Semenjak kita berdialog dengan Tuhan, ketika ruh sudah ditiupkan di dalam alam rahim maka Allah SWT tidak pernah menanyakan, kamu mau dilahirkan sebagai rasa apa, kamu mau lahir di negeri mana? dan kamu mau lahir dari orangtua siapa? Tiba-tiba saya lahir sebagai orang Indonesia, ingin saya katakan bahwa lahir menjadi orang Indonesia adalah takdir, tetapi menjadi orang baik adalah pilihan (M. Hatta Taliwang, Selamatkan NKRI).
Dari sudut pandang tersebut diatas dapat dikatakan bahwa yang membuat kita menjadi baik, lurus, positif adalah diri kita sendiri, karena memang kita punya kuasa yakni berusaha untuk berpikir objektif melalui pendekatan-pendekatan informasi yang berimbang, kritis dan mendapatkan informasi/berita melalui orang yang tepat. Tentunya jika ingin belajar agama harus berguru kepada seorang kyai, 'alim, faqih, dan ahli ibadah, pun demikian halnya jika ingin memahami science ya tentu kepada ahlinya bukan sebaliknya.
Hanya saja, hal yang sangat disayangkan bagi negara besar bernama Indonesia ini adalah hilangnya kepercayaan satu sama lain bahkan terhadap negara atau hukum cenderung diabaikan. Informasi yang berseliweran akhir-akhir ini termasuk di sosial media membuat penulis tidak tahan untuk sekedar membuat pernyataan dan sedikit mengoreksi terhadap pikiran-pikiran yang seolah menganggab bahwa bom atau terorisme selalu bagian dari makar alias rencana pemerintah.
Barangkali terhadap masyarakat yang pro terhadap isu radikalisme dan terorisme ini ada baiknya anda bisa berjumpa, berdialog dengan mantan pejuang gerakan teror ini, seperti Nasir Abbas, selaku mantan Mujahidin Afghanistan dan Moro, Filipina yang pernah menjabat sebagai ketua mantiqi 3 Jamaah Islamiyah. Anda yang menuduh bahwa terorisme itu adalah kepentingan penguasa juga bisa berdialog dan bertanya kepada Ali Imran pelaku yang terlibat dalam ledakan bom Bali begitu pun dengan Ali Fauzi, semua mereka bisa memberikan informasi yang valid terkait apa yang sudah mereka lakukan dan apa motif mereka dalam melancarkan aksinya. Hal demikian mereka sampaikan bukan lagi wilayah analisa tetapi pengalaman tentunya.
Selain terhadap mantan pelaku bom atau otak intelektual dibalik aksi teror diberbagai tempat di Indonesia tersebut, harusnya kita juga bisa mendengar dengan baik bagaimana kondisi sahabat-sahabat penyintas yang berusaha untuk tetap tegar dalam kegamangan, yaitu mereka para korban Bom, seperti terhimpun dalam Yayasan Isana Dewata Bali, Komunitas Forum Kuningan dan 58.
Tentu kita termasuk orang yang tidak punya nurani disaat orang lagi berduka dan bahkan ada yang kehilangan nyawa, dengan seenaknya tanpa beban kita melakukan sebuah postingan di sosial media dengan mengatakan bahwa kejadian itu merupakan rekayasa, apakah kita tidak memikirkan bahwa yang menjadi korban ini telah kehilangan harapan terhadap orang yang dicintainya, bahkan mereka yang korban luka secara fisik harus berjuang untuk mendapatkan haknya agar pemerintah memberikan bantuan pengobatan atau santunan karena mereka sama juga halnya dengan korban pelanggaran berat lainnya yang sampai sekarang belum teradvokasi.
Hal tersebut bagi penulis tentu sangat naif, pasca kejadian bom bunuh diri yang terjadi area terminal Kampung Melayu, Jakarta Utara, pada tanggal 26 Mei lalu. kita disubukkan dengan berbagai dalih bahkan mempolitisir keadaan, sangat disayangkan, karena bila yang ada dalam pikiran kita hanya politik akan membuat tumpul otak dan hilang rasa humanis sebagai bangsa yang harus melangkah jauh mengisi kebersamaan ditengah pluralitas ini.
Di Indonesia, secara realistis meningkatnya ancaman terorisme internasional dapat dilihat dari 35 polisi yang tewas dan 67 polisi lainnya luka-luka dalam perang melawan terorisme dari tahun 2004 hingga 2015. Disamping itu, dari 171 aksi terorisme yang telah diungkap selama tahun 2000-2015, sebanyak 1.064 terduga teroris telah ditangkap. Sementara 408 WNI diberitakan berada di Suriah, bergabung dengan ISIS. Lebih jauh lagi, di Indonesia terdapat 543 orang telah diidentifikasi menjadi kelompok inti, (Kajian: Menjembatani Teori dan Persoalan Masyarakat dalam Perumusan Kebijakan DPR RI, Sept 2016) bahkan yang lebih mengerikan lagi seperti dikutip Sekjen PBNU, Dr. Ir. Helmy Faizal Zaini, menyampaikan data Few Reseach Center bahwa 4 % dari populasi jumlah penduduk Indonesia membenarkan apa yang dilakukan oleh ISIS.
Tentu harus kita sadari bahwa terorisme ini adalah musuh bersama bagi semua agama, budaya dan etika yang harus dihentikan, ia merupakan extraordinary crime karena kenyataannya dalam setiap agama, ideologi dan tempat memiliki ruang untuk berlaku teror seperti misalnya ekstrimisme Sikh di India, Aum Shinrikyo di Jepang, Timothy McVeigh di Amerika, Irish Reoublican Army Irlandia Utara, MILF dan ASG di Filifina. (Reinharf Golose, Deradikalisasi Terorisme, Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput, YPKIK, Jakarta, 2010)
Dikutip dari buku yang diterbitkan oleh Lazzuardibirru menyebutkan, latar belakang gerakan radikal ini muncul adalah: 1. Rendahnya kualitas pendidikan, 2. Krisis identitas, 3. Keterbatasan ekonomi, 4. Keterasingan sosial budaya, 5. Akses politik dan keadilan, 6. Solidaritas umat yang salah kaprah, 7. Terbatasnya pengetahuan tentang politik global, 8. Doktrin agama yang disaalahpaham, 9. dan Ideologi Transnasional.
Tanggungjawab Pemerintah
Sudah semestinya pemerintah dapat mendeteksi penyebab setiap jaringan teroris yang ada sehingga deradikalisasi lebih epektif untuk dilakukan bukan semata-mata refresif angkat senjata karena itu justeru akan memunculkan masalah baru dengan aksi balas dendam terhadap aparatur negara. Hal ini bukan berarti kita tidak tegas tetapi melakukan pendekatan yang lebih humanis melalui budaya, dialog, kajian, melibatkan berbagai macam unsur stakeholder seperti misalnya Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, BNPT, dan lainnya.
Kita berharap bahwa kejadian-kejadian seperti Bom Bali di Sari Club, Paddy's Club dan Renon yang menewaskan 202 orang dan 325 tidak akan terulang lagi. Kita harus saling mengedukasi dan berdialog secara transfaran untuk menghindari pemahaman eksklusif tentang agama dan negara. Selanjutnya kita tentu berharap atas revisi UU. No. 31 Tahun 2014 dapat berjalan maksimal sebagai perlindungan dan bantuan terhadap korban bom, pun demikian UU tentang tindak pidana terorisme yang harus diprioritaskan dan disegerakan pembahasannya oleh DPR RI.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H