Tidak jarang juga terjadi "permainan" dalam sistem peradilan, di mana beberapa kasus besar korupsi akhirnya tidak pernah sampai ke meja hijau, atau jika sampai pun, para pelaku korupsi seringkali mendapatkan hukuman yang lebih ringan. Hal ini terjadi karena adanya kolusi antara penegak hukum dengan pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi.
5. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas
Ketika sebuah sistem tidak cukup transparan dan tidak memiliki mekanisme akuntabilitas yang jelas, maka celah untuk korupsi semakin lebar. Salah satu penyebab korupsi berkembang subur adalah kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, serta keputusan-keputusan administratif yang penting. Tanpa transparansi, sulit bagi masyarakat atau pihak independen untuk memantau dan menilai apakah keputusan-keputusan yang diambil telah dilakukan dengan adil dan tanpa adanya penyalahgunaan.
Misalnya, pengadaan proyek infrastruktur yang nilainya sangat besar sering kali tidak disertai dengan informasi yang memadai mengenai siapa saja yang terlibat, bagaimana proses pemilihannya, dan apakah ada mekanisme pengawasan yang memadai. Tanpa adanya transparansi dalam proses ini, pejabat yang terlibat bisa dengan mudah menyalahgunakan wewenangnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi, seperti menerima suap atau mengatur kontrak agar menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Akuntabilitas yang rendah juga memperburuk keadaan. Ketika tidak ada mekanisme yang memadai untuk meminta pertanggungjawaban dari pejabat pemerintah, mereka merasa bebas untuk melakukan korupsi tanpa takut dihukum atau kehilangan jabatan. Inilah sebabnya penting untuk membangun sistem yang memungkinkan setiap keputusan pemerintah bisa diawasi dengan ketat oleh masyarakat atau lembaga independen, dan memastikan bahwa setiap tindakan pemerintah dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas.
6. Krisis Moral dan Etika
Selain faktor struktural dan sistemik, krisis moral dan etika juga turut berkontribusi pada perkembangan korupsi. Ketika norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat tidak mengutamakan integritas dan kejujuran, maka korupsi akan dianggap sebagai hal yang wajar atau bahkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Di beberapa kalangan, korupsi dipandang sebagai sesuatu yang dapat diterima, dan bahkan menjadi norma dalam kehidupan sehari-hari.
Kurangnya pendidikan tentang integritas, kejujuran, dan akuntabilitas sejak dini juga memperburuk masalah ini. Tanpa adanya kesadaran yang tinggi mengenai bahaya dan dampak buruk korupsi, masyarakat akan sulit untuk berperan aktif dalam menanggulangi praktik tersebut.
Â
Budaya Koruptif pada Pemerintahan di Indonesia
Budaya korupsi di Indonesia mulai timbul sejak masa penjajahan Belanda, di mana pejabat kolonial sering menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Setelah kemerdekaan, meskipun ada semangat nasionalisme, praktik korupsi tetap ada karena kelemahan sistem pemerintahan yang baru terbentuk. Pada masa Orde Baru (1966-1998), budaya korupsi semakin meluas dan sistemik, dengan banyak pejabat yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi, terutama melalui hubungan patronase dan kolusi. Korupsi menjadi lebih terorganisir dan melibatkan banyak pihak, yang kemudian membentuk budaya korupsi yang sulit diberantas.