Beberapa waktu lalu saya mendatangi undangan pernikahan teman saya, seorang perempuan. Rona bahagia terpancar dari wajahnya saat saya datang ke rumahnya, maklum waktu itu saya jadi tamu spesial karena tak bisa datang di hari resepsinya.Â
Ia satu tahun lebih tua daripada saya, ya masih terhitung usia pembuka di awal 20-an. Sejenak berbincang, kita mulai merambah membicarakan pendidikan.Â
Saya tahu dulu ia sempat berkuliah di perguruan tinggi swasta sekitar tempat tinggal saya. Namun ternyata, ia telah berhenti berkuliah.
"Aku sudah capek, Ri. PP (pulang-pergi) rumah (ke) sana jauh, matkulnya berat, apalagi sekarang sudah menikah. Takut ga sempat ngurusin rumah," ujarnya ringan dengan wajah bahagia yang tetap sama, tanpa merasa ada beban.
Saya memaklumi pernyataannya karena lingkungan keluarganya pun begitu, jauh dari kata berpendidikan. Adik perempuannya, yang baru saja tamat sekolah menengah atas, pun tidak berkenan melanjutkan ke sekolah tinggi.Â
Anggapan keluarganya masih sama dengan masyarakat desa kebanyakan, sekolah tinggi hanya akan membuang waktu dan uang.Â
Jadilah genap seluruh anggota keluarganya yang perempuan bukan tamatan pendidikan tinggi. Bahkan adik-kakak perempuan itu, berhasil tamat hingga sekolah menengah atas menjadi pencapaian yang patut dibanggakan.
Stereotip yang "Merakyat"
Dahulu saya bersekolah di sekolah negeri terfavorit yang terletak tepat di tengah Kabupaten Jombang. Menurut pandangan awam, sekolah saya gudangnya calon orang-orang sukses. Bisa dilihat dari nama-nama lulusannya yang selalu masuk dalam jajaran universitas terbaik di Indonesia.Â
Pastinya stereotip pantangan sekolah tinggi bagi perempuan tidaklah menempel pada siswa sekolah saya. Namun nyatanya, tidak. Dari 16 orang perempuan teman saya, 3 di antaranya tidak berkuliah dan memilih bekerja.Â
Ya meskipun angka itu tak bisa dijadikan acuan mutlak karena bukan data penelitian, namun hal ini menunjukkan bahwa urgensi pendidikan bagi perempuan masih dianggap rendah, baik itu di desa maupun kota.
Namun kita memang tak dapat menampik fakta. Data partisipasi sekolah di Kabupaten Jombang pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 26,37 % perempuan berusia 16-18 tahun berhenti sekolah.Â
Angka tersebut dua kali lipat lebih besar dari laki-laki yang hanya 12,68 % di usia yang sama. Penelitian lain yang dilakukan di salah satu kecamatan di Jombang menunjukkan tamatan SD mendominasi perempuan di sana.Â
Perempuan, di mata masyarakat, bukanlah prioritas penerima pendidikan. Bagi mereka perempuan yang berkontribusi di rumah tak perlu payah-payah sekolah tinggi. Padahal, pendidikan sangatlah penting bagi perempuan meski hanya di rumah.
Urgensi Pendidikan
Baru-baru ini sedang ramai meme yang menyinggung "nyinyiran" tetangga soal perempuan yang bersekolah tinggi. Terlihat dapurku, perempuan yang digambarkan berpendidikan tinggi, lebih bersih dan rapih daripada dapur orang yang menyindirnya.Â
Sejujurnya saya mengakui meme tersebut tepat sekali, juga mewakili suara hati saya selama ini (ehehe). Saya memiliki seorang saudara perempuan yang saat ini sudah menjadi dosen dan telah lama tamat pendidikan S3-nya.Â
Terlihat beliau sebagai seorang yang  berwibawa dari cara berpakaian, berbicara, bersosialisasi, dsb. Dua anaknya, yang mungkin usianya masih di kisaran 5-10 tahun, pun terlihat sopan dan santun saat berkumpul bersama keluarga besar, tak banyak bicara namun juga tak menyendiri dan apatis.Â
Berbeda dengan sepupu-sepupu saya yang usianya sama, sibuk berceloteh atau berlari ke sana sini, bahkan hingga ibunya lelah meneriakinya agar berhenti. Â
Sungguh saya kagum, pendidikan tinggi itu bukan untuk menghabiskan uang maupun waktu. Namun lihatlah, pendidikan bahkan bisa memuliakan sebuah keluarga, layaknya semakin tingginya derajat manusia dengan ilmu.
Coba bayangkan bila semua ibu di Indonesia berpendidikan tinggi, akan ada kekaguman serupa yang terjadi di mana-mana. Seorang ibu punya andil besar memenej kondisi di sekitarnya: dapur, sekolah anaknya, tempat kerja suaminya, kamar, dsb.Â
Manajerial kompleks yang butuh tenaga ahli, bukan sekedar selesai namun ada tanggungjawab besar di baliknya. Tugasnya pun tak hanya satu: ya istri, ya ibu, ya menantu, dan banyak lainnya.Â
Hingga orang nomor 1 di Indonesia, Jokowi, pernah berkata "Di belakang pria hebat, ada wanita hebat ". Dampak perempuan bagi lingkungan sekitar tak bisa dianggap remeh.Â
Kontribusi Besar
Sebagai penutup, perempuan tetaplah warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Alasan "ujung-ujungnya di rumah" secara tidak langsung mendiskriminasi gender wanita, meskipun perkataan itu berasal dari mulut wanita juga.Â
Maka, jangan pernah ragu bermimpi besar, apalagi perihal ilmu yang mampu memuliakan manusia. Bermimpilah besar, dan tak lupa berkontribusilah yang besar pula.
Referensi:
1. bps.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H