Ntah sejak kapan Aku mulai tertarik dengan situasi politik. Mungkin karena tiada waktu tanpa suguhan informasi politik di negeri ini. Bangun pagi, sudah melihat berita perdebatan para politikus di televisi.
Saat menuju kantor, mencoba nyalain radio dengan harapan akan mendengar lagu-lagu sebagai penyemangat bekerja. Eh, malah mendapat sajian breaking news pertikaian antara tokoh publik di republik ini.
Ibu pertiwi memang sedang galau. Bagaimana tidak, sejak orde reformasi bergulir bangsa ini tidak semakin baik. Rakyat selalu disajikan informasi dan menghadapi kondisi yang tidak jelas. Keputusan yang selalu berubah-ubah. Inkonsistensi penerapan kebijakan. Seakan bangsa ini berjalan tanpa peta. Tidak tahu mau dibawa kemana bangsa ini.
Ternyata kondisi tersebut juga menular hingga tingkat bawah. Termasuk di kantor. Pagi si Bos bilang A, siangnya nyuruh B trus sore arahannya C. Setelah konsep maju, malah disposisinya kembali ke A.
Aku: “Gue heran, napa selalu berubah-ubah?”
Saya: “Apanya yang berubah? Kayak Power Rangers aja berubah?”
Aku: “Itu loh, kebijakan pimpinan. Jauh dari apa yang disebut konsisten. Nota
Gue mondar-mandir doang tanpa keputusan yang jelas.”
Saya: “Sebentar dulu, jangan cepat nyalahin pimpinan. Lu dah baca disposisinya
dengan benar?”
Aku: “Lah arahannya cuma teliti-pendapat. Trus Gue harus gimana?”
Saya: “Kalau begitu, Lu harus sampaikan beberapa alternatif kebijakan yang dapat
diambil. Dan di setiap alternatif didukung dengan pertimbangan yang jelas
dan disertai konsekuensinya.
Aku: “Tudia masalahnya, Bro. Bos tidak mau disajikan alternatif. Beliau inginnya
konsep keputusan sudah disajikan dari bawah.”
Saya: “Kok bisa? Bukannya pengambilan keputusan merupakan tugas seorang
pimpinan?”
Aku: “Pemimpin saat ini tidak berani mengambil risiko. Tapi doyan fasilitas.”
Saya: “Risiko itu selalu ada dari setiap keputusan yang diambil. Tidak bisa
dihindari, tapi dapat dikelola. Dan itu merupakan seni dari kepemimpinan.
Hal terpenting adalah keputusan tersebut memiliki justifikasi dan
argumentasi yang kuat.”
Aku: “Kesadaran seperti itukan tidak dimiliki setiap pemimpin, Bro?”
Saya: “Itu bukan hanya untuk pemimpin tapi juga untuk yang dipimpin.”
Aku: “Loh, napa anak buah juga harus memahami hal tersebut?”
Saya: “Kepemimpinan itu bukan hanya bagaimana bersikap sebagai pemimpin,
namun juga bicara tentang sikap dan tindakan saat dipimpin.”
Aku: “Maksudnya sebagai anak buah Gue juga harus memahami konsep
kepemimpinan?”
Saya: “Bukan hanya paham, tapi juga berani melaksanakannya. Mayoritas anggota
sebuah organisasi atau institusi menghadapi kendala tersebut. Dalam segala
level manajemen, berhenti pada titik puas telah memahami konsep.”
Aku: “Bukannya kulturnya anak buah ikut apa kata Bos?”
Saya: “Menurut Gue itu keliru, Bro. Sebenarnya Indonesia punya kultur
kepemimpinan yang sangat komprehensif.”
Aku: “Apa itu…kok Gue belum pernah baca?”
Saya: “Itu dia yang Gue maksud, paham tapi tidak berani melaksanakannya
sehingga lupa. Padahal tersebut sejak sekolah dasar telah diajarkan kepada
kita.”
Aku: “Udah jangan banyak ceramah, coba refresh lagi deh ingatan Gue.”
Saya: “Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan negeri ini dengan sangat bijak
mengajarkan pada kita tentang kepemimpinan. Ing Ngarso Sung Tulodo,
Ing Madyo mangun Karso dan Tut Wuri Handayani. Gue memaknainya
saat berada pada posisi top management jadilah panutan dan teladan, ketika
memegang jabatan middle management berperilakulah sebagai pemberi
semangat dan saat masih berada pada level staf bertindaklah sebagai
pendorong.”
Aku: “Benar juga Lu, Bro…falsafah tersebut jika dilaksanakan akan menciptakan
harmoni yang luar biasa. Gue akan mulai dari diri sendiri.”
Saya: “Keberanian yang luar biasa. Konsisten ya, Bro…”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H