Mohon tunggu...
Robin Viriyaputra
Robin Viriyaputra Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan

Masih Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wani Piro

13 Oktober 2016   15:03 Diperbarui: 13 Oktober 2016   15:10 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wani Piro, yang kurang lebih punya arti berani berapa atau berani bayar berapa, merupakan sebuah ungkapan atau jargon yang sering kita dengar baik dalam konteks bercanda maupun ketika sedang berhadapan dengan berbagai urusan birokrasi. Nah, karena masalah "wani piro" ini juga lah beberapa hari ini perhatian masyarakat tertuju pada kegiatan operasi tangkap tangan atau OTT praktek Pungli yang mendapat atensi dari Presiden Joko Widodo dan Kapolri dengan hadir secara langsung ke lokasi OTT tersebut.

Kalau mau dibahas sedikit praktek pungli yang tertangkap basah beberapa hari yang lalu sedikit banyak tentu tidak terlepas dari soal wani piro. Apalagi soal tertangkap tangan tersebut berkaitan dengan ijin yang akan dikeluarkan oleh pejabat dari instansi tersebut. Maka dimulai dari wani piro supaya ijin dapat dikeluarkan, wani piro supaya ijin cepat selesai atau wani piro supaya tidak ada perlu berbelit dengan birokrasi dan wani piro dengan berbagai alasan lainnya akhirnya terjadilah transaksi yang bagi si pemberi dianggap pungli sedangkan bagi si penerima mungkin saja menganggapnya rezeki. 

Mungkin di benak masyarakat kenapa pungli bisa terjadi dimana-mana, baik dimulai dari strata terendah dalam suatu birokrasi hingga strata tertinggi. Dan perlu juga kita sadari bahwa praktik pungli bukan hanya terjadi di birokrasi pemerintahan saja tetapi juga terjadi di sektor swasta dan juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Lalu sering juga kita dengar ada kecaman, ada hujatan, ada keberatan dan ada protes terhadap masalah pungli yang terjadi. Namun sepertinya pungli tetap saja terjadi dengan dan masyarakat terkesan "maklum" terhadap hal-hal seperti itu. Rasa "maklum" atau permisif yang ada di masyarakat kita dapat muncul bahkan mungkin dalam diri kita sendiri lebih disebabkan adanya kepentingan kita sendiri yang diuntungkan dengan adanya pungli.

 Sebagai contoh dalam hal agar dalam mengurus sesuatu hal kita tidak perlu antri sehingga kita oke-oke saja ketika ada oknum yang meminta sejumlah uang atau barang sebagai ganti kenyamanan yang kita peroleh. Akhirnya hal-hal seperti inilah yang dikatakan sebagai peluang-peluang bagi oknum yang lihai untuk memanfaatkan situasi baik karena akses, kekuasaan maupun jabatan.

Dengan realita yang ada tersebut, maka pungli amat sulit dihilangkan apabila tidak ada sebuah terobosan yang setidak-tidaknya meminimalkan peluang terjadinya pungli. Menurut hemat penulis, soal Pungli adalah soal orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Nah. tentu saja kalau ada niat menghilangkan atau meminimalkan pungli maka "kesempitan" tersebut haruslah dapat dihilangkan atau diminimalisir. Contoh saja dalam keseharian ketika masyarakat hendak melakukan kewajibannya membayar pajak kendaraan, sudah pemandangan yang umum kalau antrian sangat panjang, manusia berjubel. 

Nah, dalam kondisi demikian biasanya pelaku-pelaku pungli yang lihai membaca situasi akan memanfaatkannya dengan memberikan tawaran agar urusan dapat dipercepat dan dipermudah tanpa perlu antri dan berjubel asal cocok saja biayanya alia wani piro. Tentu saja tawaran ini akan menggiurkan orang-orang yang malas antri, yang masih banyak pekerjaan, yang sudah capek dan yang ingin cepat selesai. Karena ada "kesempitan" maka pungli terjadi. 

Mengatasi contoh kasus tersebut maka pengambil kebijakan atau pimpinan institusi saya kira harus memiliki kebijakan untuk dapat menutup celah-celah tersebut. Misal saja untuk mengurangi antrian dapat diperbanyak loket atau diperbanyak alternatif pilihan pembayaran sehingga masyarakat tidak perlu antri. Saya pikir dengan hal-hal seperti ini dalam contoh kasus tersebut setidak-tidaknya peluang-peluang bagi oknum untuk mengambil keuntungan atau melakukan pungli dapat diminimalkan sehingga pelayanan menjadi optimal dan masyarakat juga puas. Kalau urusan cepat selesai dan mudah, saya pikir orang akan malas meladeni pungli-pungli. Karena seperti hukum ekonomi, ketika tidak ada permintaan (atau sepi permintaan) maka penawaran juga akan turun dengan sendirinya.

Akhir kata, Kalau segalah hal atau urusan dapat dipermudah buat apa dipersulit.

Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun