"Wei, tabunganmu sudah berjumlah satu setengah juta rupiah, Cad," ujar temanku lagi. "Sudah banyak itu."
"Astaga, uangmu sudah sepuluh juta rupiah lebih!" ujar temanku lagi di saat yang berbeda, sebulan kemudian.
"Kenapa uangmu bisa banyak begitu?" tanya temanku.
"O, itu. Belum lama ini ada dua pamanku yang bertamu ke rumah," jawabku. "Yang pertama, datang dua minggu lalu. Dia memberikanku uang tiga juta rupiah. Sedangkan yang kedua, datang minggu lalu. Dia memberikanku uang dua juta lima ratus ribu rupiah.  Mereka itu pelaut. Jadi, uangnya banyak. Mereka tidak pernah memberikan aku dan adikku uang hanya ratusan ribu rupiah  selalu bernilai jutaan rupiah."
"Wah, hebat dong kalau begitu, pamanmu," komentar temanku.
Karena sering menemaniku menabung, temanku itu jadi ketularan suka menabung. Meski  uang tabungannya tidak besar, tetapi aku jadi senang. Ternyata, yang kulakukan berdampak positif padanya.
Kesukaan menabung ini tetap kulakukan hingga aku kuliah. Bahkan, saat ayahku sebagai anggota polisi memasuki masa pensiun, aku baru duduk di kelas 3 SMA. Namun, aku tidak khawatir, apakah aku bisa kuliah atau tidak. Karena uang yang kumiliki cukup untuk membiayai kuliahku hingga selesai, yaitu ratusan juta rupiah. Hampir mendekati setengah M. Luar biasa, bukan?
Selama ini, selama menabung, dari uang tabunganku yang sudah banyak sejak kelas 1 SMP, hanya sedikit yang kuambil. Itu pun kugunakan untuk hal yang memang sangat kuperlukan. Misalnya, beli komputer.
Akhirnya Aku Tertarik Ikut Asuransi
Saat kuliah, ada seorang agen asuransi yang menawarkan kepadaku untuk ikut asuransi. Â Namun, aku tidak mau. Aku meragukannya. Pokoknya, aku tidak tertarik.
Pada suatu hari, seorang tetanggaku yang adalah seorang pemuda, datang kepadaku. Darto namanya. Ia rupanya seorang agen asuransi. Ia menawarkan kepadaku untuk ikut asuransi. Rupanya, pemuda tetanggaku itu sama dengan seorang agen asuransi yang pernah datang kepadaku. Keduanya berasal dari sebuah perusahaan asuransi yang sama. Karenanya, aku tidak tertarik.