Mohon tunggu...
r. t.  mangangue
r. t. mangangue Mohon Tunggu... Dosen - Peduli terhadap permasalahan yang dialami masyarakat yang dicurangi, , dibully, dibodohi, dll.

Penggemar berat catur, penulis, ghost writer, pengajar, dan pecinta sastra Dapat dihubungi di alamat email: r_mangangue@yahoo.com. Facebook: richard mangangue. Tinggal di Manado.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Indonesia Direndahkan dan Disepelekan

7 Juli 2020   23:00 Diperbarui: 7 Juli 2020   23:14 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sangat menarik tulisan Kurnia JR yang dimuat di rubrik Bahasa Kompas (21/9) dengan judul "Bahasa Lisan". Menurutnya, tidak banyak wartawan media elektronik, televisi dan radio, yang bahasa lisannya bagus atau memenuhi standar dan kaidah bahasa baku, efektif, dan ekonomis ketika menyampaikan laporan langsung. 

Dia menduga bahwa para wartawan itu hanya cacat dalam bahasa lisan, sedangkan bahasa tulis mereka lebih baik. Penulis yang piawai dan indah dalam tulisan pun tidak niscaya sempurna dalam ragam lisan. Ini disebabkan oleh kemalasan melatih keselarasan lidah dengan pikiran.

Bila bahasa lisan yang memenuhi standar dan kaidah bahasa yang baku dianggap lebih sulit daripada bahasa tulis, tentu hal ini dapat dimaklumi. Dalam bahasa lisan, penutur atau penyiar dalam ucapan atau dialog spontan hanya memiliki sedikit waktu untuk berpikir dan memilih kata-kata yang tepat yang memenuhi standar dan sesuai dengan kaidah bahasa yang baku ketika membuat kalimat.

Ini jelas berbeda dengan bahasa tulis. Dalam bahasa tulis, kita memiliki banyak waktu untuk berpikir dan memilih kata-kata yang tepat yang memenuhi standar dan sesuai dengan kaidah bahasa yang baku dalam merangkai sebuah kalimat.

Untuk menguasai bahasa tulis, kita harus mempelajari tata bahasa yang baku. Sedangkan untuk menguasai bahasa lisan, kita harus menguasai dengan baik terlebih dulu bahasa tulis. Bila hanya sampai di sini, tentu ini tidak cukup.

Selain belajar dari orang-orang yang piawai dalam berbahasa lisan, kita pun perlu mempraktikkannya setiap hari. Ini mungkin yang kurang atau sama sekali tidak kita lakukan.

Kita terlalu meremehkan bahasa kita, karena menganggap bahasa Indonesia sangat mudah. Kita menganggap bahwa dalam berbahasa untuk menyampaikan maksud hati kita kepada lawan bicara yang terpenting adalah dia mengerti kalimat yang kita ucapkan.

Sementara kalimat yang amburadul atau tidak mengikuti kaidah bahasa yang ada tidaklah menjadi masalah. Yang penting, sekali lagi, lawan bicara kita memahami apa yang kita maksudkan.Itu memang benar. 

Namun, dalam berbahasa kita harus senantiasa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan sehingga kita menjadi piawai dan lawan bicara yang mendengarkan ucapan kita menjadi terbuai dan memotivasi dirinya untuk melakukan hal yang sama. Sehingga, berkeinginan menjadi salah satu anggota dari kelompok intelek dalam berbahasa Indonesia.

Namun, sangat mengejutkan ketika isteri penulis menceritakan pengalamannya terkait penggunaan bahasa itu, tepatnya Bahasa Indonesia. Saat itu seorang guru sebuah SMA terkenal di Manado hendak memfotokopi soal-soal untuk menyeleksi mereka yang mendaftarkan diri untuk menjadi murid di SMA tersebut. Karena sudah saling kenal, istri saya bertanya padanya.

"Soal-soal mata pelajaran apa saja yang hendak difotokopi?" Lantas dia menjawab, "Mata pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa Inggris."

"Mengapa tidak ada ada soal Bahasa Indonesia?" tanya isteri penulis kembali.

"Semua calon murid sudah bisa berbahasa Indonesia. Jadi, itu tidak perlu," sahutnya kembali.

Bukan main. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita benar-benar dianggap rendah dan disepelekan. Pengalaman yang menyedihkan itu terjadi setahun silam. 

Saat itu, penulis memberikan ujian mata kuliah Bahasa Indonesia pada mahasiswa sebuah sekolah tinggi teologi di Manado. Salah seorang mahasiswa yang ikut ujian berasal dari Filipina. Nilai Bahasa Indonesia yang tertinggi justru diraih oleh mahasiswa yang berasal dari Filipina itu.

Benar-benar mengecewakan bagi seorang guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia pula. Mahasiswa asing justru lebih baik nilainya daripada mahasiswa Indonesia dalam mata kuliah Bahasa Indonesia.

Untuk belajar bahasa Indonesia dari buku, diperlukan sumber atau buku dengan teks yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bila tidak, orang yang belajar langsung dari sumber itu akan senantiasa membuat kesalahan. Ini terjadi pada seorang pendeta yang berasal dari Filipina. 

Pendeta itu sudah lama tinggal di Indonesia. Ia telah mengikuti pendidikan teologi untuk S-2 dan S-3 di Indonesia. Bahasa Indonesianya sangat baik. 

Namun, Pendeta itu sering menggunakan kata, "daripada" sedangkan seharusnya adalah kata, "dari". Ini sebenarnya bukan kesalahan Pendeta tersebut tetapi adalah sumbernya yang menjadi referensi bagi dirinya untuk belajar Bahasa Indonesia, yaitu teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Kesalahan penyakit "daripada" ini sangat mendominasi teks Alkitab.

Agar bahasa lisan Indonesia sama hebatnya dengan bahasa tulis, maka kita harus melatih dan mengasahnya dengan menggunakan Bahasa Indonesia di rumah, di kantor, dan di tempat-tempat lain-lain yang mendukung. Namun, faktanya, kita malu dan enggan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa "resmi" dalam percakapan di tempat-tempat tersebut.

Sebaliknya, kita sangat memuji setinggi langit mereka yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa percakapan di dalam keluarganya, di kantor, dan lain-lain.

Lalu, siapa yang akan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik? Pelajaran sangat berharga itu harus menjadi cambuk untuk membenahi penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di kalangan anak bangsa. Kalau bukan kita yang bangga terhadap bahasa nasional kita, siapa lagi?

(SUARA KARYA, 19 Januari 2013)

Oleh Richard  Tuwoliu  Mangangue

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun