Mohon tunggu...
RINALDI RINALDI
RINALDI RINALDI Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang FLASHPACKER

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Catatan Kecil "Perjalanan Mengunjungi Suku Baduy Dalam"

21 September 2013   18:26 Diperbarui: 28 Maret 2016   10:22 10291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah beberapa tahun berlalu saya mengunjungi Suku Baduy Dalam, tetapi rasa rindu dan kagum akan keberadaan dan nilai-nilai kehidupan yang dipegang suku itu tidak pernah luntur tergerus waktu. Setelah sempat saya tulis beberapa tahun lalu, kembali dalam tulisan ini saya ceritakan pengalaman perjalanan saya mengunjungi perkampungan Suku Baduy Dalam. Dalam tulisan ini tidak banyak yang berubah dari tulisan saya beberapa tahun lalu.

Meskipun rasa kantuk masih bergelayut di Sabtu pagi itu, namun saya berusaha bangkit dari kasur ketika jam alarm berbunyi pukul 5.00. Segera saya jalani ritual pagi, yaitu melakukan 'waterisasi ragawi' alias mandi. Hari itu saya bersama sekumpulan travelers atau orang-orang yang mempunyai hobi 'kluyuran' mengadakan acara 'Trekking to Baduy'. Kami berencana mengunjungi Perkampungan Suku Baduy Dalam. Suku Baduy atau 'Orang Kanekes' adalah suku asli masyarakat Banten. Kelompok suku ini tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Keberadaan Suku Baduy Dalam masih terisolasi dari masyarakat modern. Meskipun demikian, mereka tidak menutup diri untuk dikunjungi oleh masyarakat modern. Berkunjung ke komunitas suku Baduy Dalam dijadikan salah satu objek wisata budaya maupun untuk penelitian sejarah di daerah Banten. Saya berjalan kaki menuju stasiun Commuter Line yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal saya. Pagi itu suasana stasiun cukup ramai oleh anak-anak yang akan berangkat sekolah. Tidak lama kemudian datanglah kereta yang saya tunggu, dan sayapun segera naik. Di dalam kereta telah penuh penumpang sehingga saya harus berdiri hingga tiba di tujuan.

Tiba di Stasiun KA Tanahabang, saya segera naik menuju ruang tunggu untuk berpindah kereta api. Stasiun Tanahabang merupakan stasiun yang melayani pemberangkatan kereta-kereta ke arah barat Jakarta, seperti Serpong, Rangkasbitung, Serang, dan Merak. Di ruang tunggu rupanya sudah berkumpul rekan-rekan travelers. Diantara mereka tampak juga Ipung, sang tour leader kita, dan saya langsung melambaikan tangan kepadanya untuk memberitahu kalau saya sudah datang. Pukul 08.00 kereta api yang kami naiki bergerak meninggalkan stasiun Tanahabang. Cukup bersih dan sejuk kereta ini. Kurang lebih ber-20, ada yang sambil melakukan 'absorbsi nutrisi padat' alias sarapan, di dalam kereta saling berbagi cerita tentang perjalanan-perjalanan yang pernah kami lakukan sebelumnya. Akibat kurang istirahat semalam, saya sempatkan untuk memejamkan mata sejenak. Hampir 2 jam perjalanan kami ketika akhirnya tiba di tujuan, yaitu Stasiun Rangkasbitung.

Pada masa lampau, stasiun Rangkasbitung merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Banten. Rangkasbitung yang ketika itu merupakan kota industri pertanian sangat bergantung pada kelancaran arus perputaran transportasi untuk membawa hasil perkebunan dan pertanian ke Batavia, dan itu bisa diatasi dengan keberadaan stasiun Rangkasbitung. Sisa-sisa kegiatan pergerakan ekonomi itu sampai kini masih dapat dijumpai, seperti banyak sayur-mayur yang diangkut KA, termasuk hewan ternak untuk dijual di Jakarta. Uniknya, pada masa lampau kereta-kereta yang melewati jalur ini biasa diberhentikan di sembarang tempat oleh para petani dan beberapa warga yang tempat tinggalnya cukup jauh dari stasiun untuk naik kereta. [caption id="attachment_289862" align="aligncenter" width="384" caption="Sebagian rombongan berfoto sejenak di Stasiun KA Rangkasbitung"][/caption] Di stasiun ini kami berjumpa dengan rombongan lain yang juga akan ke Perkampungan Suku Baduy Dalam. Kami kemudian berjalan kaki menuju tempat parkir angkutan umum yang terletak di belakang stasiun. Sampai di terminal ternyata kami sudah ditunggu oleh minibus yang akan membawa kami selanjutnya. Kami segera naik ke dalam minibus itu, tetapi ternyata jumlah kursi yang tersedia tidak cukup sehingga beberapa orang dengan sukarela menjadi 'atapers' atau duduk di atas atap.

Dari stasiun, kendaraan kami menuju terminal kota Rangkasbitung untuk membayar retribusi. Kami melihat masyarakat kota Rangkasbitung cukup sibuk beraktivitas di pagi itu. Keluar dari terminal, kendaraan kami mengarah ke luar kota. Hamparan ladang diantara liukan jalan yang naik-turun menjadi suguhan selama dalam perjalanan ini. Sesekali kendaraan kami melewati perkampungan penduduk. Rumah-rumah di pedesaan Lebak ini kebanyakan memiliki teras atau beranda yang dibuat cukup tinggi, kira-kira 1 meter di atas tanah. Teras itu berfungsi sebagai balai-balai yang dimanfaatkan untuk bercengkerama bagi anggota keluarga sambil berbaring. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam, akhirnya kami sampai di terminal Ciboleger. Ciboleger merupakan desa perbatasan dengan wilayah Baduy Luar dimana kendaraan hanya diperbolehkan sampai disini. Di terminal ini kami turun dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Beberapa rekan menyempatkan diri makan siang di warung, termasuk saya. Rekan yang lain ada yang belanja air mineral dan makanan di outlet jejaring minimarket yang saya sendiri kaget, ternyata ada juga di daerah ini. Saya berpikir, barangkali tidak lama lagi kompetitor utamanya juga akan membuka outlet disini, mungkin disebelahnya. [caption id="attachment_289892" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana terminal Ciboleger yang sepi. Tampak di kejauhan minibus yang membawa kami dari Stasiun Rangkasbitung."]

137976521148442574
137976521148442574
[/caption] Jam menunjukkan pukul 13.00, Ipung memberi komando untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini perjalanan kami dilakukan dengan 'goyang lutut' alias jalan kaki. Rombongan kami ditemani oleh beberapa orang Suku Baduy Dalam yang telah menunggu kedatangan kami di Ciboleger, mereka bertugas sebagai penunjuk jalan. Saya jadi teringat kisah Sir Edmund Hillary warga negara Selandia Baru dan Tenzing Norgay, seseorang dari Suku Sherpa yang menjadi pemandu Edmund, melakukan pendakian puncak Everest. [caption id="attachment_289894" align="aligncenter" width="300" caption="Foto bersama TIM PENJEMPUT di terminal Ciboleger. "]
13797654441270714455
13797654441270714455
[/caption] Perjalanan atau trekking dimulai dari sini. Beberapa orang mengidentikkan trekking dengan istilah 'mendaki gunung', tetapi ada pengertian yang lebih spesifik tentang arti trekking. Trekking adalah perjalanan panjang yang dilakukan dengan berjalan kaki di daerah yang biasanya tidak ada sarana transportasi tersedia disana, pada jalur yang belum dipetakan, serta di lingkungan yang menantang, mungkin berbukit atau pegunungan. Memasuki perkampungan Baduy Luar, kami disuguhi deretan rumah-rumah panggung di samping kiri dan kanan jalan setapak mendaki dan berbatu yang ditata rapi sebagai pijakan kaki. Tampaknya perkampungan yang menjadi 'pintu gerbang' ini memang sengaja dikelola sebagai kawasan wisata. Di sini terdapat banyak penjual cenderamata, makanan, dan bahkan minuman bersodapun ada. Para wisatawan juga disuguhi atraksi menenun kain yang memang menjadi kegiatan sehari-hari para perempuan Suku Baduy. Suku Baduy Luar tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik maupun peralatan rumah tangga modern, seperti piring dan gelas plastik, kasur dan bantal. Pakaian yang dikenakan laki-laki Baduy Luar berwarna hitam dengan ikat kepala biru tua, yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang-kadang mereka mengenakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. Kami terus berjalan, sesekali rekan yang membawa kamera foto mengabadikan aktivitas masyarakat disini. Keluar dari perkampungan pertama, kami melewati hamparan ladang yang cukup luas. Ladang ini tadinya berupa hutan yang telah ditebangi dan dibakar kayunya kemudian dijadikan area bertani. Hal ini telah terjadi selama ratusan tahun. Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah bertani 'padi huma'. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, madu hutan, serta dari menebang pohon. [caption id="attachment_289895" align="aligncenter" width="300" caption="Berjalan menyusuri jalan berbatu yang tertata rapi di Perkampungan Wisata Baduy Luar."]
13797656671453866453
13797656671453866453
[/caption] Kami terus berjalan, terus mendaki bukit-bukit yang beberapa diantaranya cukup tinggi, menuruni lembah yang curam, menyusuri jalan setapak, dan juga menyeberang sungai. Diantara sungai yang kami seberangi terdapat jembatan, baik yang terbuat dari bambu, atau bahkan ada jembatan unik yang terjalin dari akar pohon. Tetapi, sering pula kami melewati sungai tanpa jembatan sehingga dengan terpaksa menyeberang ditengah arus. Sesekali kami beristirahat di perkampungan-perkampungan yang dilewati. Aktivitas masyarakat Baduy hampir sama, yaitu para lelaki berladang dan para perempuan menenun kain. [caption id="attachment_289896" align="aligncenter" width="300" caption="Istirahat di beranda rumah salah satu rumah warga Suku Baduy Luar."]
13797658101786318190
13797658101786318190
[/caption] Benar-benar perjalanan yang menguras stamina kami, menyusuri 'trek' yang sangat menantang. Menyadari tidak lagi termasuk dalam kelompok '29 my age', sayapun akhirnya menjadi 'kloter' terakhir dalam rombongan yang seringkali berhenti untuk beristirahat sambil menikmati hamparan panorama perbukitan Banten selatan. Sayapun mempunyai waktu lebih banyak untuk mengobrol dengan salah satu pemandu kami, Aldi, nama yang cukup 'modern'. Aldi banyak bercerita tentang kehidupan masyarakat Suku Baduy Dalam. [caption id="attachment_289898" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan setapak diantara bukit dan lembah yang harus dilalui. Tampak pemandu yang sudah berjalan jauh di depan. "]
13797660651399287827
13797660651399287827
[/caption] Ciri khas orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua yang ditenun dan dijahit sendiri serta memakai ikat kepala putih. Tidak seperti Baduy Luar, masyarakat Baduy Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka, antara lain tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi, tidak diperkenankan menggunakan alas kaki, dan larangan menggunakan alat elektronik. [caption id="attachment_289899" align="aligncenter" width="300" caption="Istirahat sambil melihat area hutan yang dibakar untuk dijadikan ladang tanaman padi."]
1379766312898211332
1379766312898211332
[/caption] Rasa ingin tahu Aldi tentang 'kehidupan luar' cukup tinggi, dia banyak bertanya tentang diri saya dengan aktivitasnya. Ketika saya tengah bercerita, ia menyela, "Saya pernah nonton film di bioskop". Saya tanya, "Dimana?". "Di Bintaro", sahut Aldi. Rupanya Aldi termasuk diantara beberapa orang Suku Baduy Dalam yang sudah akrab dengan modernitas, namun tetap memegang aturan adat. Dia pernah pergi ke Jakarta untuk mengunjungi 'teman-temannya' ataupun berjualan madu hutan. 'Teman-teman' yang dimaksud Aldi adalah para travelers yang pernah atau bahkan sering mengunjunggi masyarakat Suku Baduy Dalam. Ketika pergi ke Jakarta Aldi berjalan kaki dengan menyusuri rel kereta api sebagai panduan arah. Hari menjelang petang, jam menunjukkan pukul 17.45, saya tiba di Perkampungan Suku Baduy Dalam. Rekan-rekan 'kloter depan' yang tiba lebih dahulu rupanya baru saja selesai mandi di sungai yang mengelilingi perkampungan ini. Di wilayah Baduy Dalam, para pendatang dilarang untuk mengambil gambar dan menyalakan alat komunikasi. Melihat air sungai yang jernih, dan untuk menghilangkan kotoran dan rasa pegal di sekujur badan, saya segera melepas pakaian dan langsung menceburkan diri ke sungai itu. Saya menikmati dinginnya air sungai sambil membersihkan badan tanpa sabun, shampo, dan pasta gigi yang memang dilarang dalam aturan adat masyarakat ini, pun berlaku bagi pendatang. Sebuah kekayaan alam dan budaya kita yang tersembunyi telah telah saya nikmati. Selesai mandi, saya segera menuju rumah tempat kami menginap. Rombongan kami dibagi ke dalam dua rumah, satu untuk para pria dan satunya lagi untuk para wanita. Di dalam rumah, kami melepas lelah sambil mengobrol. Rumah masyarakat Baduy Dalam jauh lebih sederhana dibandingkan rumah Suku Baduy Luar. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya terbuat dari daun kering, tanpa ornamen-ornamen yang menghiasinya dan tanpa jendela sebagai ventilasi. Sedangkan rumah Suku Baduy Luar masih terdapat ornamen-ornamen yang menghiasinya. [caption id="attachment_289903" align="aligncenter" width="300" caption="Beriringan menyeberangi jembatan bambu di atas sungai yang bening. "]
13797675921057540443
13797675921057540443
[/caption] Keluarga pemilik rumah merupakan pasangan aki-nini (kakek-nenek) yang tinggal bersama anak laki-laki dan menantunya serta tiga orang cucu. Malam itu, nini dan menantunya tengah merebus talas untuk santap malam keluarga mereka. Keluarga ini berkumpul di dalam rumah sambil mengamati polah-tingkah kami yang sedang bersenda gurau sambil menyantap mie instan. Barangkali suasana 'gaduh' seperti ini jarang mereka rasakan, apalagi di malam hari. Di tengah suasana hiruk-pikuk, tiba-tiba seorang muncul dari balik pintu. Ternyata aki yang baru pulang dari ladang sambil membawa tumpukan kayu bakar. Aki terkejut mendapati rumahnya penuh dengan orang-orang gaduh dan terang-benderang oleh lampu baterai yang kami bawa, namun tetap saja 'cuek' dengan kehadiran kami. Malam itu aki dan nini menyelesaikan pekerjaannya menganyam bambu yang membentuk sebuah 'bakul' sebagai wadah nasi, sementara cucu-cucu mereka masih asyik mengamati kami. Sementara kami bercengkerama di dalam rumah, di luar kami mendengar rombongan travelers lain juga tengah mengobrol di teras. Kami juga mendengar pedagang asongan sedang menjajakan dagangannya. Menariknya, para pedagang ini bukan masyarakat Suku Baduy. Mereka adalah warga sekitar Baduy, misalnya Ciboleger, yang mengikuti perjalanan kami hingga ke perkampungan Suku Baduy Dalam sambil menjinjing barang dagangannya. Mereka menjajakan souvenir mulai dari kaos hingga kerajinan tangan. Malam menjelang larut, kamipun beranjak tidur. Lampu-lampu baterai kami matikan, api di dalam tungku dimatikan oleh nini. Dinginnya malam merasuki tubuh kami. Jaket kamipun tidak mampu menahan dinginnya malam. Kebersahajaan, keluguan, dan kemurnian masyarakat Baduy Dalam bisa saya rasakan. Sebuah bentuk kehidupan yang sangat dekat dengan alam. [caption id="attachment_289901" align="aligncenter" width="300" caption="Para perempuan Baduy Luar sedang bercengkerama di beranda rumah."]
13797667381394101119
13797667381394101119
[/caption] Geliat Kehidupan Pagi di Baduy Dalam Sayup-sayup terdengar beberapa orang bercengkerama di luar, ternyata hari mulai terang. Nini mulai menyalakan api di tungku. Beberapa orang mulai menjalani 'ritual pagi'. Rekan-rekan travelers pergi ke sungai untuk 'bermetabolisme'. Para pedagang berkeliling menjajakan dagangannya. Saya bersama beberapa rekan menjelajahi perkampungan Baduy Dalam. Para lelaki Baduy mulai berangkat ke ladang. Bocah-bocah dengan golok terselip di pinggangnya bermain bersama teman-temannya. Laki-laki Baduy Dalam memang sudah 'akrab' dengan golok sejak kecil. Setelah sarapan pagi, Ipung memerintahkan untuk segera bersiap-siap pulang. Pukul 08.00, kami berkumpul di halaman depan rumah untuk berdoa agar diberi kelancaran dalam perjalanan pulang. Selesai berdoa, kami berpamitan dengan seluruh penghuni rumah yang kami tinggali dan kemudian melanjutkan perjalanan pulang. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan dalam perjalanan pulang ini karena kami menempuh medan yang hampir sama ketika berangkat, melewati hutan yang masih alami, melintasi bukit-bukit yang tinggi, lembah yang curam, jalan setapak, dan menyeberangi sungai. Sesekali kami beriringan dan berpapasan dengan masyarakat Baduy yang hendak pergi ke ladang. [caption id="attachment_289900" align="aligncenter" width="300" caption="Laki-laki Baduy Luar sehabis menebang kayu hutan untuk dijual ke kota dengan cara dihanyutkan ke sungai."]
13797665611687404141
13797665611687404141
[/caption] Akhirnya kurang lebih pukul 13.00 saya tiba di Desa Cibeo, dimana minibus kami telah menunggu untuk mengantar ke stasiun Rangkasbitung. Kami memang mengambil jalur yang berbeda dengan ketika berangkat dimana titik penjemputan bukan lagi di Ciboleger. Setelah berpamitan dengan para pemandu dan berfoto bersama-sama, maka berangkatlah kami menuju Rangkasbitung. Dengan wajah-wajah yang tampak kelelahan, baik yang ada di dalam maupun para 'atapers', kami tertidur di mobil. Pukul 14.30 kami tiba di stasiun Rangkasbitung. Ternyata kereta yang akan membawa kami ke Jakarta mengalami keterlambatan. Saya memanfaatkan waktu tunggu tersebut untuk mencari makan siang. Dan akhirnya pukul 4.00 sore kereta yang membawa kami pulang ke Jakarta diberangkatkan. Suatu perjalanan yang memperkaya batin kami, mengetahui dan merasakan kehidupan masyarakat Suku Baduy Dalam. Sebuah bentuk kehidupan yang bersahaja dan sangat dekat dengan alam yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ibukota negara kita. [caption id="attachment_289902" align="aligncenter" width="300" caption="Seorang bocah Baduy Luar bermain sembari menunggu ibunya yang sedang menumbuk padi di dalam saung."]
13797668971090461988
13797668971090461988
[/caption]

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun