Politik memang sulit untuk ditebak. Bahkan sampai detik terakhir untuk mengambil keputusan pun kadang masih belum dapat ditebak. Idealisme kadang mudah untuk berubah demi menggapai satu kepentingan. Entah itu kepentingan jangka pendek maupun kepentingan jangka panjang.
Jika ada politisi yang mengatakan demi bangsa dan negara, perlu dikaji ulang pernyataannya. Setidaknya perlu waspada, jangan - jangan itu hanya menvalidasi kepentingannya sendiri atau bahkan jawaban atas situasi politik terkini. Namun yang pasti politik tidak pernah kaku seperti batu tetapi cair seperti air.
Idealisme sebenarnya hanya milik aktivis tulen yang tidak pernah terpengaruh rayuan jabatan maupun uang. Aktivis yang tidak pernah mau ambil bagian dalam pemerintahan maupun partai politik. Kalau sudah menjadi bagian dari pemerintahan maupun partai politik dapat dipastikan seorang aktivis akan berbeda idealismenya dari masa lalunya.Â
Mau dengan pembelaan apapun, jabatan maupun kedudukan menarik semua orang. Uang akan mengalir deras ke kantongnya. Belum puja - puji dari para pendukungnya yang entah tulus maupun hanya lip service saja.Â
Anies adalah sosok aktivis yang berhasil menarik partai politik untuk menggandengnya dalam kontestasi politik. Walaupun tidak pernah mau menjadi kader partai politik namun daya tarik Anies sangatlah diperhitungkan. Dan karena keterlibatannya dalam kontestasi politik maka permainan politik pun mulai mahir dimainkannya. Tak ayal menggandeng kelompok garis keras pun pernah dijalankannya saat Pilgub Jakarta 2019. Termasuk menikmati issue sara yang menguntungkannya. Idealisme aktivisnya tampak sekali tanggal dari kehidupannya.
Namun yang menarik justru tindakkannya tersebut menarik partai politik untuk menggandengnya termasuk saat ini PDIP. Partai yang jelas - jelas memiliki idealisme kebangsaan yang tegas dan anti kelompok garis keras justru ingin menggandeng sosok Anies yang pernah menikmati issue yang diluar nalar kebangsaan saat itu.Â
Perubahan UU Pilkada oleh Mahkamah Konstitusi menjadikan syahwat politik PDIP tertarik untuk menggandeng sosok kontoversial untuk melawan hegemoni penguasa yang ingin menguasai Pilkada 2024. Bagaimana pun PDIP butuh menampilkan sosok yang sekiranya dapat menjadi lawan tangguh Cagub usungan koalisi penguasa.
Bisa dikatakan ini adalah langkah politik antara benci dan rindu. Benci karena mengusung sosok kontoversial bagi pendukung mereka namun rindu karena sosok kontroversial ini memiliki elektabilitas tinggi yang sangat memungkinkan untuk menjadi lawan tangguh koalisi besar.
Yang menarik adalah pernyataan Ibu Ketua Umum yang mengharuskan Anies untuk harus menjadi kader terlebih dahulu sebelum dicalonkan partainya. Tidak ingin lagi kecolongan seperti saat Jokowi dicalonkan maka syarat kali ini akan lebih ketat. Padahal dahulu juga Jokowi merupakan kader dari bawah namun tetap saja kecolongan. Maka mungkin kali ini ibu ketua umum ingin menerapkan syarat yang jauh lebih ketat lagi.
Apakah Anies akan mau menerima syarat tersebut ? Bisa jadi watak yang mudah memanfaatkan momentum akan diambilnya seperti saat pilkada Jakarta dahulu. Dan momentum ini sangat menguntungkannya untuk memenangkan Pilkada 2024 ditengah kegelisahan masyarakat akan permainan politik yang terus berusaha mengotak-atik konstitusi. Jika momentum ini tidak diambil sepertinya kerugian bagi masa depan politiknya.
Bagi PDIP mengambil Anies sebagai Cagub juga dapat menjadi bumerang bagi citra partai yang selama ini tegas terhadap nilai kebangsaan. Bagi pendukung Ahok juga sangat menyakitkan. Namun kalau melihat elektabilitas Anies yang tinggi bisa jadi menarik bagi PDIP untuk memukul telak lawan politiknya.