Mohon tunggu...
Ismail Adnan
Ismail Adnan Mohon Tunggu... -

Ingin mengurangi beban melaluli tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibuku Adalah Dewa

14 Mei 2012   03:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:20 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibu adalah symbol dari hakekat kemurnian cinta. Dekapannya selalu mebawa rasa aman, dekapan yang menyimpan rasa kasih dan cinta yang penuh ketulusan, dekapan yang dapat menghanyutkanku ke dasar lautan yang menyimpan sejuta keindahan. Ketika kuteringat saat-saat indah bersamanya, jantungku langsung berdetak keras, aliran darahku sesekali berhenti dan air mataku tak tertahan lagi, menetes, merembes hingga membasahi seluruh pipi. Beliau kuanggap sebagai sang permaisuri dalam istana kedamaian yang meneduhkan hati.

Saya teringat saat detik-detik terakhir keberangkatanku ke negri Para Nabi (Mesir), ia sempat bertanya kepadaku "nak, kenapa kamu bertekat bulat untuk menuntut ilmu ke negri non jauh di sana, apakah tidak cukup ilmu yang terdapat di pondok-pondok atau tempat perkuliahan terdekat?" Saya sempat tertunduk sejenak, sesekali menarik nafas dalam-dalam, lalu dengan penuh percaya diri kucoba menjawab pertanyaanya sambil mengharap ia tenang  " ibu' aku ke sana (Mesir) ingin menuntut ilmu setinggi-tinginya, saya harap ibu' tenang, percayalah…! Tujuanku cuma satu ibu,--menadah cahaya dan menerangi sekitarnya--tidak lebih dari itu". Setelah mendengar penuturanku beliau hanya terdiam sambil menepuk-nepuk punggungku, selang beberapa menit ia berkata lagi dengan nada menasehati "nak, mencari ilmu itu besar godaannya, sperti godaan lawan jenis dll. Saya harap kamu sabar ya nak…!!! karna kalau tidak cita-cita yang telah kamu susun apik akan hancur tak tersisa" begitulah nasehat yang selalu terniang dalam memoriku meski terkadang saya lalai akan pesan mulia tersebut.

Sekarang, setelah hampir dua tahun tinggal di Kairo serasa pesan-pesan mulia ibuku hampir semuanya hilang terkikis dan termakan waktu, saya sering melupakan niat pertama, saya sering malas, bolos dan boros. Setelah shalat Subuh tadi, saya bermimpi ibu memanggil-memanggilku dengan suara yang bernada sendu, tidak lama kemudian saya terbangun dan tanpa terasa air mataku menetes seperti gerimis tak diundang. Dalam hatiku bertanya-tanya, hingga sekarang masih belum menemukan jawabannya, tapi saya hanya bisa berucap"maafkan aku ibu yang selalu lalai akan pesan-pesan yg pernah kau selipkan dalam dada, kalau nafas masih dikandung jasad, saya berjanji akan membungkus dan mengikat pesan-pesanmu lalu kugantungkan di atas potongan hatiku".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun