Mohon tunggu...
rama wibi
rama wibi Mohon Tunggu... lainnya -

i'am nothing but i want to be something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Kita Jadi Pengecut...

24 Juni 2014   19:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:17 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rasanya udah pada bosen bukan dengan postingan yang beredar didunianya maya ini, antara no 1 dan no 2 pendukungnya alamakjaannn, pada pinter-pinter banget saling membuka kebusukan pesaingnya, mencari-cari ini dan itu agar statusnya di-like oleh ratusan temannya, disharing, lalu terus dan terus mencari-cari lagi aib dan kenistaan para pesaingnya. Yang intinya sebenarnya gue gak melihat keuntungan bagi si empunya akun akan masa depannya, timses bukan, sanak famili bukan. Kader yang seperti inilah yang menjadikan demokrasi negeri ini gak akan pernah bersaing dengan negara-negara manapun, ya mungkin berkat didikan VOC dijaman dahulu bangsa ini akan terus mempraktekkannya dalam segala bidang sampai kiamat, mungkin. Politik pecah belah hanyalah secarik kertas yang dibawah oleh para meener-meener Belanda ke NKRI ini, namun sebelumnya adalah Niccolò Machiavelli yang mendengungkannya semenjak lama. Bagi Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik.

Lalu apa hubungannya dengan tagline judul postingan gue ini, baca pelan-pelan argumen dari Machiavelli tersebut, disana kita akan tahu jika agama dan moral hanyalah alat untuk melanggengkan sebuah nama yaitu "KEKUASAAN" bukan yang lain. Kalau mau inget-inget ada berapa sih partai islam dinegara ini?? lebih dari 3 kan, atau yang paling gampang ada berapa sih majelis-majelis yang mengatasnamakan islam dinegara ini? banyak juga kan. Dari sekian banyaknya partai dan majelis adakah yang masing-masing dedengkotnya mau saling duduk bersama bukan atas nama logo dan individu untuk mengangkat moral bangsa ini? jawabannya gue rasa tidak. Semuanya mempunyai cara sendiri-sendiri AGAR dinilai menarik oleh orang lain dan semakin banyak pengikutnya. Begitupun dengan pengikutnya, maka ketika sang ketua memaklumatkan sesuatu sudah pasti para pengikutnya akan sehidup-semati memperjuangkan maklumat tersebut meski harus dengan tetes darah terakhir. Bodoh kah??? silahkan jawab sendiri saja.

Mungkin kadar keimanan gue masih kurang hingga sulit membedakan/mengetahui mana yang bathil dan mana yang haq, mungkin pula kuota aqidah gue masih belum bisa mencapai level 4G masih sebatas EDGE atau 3G. Tapi bagi gue gak masalah karena saat melihat para pemangku kedudukan baik di partai politik islam maupun majelis-majelis -yang katanya- islam lebih mementingkan mencari nama dibandingkan harus menyatukan umatnya dan saling bekerja sama itu lebih hina dibandingkan level keimanan dan aqidah gue yang masih minim ini. Dan lihatlah sekarang saat NKRI ini ingin memilih pemimpin barunya, semuanya saling berlomba-lomba untuk meninggikan capresnya masing-masing, seolah-olah "mendewakan" atau kata yang lebih tepatnya "mentuhankan" ya kalian-kalianlah yang membuat sang capres pilihan kalian seperti tuhan, seolah tak pernah berdosa, tidak pernah salah, selalu hebat dan benar, bukankah definisi tuhan seperti itu. Dan secara sadar atau tidak, orang-orang yang seperti itu notabene-nya mempunyai kadar keimanan yang lebih tinggi dari gue, namun pola pikirnya masih sangat rendah seperti para pelaku pedofil di JIS sana, maaf bukannya menghina tapi apa yang sering kalian share menunjukkan sekali loh kalau kalian lebih "mentuhankan' sang capres dibandingkan kemaslahatan bangsa NKRI ini.

Kalau boleh berandai-andai, gue pengen NKRI ini dipimpin sama seseorang yang tidak sempurna dalam segala hal namun benar-benar menjadi pemimpin yang tidak hanya sekedar bagi-bagi kursi mentri, melanggengkan proposal usaha diNKRI ini, memudahkan jalan birokrasi tanpa adanya peraturan atau politik balas jasa, MESKI ITU BERASAL DARI AGAMA SELAIN ISLAM. Gue tau kok dosa, seperti yang gue kutip di keempat surat yang memberikan penjelasan tentang hal itu.

"Q.S.Al-Maidah: 51: yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."

"Q.S.At-Taubah: 23: yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim."

"Q.S.Ali Imran: 28: yang artinya: "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)."

"Q.S.Al-Maidah: 57: yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman."

*Tenang ayat itu gue ambil dari google kok, bukan dari otak gue sendiri kan kadar keimanan gue masih minim jadi mana inget ayat-ayat tersebut.*

Hukum dilarangnya mengangkat orang-orang Non-Muslim sebagai pemimpin karena adanya illat (alasan), yaitu adanya dampak negatif bagi agama dan umat Islam. Selama pemimpin Non-Muslim tersebut diyakini mendatangkan keburukan atau kemudharatan, maka hukum memilihnya tidak boleh. Sebaliknya, bila keyakinan adanya bahaya itu tidak ada, maka hukumnya boleh.

Namun, coba lihat deh ketika para pemangku jabatan di NKRI ini yang hampir 80% berasal dari agama yang se-aqidah, dapatkah kita menyimpulkannya sendiri?? atau ketika para alim ulama dan habib sudah mempunyai pengikut yang banyak, dapatkah kita memberi kesimpulan yang secara nalar?? atau yang lebih hebat lagi, ketika para ustad-ustad saling bergontok-gontokkan hanya untuk menguatkan sebuah fatwa, kita juga dapat menyimpulkannya bukan??

Jika ada yang bilang ini balik lagi ke individu masing-masing, mohon maaf yang ngomong seperti itu bodohnya melebihi para penjahat pedofil yang masih berkeliaran di NKRI ini, iya gue tau semuanya balik lagi ke individunya tapi mboknya sebuah organisasi baik besar maupun kecilkan mempunyai cita-cita luhur untuk menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik dan bermartabat baik secara agama maupun moral, lalu ketika ada oraganisasi yang sebagian besar anggota didalamnya tidak bisa mencerminkan cita-cita tersebut apakah kita lantas membelanya dengan balik ke individu masing-masing.

Dan gue berandai lagi, jika para partai islam di negara ini bersatu gue yakin bisa menang kok, toh nyatanya pada ngimpi pengen kekuasaan semua ya akhirnya seperti sekarang ini. Gue tau no 1 dan no 2 mempunyai ciri khas masing-masing, dan ketakutan para muslim yang membela no 1 jelas adanya karena tidak ingin DKI 2 menjadi DKI 1, gue tau itu. Namun saat melihat tindak tanduk NKRI yang selalu mengatasnamakan sebuah agama dan ras, maka tidaklah heran jika gue pengen para tokoh agama tersebut dikasih pelajaran JIKA ADA PEMIMPIN YANG DILUAR DARI AQIDAH MEREKA. Toh gak ada yang salah dengan pemimpin yang diluar aqidah kita, bukan gue membela. Tapi jika amanah yang diberikan saja tidak pernah ada yang kompeten untuk menjalankannya apakah pantas kita menjadi ambigu untuk tetap mendukungnya.

Dan Machiavelli menjelaskan dari awal jika, apapun kekuasaannya akan tetap diperjuangkan meski berlandaskan agama dan moral untuk menjadi alatnya, gue tidak menyalahkan hal itu, yang gue salahkan dan sesalkan adalah ketika para pendukung dan kadernya juga ikut memenangkan kekuasaan tersebut tanpa melihat emblem agama dan moral yang sudah tertera disebuah kartu lantas menjadikan dirinya sebagai orang yang pengecut hanya mementingkan kekuasaan tanpa mendahulukan yang haq.

~r4,20140624~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun