas pelaksanaan hukuman mati tersebut dari sisi hukum maupunHAM, namun mendekatinya dari sisi ekonomi. Berapa sebenarnya nilai nyawa manusia? Secara umum, nyawa manusia tidak ternilai harganya. Namun, dengan batasan tertentu, ekonom dapat menghitungnya melalui dua metode, yaitu menghitung potensi pendapatan yang hilang atau pendekatan probabilitas hilangnya nyawa seseorang.
Berdasarkan lost earnings, nyawa manusia dihitung atas potensi pendapatan bersih yang dapat dihasilkannya jika masih hidup. Sedangkan melalui probability of death, hidup manusia senilai dengan risiko kematian yang dihadapinya. Semakin tinggi risikonya semakin tinggi pula nilainya.
Lalu seberapa besar nilai nyawa para terpidana mati tersebut? Dan berapa pula nilai nyawa korban dari aktivitas mereka? Kita dapat menghitungnya, baik dengan metode pertama maupun kedua untuk setiap individu tersebut, terpidana dan korbannya. Kemudian hasilnya dibandingkan satu sama lain.
Survey nasional perkembangan penyalahgunaan narkotika tahun 2014 menunjukkan terdapat 4.1 juta jiwa rakyat Indonesia yang menjadi korban, jumlah yang sangat besar dibandingkan komunitas pelaku bisnis narkoba. Survey yang dilakukan oleh BNN ini juga memberi informasi bahwa akibat ulah para pengedar dan bandar narkoba, Indonesia mengalami kerugian sosial-ekonomi yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Jika pada tahun 2004, secara sosial-ekonomi bangsa kita dirugikan hingga Rp23.6 trilyun kemudian meningkat menjadi Rp48 trilyun pada tahun 2008. Dan jumlah ini diestimasi akan terus meningkat hingga Rp143,8 trilyun pada tahun 2020. Peningkatan sekitar 63 trilyun ini terdiri dari kerugian biaya pribadi sekitar 56 trilyun dan kerugian biaya sosial hampir 7 trilyun.
Fantastisnya angka-angka di atas menunjukkan begitu besarnya nilai nyawa manusia korban bisnis narkoba. Nilai tersebut belum memperhitungkan dampak rusaknya sebuah generasi, yang jika diperhitungkan maka kerugian bangsa dan negara kita nilainya jauh lebih besar lagi.
Membandingkan nilai beberapa terpidana dimaksud dengan terlindunginya jutaan masyarakat Indonesia dari kerusakan dan kerugian yang luar biasa. Kemudian menyelamatkan generasi muda yang merupakan modal pembangunan bangsa di masa depan. Maka, keputusan pemerintah mengeksekusi mati terpidana kasus narkoba tersebut dapat diterima oleh logika ekonomi.
Dalam setiap proses pengambilan keputusan, tidak mungkin dapat memuaskan semua pihak. Selalu saja ada trade-off yang harus dihadapi, tinggal pengambil keputusan ingin berpihak kepada kelompok yang mana. Keberpihakan ini tentu memiliki konsekuensi, justru bagaimana konsekuensi tersebut dikelola akan menjadi ukuran suksesnya sebuah keputusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H