Mohon tunggu...
Lindrayana Manik
Lindrayana Manik Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Kehutanan Dinas Kehutanan Provsu

Orang biasa.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sarjana dan Realita

2 Maret 2015   13:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:17 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat pagi dari Tanah Borneo. Pagi ini saya kembali mencoba mengasah kemampuan saya untuk menulis. Walau harus mengetik dengan hanya sembilan jari, karena jari kelingking tangan kiri saya sedang off bertugas dikarenakan mendapat sayatan yang cukup dalam ketika kemarin saya sedang mencoba memotong sebatang dark compound chocolate dalam percobaan pertama membuat bolu kukus tiramisu. Agaknya pengorbanan kelingking tidak sia-sia karena bolu kukus saya menurut penilaian beberapa rekan rasanya enak. Entahlah ketika mereka bilang enak itu apakah memang benar tulus atau hanya sekedar penghiburan, tapi yang pasti sejauh lidah saya mengecap rasanya memang enak.

Baiklah, selesai bahasan mengenai kelingking yang tergores, karena sebetulnya itu bukan bahasan utama kita pagi ini. Saya tertarik pada suatu realita yang baru saja saya ketahui sekitar sehari yang lalu. Saya adalah seorang staff di sebuah perusahaan perkebunan yang berkantor pusat di Jakarta, saya ditempatkan di sebuah cabang di Kalimantan Timur. Disini saya dan teman-teman yang lain tinggal di komplek perumahan karyawan yang memang disediakan oleh perusahaan. Saya cukup puas dengan fasilitas yang diberikan, karena menurut saya, kami cukup dimanjakan dengan beberapa hal misalnya listrik gratis yang dioperasikan oleh dua buah generator berukuran besar, jadi ketika teman-teman di kota mengeluhkan pemadaman listrik yang dilakukan oleh PLN, bersyukur kami disini tidak merasakan itu. Listrik kami hanya akan padam jika solar habis. Kemudian air juga tidak perlu bayar, karena kami memanfaatkan air dari sungai sekitar dengan kondisi seadanya. Jika kondisi hujan, air akan berubah warna menjadi coklat pekat mirip seperti larutan kopi “cappuccino”, Anda tentu bisa membayangkannya bukan? Jika sudah seperti itu, operator mesin air akan menambahkan larutan tawas dengan konsentrasi tinggi agar air bisa berubah menjadi sedikit jernih. Namun itu bukan solusi yang mengatasi, karena ketika kami mandi badan akan terasa lengket dan rambut akan menjadi sangat kaku. Tapi mau bagaimana lagi, kami harus beradaptasi dengan situasi dan kondisi. Selain air tidak berbayar, kami juga mendapatkan tempat tinggal gratis seperti yang saya katakan diawal. Sebuah rumah dengan fasilitas lengkap dari TV dengan pemancarnya, lemari es, lemari pakaian, tempat tidur, sofa, meja makan, kompor gas, tabung gas, hingga dispenser semuanya telah tersedia. Kemudian yang lebih memanjakan lagi, adalah karena kami juga disediakan (maaf) pembantu rumah tangga (PRT) yang menyediakan makanan mulai dari sarapan hingga makan malam, mencuci dan menyetrika baju, bahkan merapihkan tempat tidur dan membersihkan rumah. Nyaman bukan?

Sekitar lima hari yang lalu ada beberapa Ibu dapur (sebutan kami untuk Ibu-ibu PRT tadi), yang baru bekerja di tempat kami, tiga diantaranya masih muda mungkin dibawah 25 tahun menurut prediksi saya dan ternyata benar. Meskipun masih muda dibawah 25 tahun, namun dua diantaranya sudah menyandang status (maaf) janda (bukan karena suami meninggal tapi karena memang pisah baik-baik menurut mereka). Nah untuk wanita muda yang satu lagi saya kurang tahu bagaimana ceritanya. Saya hanya tahu dia belum menikah. Namun kemarin pagi entah kenapa saya tertarik membahas “si wanita muda“ Ibu dapur yang baru. Saya mengobrol dengan rekan sekamar yang kebetulan di bagian personalia jadi pasti dia tahu sedikit cerita. Saya cukup terkejut ketika tahu bahwa “si wanita muda“ Ibu dapur yang baru adalah seorang Sarjana lulusan Fakultas Ekonomi. Akh entahlah, bagi saya hal itu sangat tabu. Bukan saya sombong atau ingin mencela. TIDAK SAMA SEKALI. Di satu sisi saya prihatin, apakah sesulit itu mendapatkan pekerjaan bagi seorang lulusan S1 sekarang ini, hingga akhirnya harus pasrah pada pekerjaan pembantu rumah tangga. Sayang sekali rasanya uang kuliah selama kurang lebih lima tahun, belum lagi aktivitas kuliah dan tetekbengeknya yang mengabiskan banyak biaya (saya bercermin pada saat saya dulu masih jadi mahasiswa), namun akhirnya berlabuh pada sebuah pekerjaan yang notabene seorang yang tidak sekolah pun bisa mengerjakannya. Saya tidak mau banyak berkesimpulan, apapun alasannya saya yakin si wanita muda sudah tahu betul pekerjaan seperti apa yang sedang dijalankannya sekarang, saya yakin dia juga paham akan tanggapan orang ramai tentang status pendidikan dan pekerjaannya yang sangat bertolak belakang. Di sisi lain, saya seperti tertampar oleh realita. Belakangan ini saya sering jenuh dengan pekerjaan dan ingin sekali resign. Pada akhirnya setelah melihat kenyataan dihadapan saya, saya urungkan niat. Bukan mudah mendapatkan pekerjaan di luar sana di tengah persaingan yang sangat ketat seperti sekarang ini. Ada hikmah yang saya ambil dan semoga Anda pun demikian setelah membaca tulisan ini.

Sebelumnya saya minta maaf apabila ada pihak yang tersinggung dengan tulisan ini. Tanpa bermaksud demikian, sekali lagi saya ucapkan maaf yang sebesarnya.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun