m]Pernikahan ku dengannya, jujur sj murni 100% bukan karena cinta atau karena atas dasar suka sama suka. Semua ini kujalani karena aku kasihan dengannya. Kasihan karena sudah sampai usia segitu gak satu pun perempuan yang mau dengannya.
Hamidun, dialah laki-laki yang telah ku pilih menjadi suamiku, suami yang tak pernah aku cintai. Hanya rasa iba yang muncul ketika aku melihat wajahnya. Kami menikah karena rasa baktiku kepada orang tuaku satu-satunya yaitu ibuku. Ibuku dan ibu Hamidun berteman semenjak dulu..sejak zaman setelah kemerdekaan. Mereka selalu bersama-sama, hingga masing-masing diantara mereka telah menemukan pendamping hidup. Dan kala mereka masih bersama, mereka pernah berjanji kelak ketika mereka telah mempunyai anak, akan mereka jodohkan.😗
Nah, atas dasar janji mereka itulah saat ini kami bersama.
Pernikahan kami kala itu berlangsung meriah, maklumlah Hamidun adalah anak satu-satunya dikeluarganya. Sedangkan aku, memiliki dua saudara yaitu satu kakak dan satu adik.
Pernikahan kami memang perpaduan dua budaya yaitu budaya melayu dan jawa.
Aku, kala itu saat pertama kali bertemu dengan Hamidun sangat tidak menyangka kalau nantinya kami akan dipersatukan oleh suatu ikatan yang sakral dan suci. Aku, sangat tidak menyukai laki-laki ini, ujarku di dalam hati. Sangat jauh dari laki-laki idamanku.
"Duh, tampang dan gayanya ndeso, bukan tipe cowok yang rapi dan bening seperti keinginanku.😀
Bersih, dan wangi layaknya pria kantoran seperti di kota- kota besar😁. Entahlah, mungkin karena berasal dari kampung dan jauh dari maraknya kemajuan teknologi, Hamidun terlihat sangat culun di mataku.
Hal ini berbeda jauh dengan diriku, yang aduhai lah dari ujung rambut sampai ujung kaki.😝
" Pantas saja, Mak die tak menulak saat emaknye bilang nak pesunting Nisa sebagai bininye, Nisa kan cantik begini, Mak". Nisa yang rugi ye, Mak" sambil menahan rasa sesak yang hinggap di dadaku. Pilu aku mengingatnya.
Hari demi hari, bulan bahkan tahun pun terlewati. Hamidun sangat baik dalam memperlakukanku. Namun, entahlah tetap saja aku belum dapat merangkai rasa yang telah kurajut, bersama setiap hitungan detik yang ku lalui bersamanya.