Nama saya Gama. Saya adalah seorang mahasiswa hukum. Seumur hidup saya, saya tidak memiliki minat atau hobi yang jelas. Saya selalu menganggap hidup saya datar dan membosankan. Cita-cita saya secara tidak langsung sudah  ditentukan oleh orang tua saya. Walau mereka bukan tipe orang tua yang benar-benar memaksa, namun mereka sudah memberi petunjuk-petunjuk jelas bahwa mereka menginginkan anak satu-satunya untuk menjadi seorang pengacara. Sejak saya kecil, mereka selalu membimbing saya untuk tertarik ke bidang hukum.Â
Ya, saya tidak menolaknya. Lagipula, saya merupakan pribadi yang dapat melakukan semua hal dengan baik. Saya dapat menggambar, bermain basket, mengerjakan matematika, menghafal undang-undang walaupun saya bukan yang terbaik dalam hal-hal tersebut. Namun seperti yang saya sudah katakan, saya tidak memiliki satu kegiatan tertentu yang saya cintai.Â
Tahun itu saya memasuki semester kelima saya. Apa yang saya rasakan? Tidak ada. Hanya hampa seperti biasanya. Seperti tidak memiliki alasan saya senang menjalani hidup atau hal yang membuat saya senyum, tetapi saya tidak apa-apa akan hal itu. Saya merasa baik-baik saja. Paling tidak, itu yang saya rasakan sebelum saya bertemu sahabat perempuan saya, Kiki.Â
Saya bertemu Kiki di gang dekat restoran tempat saya bekerja. Tidak terasa sudah 2 tahun lamanya sejak hari tersebut. Pada hari itu, saya berjalan ke arah restoran tempat saya bekerja ketika saya menoleh ke arah kanan saya dan melihat seorang perempuan berambut merah muda dan hijau sedang membuat grafiti pada dinding gang. Ia memakai pakaian yang penuh dengan warna berani dan mencolok serta motif yang eksentrik.Â
"Hei, hei! Berhenti merusak fasilitas umum! Apa yang kau kira kamu lakukan!" saya menegurnya. Perempuan itu tertawa dengan senyuman bebasnya dan berkata, "wahai anak kaku, ini adalah hal yang kulakukan untuk hidup." "Hah, apa maksudmu?" saya menjawab. " Ini pekerjaanku. Inilah wadah aku mengekspresikan perasaanku.Â
Inilah kegiatan yang aku paling cintai." kata perempuan itu. "Pekerjaan? Adakah pekerjaan seperti ini? Apakah pekerjaanmu ini pekerjaan yang pasti dan stabil? Apa kau tidak ragu dengan penghasilan dari pekerjaan seperti ini? Kalau boleh tahu, kuliah apa yang kamu ambil untuk memperoleh pekerjaan ini?"
Ia tertawa dan berkata, "Saya belum kuliah. Hei, tidak semua hal di dunia ini mengenai kepastian dan penghasilan bukan? Saya tidak melakukan ini untuk uangnya. Saya melakukan ini karena saya mencintainya. Inilah yang membuatku merasa hidup. Kau mengerti perasaan luar biasa ini bukan? Kalau kamu, apa yang membuatmu merasakan perasaan ini?" Sayapun heran kalau ada orang seperti Kiki di dunia ini.Â
Inilah pertama kalinya saya bertemu orang yang sangat berlawanan dengan kepribadian saya. Kamipun berbincang sebentar dan saya merasa mata saya telah terbuka olehnya. Akhirnya saya mengajaknya untuk makan bersama. Pada perjalanan pertama bersama Kiki  itu, saya melihat betapa bebas, lepas, santai, apa adanya, menyenangkan Kiki itu.
Di perjalanan itu, saya juga bercerita kepada Kiki bagaimana membosankannya hidupku yang tidak memiliki sesuatu yang saya senangi. Kiki sangat kaget dan tidak percaya akan hal itu. Iapun membuat janji kepada saya bahwa ia akan membantu saya menemukan jati diri saya. Pada hari itu, kami menjadi sahabat.
Sejak hari itu, Kiki membawa saya pergi untuk mencari jati diri saya setiap harinya. Ia membawaku terjun payung, membuat tanah liat,  bermain skateboard, bermain catur, mencoba karate, bermain gamelan, dan masih banyak lagi. Saya dapat melakukan semua hal yang Kiki berikan dan saya menikmati semuanya. Namun, tidak ada satupun yang saya benar-benar sukai. Kiki tidak menyerah. Kiki tetap yakin bahwa setiap orang pasti memiliki suatu hal yang membuat matanya berkilau ketika melakukannya, hanya saya belum menemukannya saja.Â
Setahun setelah saya dan Kiki bertemu, kami merayakannya dengan mengelilingi kota pada malam hari. Kiki membawaku berkeliling melihat seni-seni luar biasa yang ada di kota kami. Kami tiba di satu jalan dimana Kiki menemukan sebuah museum dan meninggalkan saya untuk masuk ke museum tersebut sebentar.Â
Saya mencari tempat duduk terdekat dan menunggu Kiki sambil duduk menikmati lampu-lampu kota. Di sebelah tempat duduk saya, ada seorang pengamen yang sedang asik bermain saxophone dan bernyanyi penuh dengan semangat. Sayapun tersenyum melihatnya mencintai apa yang ia lakukan. Saya menganggukan kepala dan menghentakan kaki menikmati bakat pria tersebut. Pria tua itu tersenyum lebar dan mengajak saya bergabung dengannya untuk menikmati musiknya.Â
"Jangan malu-malu, anak muda! Tidak usah kaku, aku bukan seorang juri!" katanya sambil tertawa. Saya heran apa yang ia maksud, apa yang ia minta saya lakukan. Bagaimanakah tepatnya cara menikmati alunan lagu. Pria tersebut sadar saya sedang kebingungan dan berkata dengan penuh semangat, "Bebaskanlah dirimu, biarkan badanmu mengikuti aluran lagu dengan sendirinya, nak! Bergeraklah seakan-akan kau seorang bintang!" Mata saya berbinar mendengar perkataannya.Â
Hatiku merasakan perasaan janggal yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Saya mulai membiarkan badan saya mengekspresikan sesuai yang badan saya mau. Mulai dari ujung jari saya, pundak saya bergerak secara perlahan, pinggang saya berayun dengan anggun.Â
Tanpa saya sadari, saya membiarkan musik mengambil alih badan saya, dan seketika saya merasa tidak ada orang lain di sekitar saya. Badan saya bergerak seperti hembusan angin yang lentur. Saya menutup mata dan tersenyum. Saya merasakan sinar yang terpancar dari diri saya selagi saya menggerakkan setiap bagian dari tubuh saya.Â
Saya membuka mata dengan hati yang tersenyum. Di saat itulah saya melihat banyak orang berkerumun mengelilingi saya. Musik berhenti, tidak ada yang berbicara, seakan waktu telah berhenti. Tiba-tiba, saya mendengar tepukan dan sorak-sorai yang luar biasa. Air mata turun ke muka saya, penuh dengan perasaan terharu. Ketika saya balik badan, berdirilah Kiki dengan matanya yang berkilau. Di sanalah Kiki berdiri dengan ekspresi bangga.Â
Air mata menguncur ke mukanya, dengan senyum terlebar yang pernah saya lihat di hidup saya. Ia menjatuhkan tasnya, berlari ke arah saya, dan memelukku serat mungkin. Kami berpelukan penuh dengan air mata kebahagiaan. "Aku berhasil, Kiki. Aku akhirnya berhasil. Aku menemukan apa yang aku cintai. Aku cinta menari!" saya berkata. Di saat itulah, saya menemukan hal yang paling berharga bagi saya di dunia ini. Dan satu tahun kemudian, pada hari ini, saya berdiri sebagai Gama Kanaya, penari kontemporer terbaik di Asia Tenggara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H