Pasal 6 ayat 1 Persyaratan calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD atau bentuk lain yang sederajat, berusia: a. 7 (tujuh) tahun; atau b. paling rendah 6 (enam) tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan
Pasal 7 Persyaratan calon peserta didik baru kelas 7 (tujuh) SMP atau bentuk lain yang sederajat: a. berusia paling tinggi 15 (lima belas) tahun; dan b. memiliki ijazah/Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SD atau bentuk lain yang sederajat
Pasal 8 ayat 1 Persyaratan calon peserta didik baru kelas 10 (sepuluh) SMA/SMK atau bentuk lain yang sederajat: a. berusia paling tinggi 21 (dua puluh satu) tahun; b. memiliki ijazah/STTB SMP atau bentuk lain yang sederajat; dan c. memiliki SHUN SMP atau bentuk lain yang sederajat.
Pada usia yang telah disebutkan diatas, pelajar sangat membutuhkan peran keluarga. Keluarga adalah yang pertama kali berinteraksi dengan anak. Dari keluarga anak mulai belajar dari hal kecil hingga ia tumbuh besar, keluarga dapat membentuk kepribadian anak dan keluarga menjadi panutan bagi anak dalam banyak hal. Sangat jelas bahwa peran keluarga terutama orang tua sangat penting untuk pertumbuhan anak, khususnya untuk motivasi belajar anak.Â
Motivasi belajar merupakan suatu daya penggerak atau pendorong yang dimiliki oleh manusia untuk melakukan suatu pekerjaan yaitu belajar. Seseorang yang belajar dengan motivasi kuat akan melaksanakan semua kegiatan belajarnya dengan sungguh-sungguh, penuh semangat. (Sholeh, 2009)
B. Pembahasan
Keberhasilan siswa dalam menguasai berbagai kompetensi dalam belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: daya tahan tubuh, intelegensi, perhatian/ minat, bakat, motivasi, kematangan konsep diri dan faktor kepribadian. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor eksternal menurut Sagala (2003:24) yaitu, keluarga (meliputi: kondisi ekonomi keluarga, hubungan emosional orangtua dan anak, cara mendidik anak), sekolah dan faktor lingkungan lainnya.
Keluarga akan melalui suatu proses perubahan yang menghasilkan tekanan terhadap seluruh anggotanya karena setiap anggotanya tumbuh dan berkembang.(Lestari, dkk., 2018 : 24)
Keluarga yang tidak siap menghadapi perubahan, maka akan mengalami disorganisasi. Khairuddin (2002: 120) mengemukakan bahwa dalam bentuk luas, disorganisasi keluarga meliputi berbagai kelemahan-kelemahan, ketidaksesuaian (maladjustment), atau putusnya/ retaknya jalinan ikatan anggota-anggota dari kelompok bersama (broken-home). .(Lestari, dkk., 2018 : 25).Â
Menurut Willis (2015), broken home dapat dilihat dari dua aspek yaitu, keluarga yang tidak utuh yang disebabkan salah satu orang tua meninggal atau bercerai, dan anak yang orang tua tidak bercerai namun sering tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang atau sering bertengkar. Broken home dapat dilihat dari dua aspek, yaituÂ
(1) Keluarga yang terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari anggota keluarga meninggal atau telah bercerai, (2) Orangtua yang tidak bercerai, tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak dirumah dan atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi. (Wulandari, dkk. 2019) Bahwa broken home ini merupakan salah satu bentuk disorganisasi keluarga yang dapat menyebabkan proses perkembangan anak menjadi terhambat. Hal ini merupakan penerapan dari Teori Ekologi Ekosistem dalam Psikologi Perkembangan yang menunjukan sistem sosial yang lebih besar di mana anak tidak terlibat interaksi secara langsung, akan tetapi dapat berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak.(Salsabila, 2018)