Mohon tunggu...
Sang Guru
Sang Guru Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Hidup Guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Karut Marut Guru Honorer

5 Juli 2019   08:54 Diperbarui: 5 Juli 2019   11:19 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kami dibayar maksimal Rp150 ribu sebulan. Itu pun kami peroleh tiga bulan sekali. Kadang tidak dibayar juga. Katanya diputihkan. Kalau kami ego, kami bisa saja keluar. Tapi kalau kami keluar, bagaimana dengan anak-anak?"

PELOPOR, kiranya itu kata yang terlintas jika menyoal peran guru dalam pendidikan. Sebagai garda terdepan dunia pendidikan, guru sudah selaiknya menyesuaikan kompetensinya seiring zaman. Namun jika dalam menjawab tantangan zaman tersebut, "upah" yang seharusnya bisa dijadikan ganjaran yang layak atas segala kerja kerasnya, malah menjadi persoalan tak berujung dan tak jelas arahnya.

Pernyataan Herlin Sanu, guru honorer provinsi NTT, di awal tulisan ini menjadi cermin mengenaskan terkait kesejahteraan guru honorer di daerah-daerah. Permasalahan gaji menjadi sorotan karena wewenang daerah yang tak berimbang.

Tak hanya masalah kesejahteraan, selama ini, tenaga honorer tidak memiliki jenjang karier yang jelas. Karena itulah, pemerintah membuka skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Proses rekrutmen dimulai bulan Februari lalu. Sayangnya, hingga saat ini belum jelas, siapa yang nantinya akan menanggung gaji PPPK. Sejumlah pemerintah daerah secara terbuka menyatakan belum menganggarkan.

Sesuai Pasal 16 Ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, gaji guru honorer dibebankan kepada APBD. Selain itu, pada bagian keterangan bab V poin 9 Peraturan Mendikbud nomor 7 tahun 2017, dilampirkan bahwa guru honorer hanya bersifat Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang bisa menggunakan maksimal 15 persen dari dana BOSNAS untuk sekolah negeri dan 20 persen untuk sekolah swasta.

Padahal, Direktorat Jenderal Pembinaan Guru Kemendikbud telah mengucurkan dana insentif bulanan sebesar Rp300 ribu untuk guru honorer di tahun 2017 silam. Dalam realitanya, tidak semua guru mendapatkan insentif secara merata, meskipun sudah menjalin kerja sama dengan Himbara (Himpunan Bank Milik Negara).

Memperjuangkan para Guru Anggota PGRI

Pak Qudrat Nugraha menjelaskan, para guru PGRI khususnya yang berpendidikan S1 berhak mendapatkan peningkatan kualifikasinya, juga pemenuhan hak-hak profesionalitasnya. Hal ini sejalan dengan aturan UUGD (Undang Undang Guru dan Dosen). Beliau menambahkan, realisasi undang-undang ini seharusnya dikawal dan ditertibkan atas aturan-aturan turunannya.

PGRI dalam misinya: "Menjaga, memelihara, membela, serta meningkatkan harkat dan martabat guru melalui peningkatan kesejahteraan anggota serta kesetiakawanan organisasi," senantiasa memegang teguh nilai-nilainya dalam menyikapi permasalahan ini.

Bahkan dalam penjelasannya, Pak Qudrat selaku Sekjen PGRI menyebutkan, "Permasalahan guru honorer ini tidak boleh berlarut. Sedih rasanya kalau saya mendengar kasus tentang guru honorer. Ini dosa kita bersama."

Karenanya beliau berharap, dengan diadakannya Kongres PGRI di tahun 2019 ini, akan ada gagasan-gagasan yang mengedepankan nasib guru, yang kemudian dapat menjadi penawar atas segala syak wasangka di pusaran masalah kesejahteraan guru honorer ini. Bagaimanapun, hak-hak mereka tetap harus dipenuhi sesuai amanat undang-undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun