“Kamu fokus aja sama kuliah kamu disana. Emak disini ga sendiri, banyak yang jagain. Jadi kamu ga usah khawatir, aku pasti akan terus kabarin perkembangan emak, do’ain aja yang terbaik buat emak.”
“Tapi Kai, aku takut nanti hal buruk terjadi sama emak.”
Benar saja, 3 hari berturut-turut kondisi emak tak juga membaik, akhirnya keluarga Kai memutuskan untuk membawa emak Yuna ke rumah sakit untuk di tindak lanjuti. Sampai-sampai emak harus dilarikan ke ICU karena gula darahnya yang drop membuatnya sesak, sulit untuk bernafas.
Sudah hampir seminggu emak Yuna terbaring dengan selang yang melekat memenuhi sebagian tubuhnya. Itulah pemandangan yang setiap hari Yuna lihat ketika video call dengan Kai. Sepertinya setiap kali video call Yuna tidak pernah tidak menangis, pasti saja selama video call hanya rengekannya yang terdengar.
Sampai pada Selasa malam, pukul 21.51 Kai menelepon Yuna.
“Yuna, jangan nangis dulu. Hey tenangin diri kamu. Dengerin aku baik-baik. Sekarang emak udah ga sakit lagi. Emak udah bisa makan enak, tidur emak udah nyenyak. Emak udah gaada beban sekarang, udah bisa senyum. Sekarang kamu harus kuat. Kamu harus ikhlas, ya. Besok pagi aku yang bakal jemput kamu. Tiketnya udah aku pesen barusan.”
“Gak! Gak mungkin! Kamu ngomong apa sih Kai! Jangan ngada-ngada deh! Emak masih ada kan? Kai jawab! Emak ga mungkin ninggalin aku sendiri. Kai aku mau pulang sekarang! Sekarang! Gimana pun caranya aku harus pulang sekarang juga! Aku mau liat emak! Emak masih ada! Aku mau pulang sekarang! Pokonya sekarang!” Yuna berteriak tiada henti-hentinya dengan nada yang gemetar.
Kepulangan pertama Yuna dari Solo menjadi mimpi paling buruk baginya, jika memang ini mimpi buruk. Yuna ingin sekali lekas terbangun, atau Yuna akan memilih untuk tidak pernah tidur. Agar mimpi buruk itu tidak terjadi. Tapi inilah kenyataan yang harus Yuna hadapi.
Ketika Yuna berharap emak menyambut kepulangannya dengan pelukan, belaian, bahkan ciuman. Kini malah bendera kuning yang melambai di depan rumahnya.
Ya, emak menyambutnya dengan dingin. Tidak ada kecup ataupun peluk. Emak hanya menyambutnya dengan baringan kaku di balik kain samping cokelat yang menutupi jasadnya.
Yuna hanya mampu mengguncangkan tubuh emaknya yang kaku, berharap emak bisa bangun seperti sedia kala yang lantas memeluknya. Tapi itu nihil, yang terjadi pada akhirnya Yuna harus menelan pahit rasanya ketika harus menyaksikan emaknya yang disholatkan hingga di tempatkan di tempat peristirahatan terakhirnya.
Ini mungkin menjadi penyesalan terdalam untuk Yuna. Dia tidak bisa menemani emak di saat-saat terkahirnya. Bahkan ini adalah kepulangan pertamanya semenjak Yuna melambaikan tangannya satu tahun yang lalu. Tapi Yuna berjanji di depan pelataran nisan emaknya, Yuna akan membuat emak tersenyum melihat Yuna sukses di kemudian hari, emak harus bangga dengan pencapaian Yuna.
Walaupun untuk kembali bermimpi rasanya sulit. Yang memenuhi kepalanya hanya memori bersama emak yang disusul dengan penyesalannya tidak pulang.