Berbicara Sejarah adalah berbicara kefanaan. Sejarah selalu barubah seiring waktu yang terus bergulir dalam ketidakabadian. Perubahan menempatkan sejarah selalu bergelut dengan masa lalu (past). Kita (manusia) pemeran utama sejarah sadar akan kefanaan tersebut, namun disisi lain tetap gandrung pada keabadian/kesejatian. Karena kegandruangan akan kesejatian itu, manusia menghadirkan romantisme lewat simbol-simbol yang mewakili sejarah tersebut untuk mengabadikan moment yang telah terjadi (past).
Salah satu tabiat menghadirkan kesejatian itu terlihat pada perayaan momen-momen penting yang diabadikan pada tanggal penting. Misalnya, hari pendidikan nasional pada tanggal 2 mei. Hari kemerdekaan RI pada tanggal 17 agustus. Hari Pahlawan pada tanggal 10 November. Atau, hari-hari besar keagamaan seperti, hari raya idul fitri, idul adha, kenaikan isa al-masih, natal, tahun baru (hijriyah, Masehi, dan Imlek) dan masih banyak lagi. Tanggal-tanggal penting yang biasanya diprogramkan menjadi libur Hari Besar Nasional itu merupakan salah satu bukti romantisme sejarah. Di balik tanggal tersebut ada peristiwa penting terjadi, momentum bermakna, dan kisah berharga. Tanggal-tanggal penting tersebut merupakan sebuah simbol yang disarikan dari sekian peristiwa dan kejadian. Karena itu, serangkaian simbol yang mewakili peristiwa tersebut terus direproduksi dan kembali dihadirkan dalam kekinian. Realitas yang telah lalu seolah kembali diulang. Keabadian sekali lagi dan sekali lagi dirayakan.
Sebuah proses menghadirkan kembali realita melalui simbol-simbol yang merepresentasikan realitas sejarah yang telah lalu sebenarnya bukanlah sebuah pengulangan sejarah, namun menciptakan sebuah sejarah baru. Manusia kembali mereproduksi simbol-simbol sejarah.
Menghadirkan keabadian lewat tanggal penting itu dilakukan melalui simulasi-simulasi yang mewakili realitas yang lalu (past). Serangkaian ritual (simulasi) dilakukan untuk bisa mendekatkan dan menjadi representasi kesejatian tersebut. Manusia seolah dibawa kembali kepada realitas yang sudah terjadi (past), kembali merasakan, merayakan, menjiwai yang kemudian bisa diejawantahkan dalam hidup.
Seperti yang disinggung di awal, hari-hari penting tersebut bukanlah simbol kosong, pajangan belaka, atau sebuah manekin tak bernyawa. Namun merupakan bukti penghayatan nilai transendental tertentu. Simbol-simbol sejarah itu tentu saja tidak sekedar imanen, namun ada nilai transenden yang dihayati, ada makna yang disarikan. Hari pendidikan adalah saksi perjuangan memerdekaan manusia lewat pendidikan. Hari Kartini adalah sari perjuangan kesetaraan gender perempuan ditengah dominasi budaya patriarki. Idul adha adalah kisah klimaks dari roman panjang pengrobanan Ibarahim demi Tuhan dan sesamanya, dan lain-lain.
Jika dilihat satu persatu, semua tanggal penting itu sebenarnya mengandung pesan yang sama. Yakni, penghormatan dan menjujung tinggi nilai kemanusiaan. Idul fitri mengajarkan saling memaafkan sesama demi perdamaian, idul adha mengajarkan pengorbanan untuk sesama. Belum lagi tahun baru (hijriyah, masehi, imlek) membangun ngirroh baru untuk kesejahteraan manusia. 17 agustus bermakna kemerdekaan adalah nilai hakiki dan azazi yang harus dimiliki manusia. Hari pendidikan adalah pemberdayaan terhadap sesama dan memanusiakan manusia, Natal sebuah moment kelahiran seorang pemimpin umat manusia serupa dengan semangat maulid Nabi. Hari buruh adalah hari anti perbudakan dan pembelaan kepada yang lemah (proletar), dan lain-lain.
Simbol Kosong
Seiring dengan perjalanan manusia dan perkembangannya, rituil menghadirkan sejarah pun dimutilasi lalu dimodifikasi melalui teknologi untuk memproduksi simbol baru. Daya kreatifitas menciptakan simbol-simbol baru terus berlanjut. Dibuat replika simbol, dari simbol menjadi simbol aksen, menjadi dobel aksen dan seterusnya. Sebuah proses metaforis mencipta realitas baru itu seringkali bersifat hiperbolis. Reinterpretasi dilakukan berulang-ulang dan kembali ditafsirkan. Terjadi sebuah dialog budaya kekinian antara realita yang lalu (past) dengan realitas yang sedang terjadi. Sehingga, muncul pemaknaan yang baru. Namun, realitas yang disokong oleh teknologi informasi seringkali mementahkan makna sejarah. Realita yang disokong teknologi infomasi lebih mengedepankan formalitas, artifisial, dan kemasan. Realitas tersebut mengikis makna, mengurangi rasa. Bahkan, beberapa realitas yang termodifikasi tersebut seringkali membeberkan ironi-ironi yang bertentangan dengan nilai yang diusung sejarah.
Teknologi informasi mensyaratkan produksi realitas yang cepat dan bertubi-tubi. Karakteristik semacam itulah yang pada akhirnya menirkan waktu berrefleksi, menyempitkan ruang-ruang kontemplasi. Pada akhirnya kita terbiasa dengan rituil tanpa memahami maknanya dan maknanya ditanggalkan begitu saja. Sehingga, nilai sejarah menjadi hambar. Karena itu, lantas simbol-simbol menjadi kosong dan kehilangan maknanya, nilai reflektifnya, nilai kontemplatifnya. Tiba-tiba simbol tersebut seolah parfum yang menguap yang lama-lama lenyap isinya. Yang tertinggal hanya botol artistiknya. Simbol itu kosong dan kehilangan ruh transendennya. Tanggal-tanggal itu hanya terpampang dan menjadi sekedar rituil wajib.
Alhasil, meskipun kita mempunyai berbagai tanggal-tanggal penting, namun tidak menjadi penting. Karena kita telah kehilangan esensi transenden dari tanggal penting itu. Yang ada, kita tidak pernah absen merayakan hari-hari penting, namun selalu luput memahami dan mengejawantahkan nilainya dalam kehidupan nyata. Muncul sebuah jeda antara simbol dan maknanya. Bahwa merayakan hari penting atau mereproduksi simbol belum tentu sekalian menyadang dan mempraktekkan nilainya. Sehingga, momen (tanggal-tanggal penting) tersebut benar-benar menjadi manekin atau pajangan belaka. Maka, khotbah-khotbah atau momen-momen reflektif yang dibangun tak jua mengembalikan nilai transenden itu. Lihat saja faktanya, intoleransi dan perilaku tidak dialogis berupa penyerangan jamaah ahmadiyah, penyerangan temanggung, penyerangan di Al-Ma’hadul Islami di Pasuruan, korupsi membudaya, politik penuh trik-intrik, pornografi, dan segala macam tindakan yang tidak lagi bisa mencerminkan penghargaan terhadap kemanusiaan yang meruhi tanggal-tanggal penting itu.
Maka, apakah serangkaian tanggal penting yang ada tidak lagi mengajarkan apa-apa pada kita. Hingga semua fakta yang kita lihat sangat berbalik dengan semangat yang dibawa tanggal-tanggal penting tersebut. Atau bukan tanggal-tanggal itu yang salah, hanya saja kita sudah bermetamorfosis menjadi bangsa yang gagal mensarikan sejarah?
Kini, kita kembali bertemu dengan moment bulan ramadhan yang penuh dengan berkah dan menjadi media yang tepat untuk kontemplasi atau refleksi diri. Dan, pada tanggal 17 romadhon yang merupakan moment nuzulul qur’an nanti akan bertemu dengan 17 Agustus yang merupakan hari kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hari tersebut adalah rekam sejarah perjalanan kemanusiaan. Maka, saat itulah kita kembali diuji seberapa mampukan kita memahami makna-makna sejarah yang telah kita abadikan dalam tanggal-tanggal penting tersebut. Mari bersama kita renungkan! marhaban ya ramadhan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H