"Mengapa tidak ada ada soal Bahasa Indonesia?" tanya isteri penulis kembali.
"Semua calon murid sudah bisa berbahasa Indonesia. Jadi, itu tidak perlu," sahutnya kembali.
Bukan main. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita benar-benar dianggap rendah dan disepelekan. Pengalaman yang menyedihkan itu terjadi setahun silam.Â
Saat itu, penulis memberikan ujian mata kuliah Bahasa Indonesia pada mahasiswa sebuah sekolah tinggi teologi di Manado. Salah seorang mahasiswa yang ikut ujian berasal dari Filipina. Nilai Bahasa Indonesia yang tertinggi justru diraih oleh mahasiswa yang berasal dari Filipina itu.
Benar-benar mengecewakan bagi seorang guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia pula. Mahasiswa asing justru lebih baik nilainya daripada mahasiswa Indonesia dalam mata kuliah Bahasa Indonesia.
Untuk belajar bahasa Indonesia dari buku, diperlukan sumber atau buku dengan teks yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bila tidak, orang yang belajar langsung dari sumber itu akan senantiasa membuat kesalahan. Ini terjadi pada seorang pendeta yang berasal dari Filipina.Â
Pendeta itu sudah lama tinggal di Indonesia. Ia telah mengikuti pendidikan teologi untuk S-2 dan S-3 di Indonesia. Bahasa Indonesianya sangat baik.Â
Namun, Pendeta itu sering menggunakan kata, "daripada" sedangkan seharusnya adalah kata, "dari". Ini sebenarnya bukan kesalahan Pendeta tersebut tetapi adalah sumbernya yang menjadi referensi bagi dirinya untuk belajar Bahasa Indonesia, yaitu teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Kesalahan penyakit "daripada" ini sangat mendominasi teks Alkitab.
Agar bahasa lisan Indonesia sama hebatnya dengan bahasa tulis, maka kita harus melatih dan mengasahnya dengan menggunakan Bahasa Indonesia di rumah, di kantor, dan di tempat-tempat lain-lain yang mendukung. Namun, faktanya, kita malu dan enggan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa "resmi" dalam percakapan di tempat-tempat tersebut.
Sebaliknya, kita sangat memuji setinggi langit mereka yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa percakapan di dalam keluarganya, di kantor, dan lain-lain.
Lalu, siapa yang akan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik? Pelajaran sangat berharga itu harus menjadi cambuk untuk membenahi penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di kalangan anak bangsa. Kalau bukan kita yang bangga terhadap bahasa nasional kita, siapa lagi?
(SUARA KARYA, 19 Januari 2013)
Oleh Richard  Tuwoliu  Mangangue