Sebelum menginjakkan kaki di semester akhir ini, saya sudah mendengar cerita kakak tingkat tentang suka duka mahasiswa tua-yang sebenarnya lebih banyak dukanya. Mereka bercerita bahwa penyebab mahasiswa terlambat lulus itu tidak hanya malas, banyak faktor yang tak terduga seperti responden, dosen pembimbing, hingga masalah keluarga.Â
"Ah masak sih sesulit itu, paling dianya yang malas", elak saya meragukan ceritanya kala itu. Ternyata, kisah itu benar adanya.
Saat masa pembagian dosen tiga bulan lalu, saya mendapat dua dosen yang sangat mumpuni di topik yang saya ambil. "Alhamdulillah, semoga tugas akhir saya nanti bisa berkualitas," ucap saya mensyukuri kala nama dosen yang terpampang di layar sudah terkenal kehebatannya.Â
Seiring berjalannya waktu, saya sudah merampungkan 5 bab pertama. Sebagai koreksi, susunan bab di tugas akhir saya agak berbeda, hasil dan pembahasan baru masuk di Bab VI. Alhamdulillah komunikasi dengan dosen pertama lancar, beliau sangat responsif dan segera memberikan koreksi dengan cepat. Namun, rintangan datang dari dosen kedua.
Mulai dari Bab I yang belum juga direspon, akhirnya saya diminta mengirim Bab I sampai V agar dikoreksi dengan cepat. Saya menurut beliau, seminggu kemudian saya kirimlah dokumen tersebut. Setiap dua hari sekali saya rajin menanyakan kelanjutan file tersebut, namun belum ada balasan hingga sekarang. Akhirnya dua minggu lalu saya mendatangi beliau, berharap dengan bertemu langsung proses konsultasi lebih cepat.
Ternyata beliau sangat sibuk. Di sisi lain saya sungkan, takut bila kedatangan dan chat saya setiap hari merepotkan beliau. Namun saya juga ingin cepat lulus, beliau pun telah menyanggupi menjadi dosen pembimbing di awal pertemuan dahulu. Rasa-rasanya saya ingin menyerah, haruskah saya mundur karena tak cukup waktu untuk wisuda tepat waktu?
Saya mulai patah semangat. Jika biasanya saban hari saya mengabdikan diri mengutak-atik draft tugas akhir, seminggu ini saya seperti mati suri. Laptop jarang dibuka, rasanya seperti muak jika melihat layar laptop. Akhirnya saya "melarikan diri", dengan harapan penyegaran otak sebentar bisa membangkitkan semangat kembali. Saya memilih untuk membaca buku, salah satunya novel fiksi "Reem" karya Bunda Sinta Yudisia.
Dalam salah satu halamannya, saya menemukan sekelumit kisah tentang mahasiswa tingkat akhir-entah kenapa kebetulan sekali novel yang saya pinjam menceritakan mahasiswa akhir, padahal tak disengaja. Ada sebuah kutipan yang langsung menghentak kesadaran saya.
"Kita menuntut ilmu bukan untuk gelar atau ijazah, sekalipun di titik ini memang kita pragmatis. Tapi umat butuh kita. Dengan derajat keilmuan, kita punya hujjah kuat berbicara di depan khalayak, meluruskan pemahaman yang keliru"
Sejenak saya berpikir, pantaskah saya menyerah dari masalah kecil macam tugas akhir, sedangkan umat butuh para pemikir hebat kelak?Â
Saya putuskan untuk kembali bangkit, demi mengingat lelah payah orangtua menyekolahkan saya, demi mengingat umat yang butuh orang-orang hebat. Saya harus pastikan, saya bisa menjadi satu di antara orang-orang hebat tersebut!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H